Lawakan Kekuasaan yang Tak Lagi Lucu

 
0
60
Absurdnya Ucapan Pejabat
Komunikasi kekuasaan makin jauh dari empati dan nalar publik

Di tengah gejolak harga bahan pokok, tekanan ekonomi, dan intimidasi terhadap jurnalis, para pejabat negara justru berlomba melontarkan pernyataan yang ganjil dan tak sensitif – dari seloroh tak makan pedas, menyamakan kritik dengan gonggongan anjing, permintaan THR dimaklumi sebagai budaya, menyalahkan kekalahan timnas karena kurang gizi, hingga humor sinis agar kepala babi dimasak saja. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi kekuasaan makin jauh dari empati dan nalar publik bahkan lebih mirip panggung candaan yang lama-lama tak lagi lucu.

Dalam beberapa pekan terakhir, publik disuguhi parade pernyataan pejabat negara yang bukan memecah masalah, tapi justru memancing tawa getir, kemarahan, dan keprihatinan. Di tengah situasi ekonomi yang menekan, keresahan sosial, dan tantangan serius terhadap kebebasan sipil, ucapan-ucapan dari para tokoh pemerintahan justru meluncur dengan nada ringan, cenderung absurd, bahkan dinilai melecehkan nalar dan perasaan rakyat.

Apakah Anda Merasa Komunikasi Pejabat Saat Ini Masih Mencerminkan Kepedulian terhadap Rakyat?
VoteResults

Presiden Prabowo Subianto membuka rangkaian keanehan ini dengan pernyataannya dalam Sidang Kabinet Paripurna, Jumat, 21 Maret 2025. Menanggapi mahalnya harga cabai rawit, ia menyarankan masyarakat untuk “jangan banyak makan terlalu pedas.” Dikatakan dalam nada bercanda, namun efeknya serius. Pernyataan ini langsung viral dan menuai reaksi keras. Bagi rakyat kecil yang kesulitan mengakses bahan pangan murah, ucapan tersebut seolah menunjukkan sikap menyederhanakan persoalan ekonomi dengan solusi retoris. Dalam psikologi komunikasi, hal ini mencerminkan trivialisasi – yaitu menyederhanakan masalah untuk meredam keresahan. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukan anjuran mengurangi cabai, melainkan perbaikan sistem distribusi dan produksi pangan. Empati dalam komunikasi pemimpin seharusnya dibangun dari pemahaman atas konteks sosial, bukan lewat humor defensif.

Gaya komunikasi yang mengandalkan spontanitas, candaan, dan gestur heroik inilah yang belakangan tampak ditiru – secara sadar atau tidak – oleh sejumlah pejabat publik. Absurdnya pernyataan-pernyataan mereka bukan berdiri sendiri, tapi berkait erat dengan gaya komunikasi Presiden Prabowo yang sejak awal dikenal blak-blakan, tidak konvensional, bahkan seringkali menyerempet kontroversi. Ketika Presiden Prabowo mengemas komentar ekonomi dengan seloroh, atau menyebut kritik sebagai “gonggongan anjing,” maka bukan hal aneh jika para pembantunya merasa bebas untuk juga menyampaikan pendapat dengan gaya serupa, tanpa kekhawatiran terhadap sensitivitas publik.

Pernyataan Menteri PPN/Bappenas Rachmat Pambudy yang menyebut program Makan Bergizi Gratis (MBG) lebih penting ketimbang penciptaan lapangan kerja adalah contoh berikutnya. Ia menyodorkan data 180 juta warga kekurangan gizi, 50 ribu bayi lahir cacat tiap tahun, dan satu juta orang terpapar TBC sebagai dasar pemikirannya. Tentu tidak ada yang membantah urgensi perbaikan gizi, namun menempatkannya lebih penting daripada membuka akses terhadap pekerjaan layak jelas membingungkan. Pernyataan ini menunjukkan potensi distorsi kebijakan: seolah-olah rakyat hanya butuh makan, bukan martabat dan kemandirian ekonomi. Dalam perspektif hierarki kebutuhan manusia ala Maslow, setelah kebutuhan dasar (makan) terpenuhi, manusia butuh rasa aman, pekerjaan, penghargaan, dan aktualisasi. Memprioritaskan makan tanpa pekerjaan adalah kebijakan yang timpang, mengabaikan fondasi keberdayaan rakyat.

Pola yang sama muncul dalam ucapan Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i yang menyebut bahwa permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh organisasi masyarakat (ormas) kepada pengusaha adalah budaya Lebaran di Indonesia. Ia menegaskan bahwa hal itu “tidak perlu dijadikan masalah.” Pernyataan ini justru dinilai membenarkan praktik tekanan terselubung, bahkan potensi pemalakan. Dalam komunikasi publik, membingkai tekanan ekonomi sebagai tradisi adalah bentuk cultural justification – menggunakan budaya sebagai tameng untuk membenarkan praktik yang seharusnya dikoreksi. Gaya seperti ini mencerminkan bagaimana komunikasi elite kerap merelatifkan sesuatu yang sebenarnya bisa berdampak buruk pada kelompok rentan.

Sementara itu, dalam kasus intimidasi terhadap pers, Ketua Fraksi Gerindra di Komisi III DPR RI, Muhammad Rahul, membuat pernyataan yang mengundang polemik. Menanggapi insiden pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo, ia mengatakan bahwa hal tersebut “belum bisa dikategorikan sebagai teror terhadap jurnalis.” Sikap ini menuai kritik karena dianggap memperkecil eskalasi ancaman terhadap kebebasan pers. Komentar ini bukan sekadar cuek, tapi bagian dari pola avoidant narrative yang kini makin sering dipakai elite: menghindari konfrontasi langsung dengan masalah, demi kenyamanan politik. Ia tidak muncul dalam ruang kosong, tapi berkembang di bawah atmosfer komunikasi yang permisif terhadap gaya ucapan yang sembrono. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang seharusnya dilindungi, bukan dinegasikan dengan tafsir minimalis terhadap intimidasi nyata.

Hal serupa terjadi ketika Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyarankan kepala babi yang dikirim ke kantor redaksi Tempo untuk “dimasak saja,” agar peneror stres. Apa yang mestinya menjadi respons negara terhadap ancaman nyata, justru dilucuti maknanya menjadi humor sinis. Ini bentuk displacement dalam komunikasi krisis – mengalihkan fokus dari akar masalah ke reaksi yang tak relevan. Gaya komunikasi ini mungkin lahir dari model kepemimpinan yang lebih nyaman berbicara dalam metafora dan seloroh, ketimbang argumentasi yang sistematis. Tapi akibatnya serius: negara tampak tak serius melindungi pers, bahkan memperolok ancaman nyata dengan cara banal.

Ironi lain muncul dari usulan Longki Djanggola, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra. Dalam rapat kerja dengan Mendagri, ia mengusulkan agar kekurangan dana untuk pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 bisa diambil dari anggaran pendidikan dan kesehatan. Logika kebijakan ini tidak hanya cacat, tapi membahayakan. Usulan Longki Djanggola adalah bentuk nyata dari policy myopia – kebutaan dalam menetapkan prioritas kebijakan. Di negara dengan indeks pendidikan dan kesehatan yang belum ideal, bagaimana bisa dana vital itu dijadikan “pos cadangan” untuk pembiayaan politik? Tapi seperti ucapan lain yang tak mendapat teguran berarti, komentar ini lewat begitu saja, seolah menjadi bagian wajar dari percakapan politik kita.

Advertisement

Begitu pula dengan Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana yang menambah panjang daftar pernyataan absurd para pejabat negara. Ia menyebut bahwa kekalahan tim sepak bola nasional dalam beberapa pertandingan disebabkan oleh rendahnya kualitas gizi para pemain. Pernyataan ini, yang dimaksudkan untuk menyoroti pentingnya asupan nutrisi, justru menimbulkan tanda tanya publik. Benarkah masalah sepak bola nasional hanya bisa dijelaskan dari isi piring para pemain? Di tengah sorotan pada kualitas pembinaan, strategi federasi, dan manajemen tim, penyederhanaan ini dinilai sebagai bentuk pengalihan masalah. Kritik pun bermunculan dari kalangan legislatif, yang menilai komentar Dadan Hindayana “berlebihan” dan meminta fokus pada program MBG yang masih penuh tantangan. Pernyataan Dadan Hindayana ini menunjukkan lagi pola komunikasi para pejabat yang kerap mengeneralisasi masalah kompleks dengan narasi tunggal yang dangkal, yang justru makin menjauhkan kita dari pemahaman yang utuh.

Sebagai “penutup” dari semua itu, Presiden Prabowo kembali menyedot perhatian publik dengan ucapannya saat meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus Industropolis di Batang, Jawa Tengah. Ia menyatakan rencana menciptakan 8 juta lapangan kerja dalam lima tahun, dan menyebut: “Biar anjing menggonggong, kita maju terus.” Pernyataan ini memang populer dalam budaya lisan, tapi ketika dilontarkan oleh kepala negara, ia punya konsekuensi berbeda. Pernyataan tersebut, meski dikemas sebagai simbol ketegasan, justru dinilai sebagian publik sebagai arogansi kekuasaan. Dalam budaya politik demokratis, kritik adalah bagian dari sistem koreksi. Menyamakannya dengan “gonggongan anjing” bisa merusak jembatan komunikasi antara pemimpin dan rakyat. Dalam psikologi politik, ini adalah authoritarian reflexrefleks otoriter untuk mengeliminasi kritik dengan delegitimasi verbal.

Apa yang dapat kita simpulkan dari semua ini?

Komunikasi absurd para pejabat tidak bisa dilepaskan dari gaya komunikasi Presiden Prabowo sendiri. Ketika pemimpin menggunakan retorika populis, bernada santai dan penuh metafora, maka bawahan cenderung meniru. Dalam teori komunikasi organisasi, gaya pemimpin menjadi normative model bagi gaya bicara birokrasi. Sayangnya, yang ditiru bukan substansi, tapi permukaannya – gaya santai, bukan kejelasan visi; seloroh spontan, bukan kedalaman analisa.

Secara keseluruhan, kita sedang menyaksikan disorientasi dalam komunikasi kekuasaan. Kata-kata tak lagi dijaga untuk merawat kepercayaan publik, tapi dipakai seenaknya, seolah mikrofon adalah mainan. Presiden Prabowo memang telah meminta menterinya memperbaiki komunikasi ke rakyat. Namun jika yang dibenahi hanya teknik bicara tanpa refleksi tentang pola pikir dan sikap, maka hasilnya tak lebih dari kosmetik politik.

Komunikasi publik adalah kontrak kepercayaan antara negara dan rakyat. Ia membutuhkan akal sehat, empati, dan tanggung jawab. Karena rakyat Indonesia, yang sabar dan gigih sekalipun, tidak bisa terus-menerus menjadi penonton dari arena candaan kekuasaan yang lama-lama tak lagi lucu. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

 


Tabel Absurdnya Ucapan Pejabat

Setiap pernyataan pejabat bukan hanya absurd pada permukaan, tapi punya dampak komunikasi publik yang memperlemah kepercayaan, logika, dan empati dalam ruang negara-rakyat.

Tokoh/Pejabat Pernyataan Makna/Polemik Analisis Komunikasi
Presiden Prabowo Subianto Menyarankan rakyat “jangan makan terlalu pedas” saat harga cabai mahal Terlihat menyederhanakan masalah ekonomi rakyat Trivialisasi masalah, humor defensif
Presiden Prabowo Subianto “Biar anjing menggonggong, kita maju terus” Kritik disamakan dengan suara gangguan, dinilai arogansi kekuasaan Authoritarian reflex, delegitimasi kritik
Menteri PPN/Bappenas Rachmat Pambudy Program MBG lebih penting daripada menyediakan lapangan kerja Distorsi prioritas, seolah rakyat cukup diberi makan tanpa diberdayakan Simplifikasi kebutuhan rakyat
Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i Permintaan THR oleh ormas adalah “budaya Lebaran” Membenarkan tekanan ekonomi terselubung kepada pelaku usaha Cultural justification
Ketua Fraksi Gerindra Komisi III Muhammad Rahul Pengiriman kepala babi ke kantor media “belum bisa disebut teror” Mengecilkan ancaman terhadap kebebasan pers Avoidant narrative
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi Menyarankan kepala babi yang dikirim “dimasak saja” Mengabaikan eskalasi teror terhadap media, mengubah serius jadi humor Displacement dalam komunikasi krisis
Anggota Komisi II DPR Longki Djanggola Mengusulkan dana PSU Pilkada diambil dari anggaran pendidikan dan kesehatan Menunjukkan kebijakan tidak sensitif terhadap sektor vital Policy myopia (kebutaan prioritas)
Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana Menyalahkan kekalahan Timnas sepak bola karena kualitas gizi pemain yang rendah Penyederhanaan persoalan olahraga nasional ke isu tunggal Oversimplification

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini