Mengapa Jokowi Tak Pernah Menunjukkan Ijazah Aslinya?

 
0
117
Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Mengapa Jokowi tidak pernah menunjukkan ijazah aslinya ke publik?

Jokowi menyatakan ijazahnya asli. UGM membenarkan. Tapi publik belum pernah melihatnya. Memang tak ada kewajiban membuktikan yang sudah sah, dan tak ada yang melarang jika kini Jokowi mempertimbangkan langkah hukum terhadap para penuding. Namun ketika pertanyaan sederhana terus bergema – “mengapa bukti itu tak juga ditunjukkan?” – diam menjadi pilihan yang semakin sulit dimengerti.

Setelah tak lagi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tetap menjadi figur sentral dalam berbagai percakapan politik nasional. Namun bukan hanya soal warisan kepemimpinannya selama dua periode yang menjadi sorotan, melainkan satu isu yang tak kunjung padam: tudingan mengenai keaslian ijazahnya.

Polemik ini bukan baru muncul kemarin. Ia telah berakar sejak 2022, saat Bambang Tri Mulyono menggugat Jokowi ke pengadilan. Isu kembali menguat pada 2025 oleh seorang akademisi, Rismon Sianipar. Tapi yang membuatnya terus hidup bukan semata karena bobot tuduhan, melainkan karena absennya satu hal sederhana yang dinantikan publik: penampakan fisik ijazah asli Presiden Republik Indonesia ke 7 itu.

Pertanyaannya pun menjadi sederhana tapi sarat makna: Mengapa Jokowi tidak pernah menunjukkan ijazah aslinya ke publik?

Ini bukan pertanyaan yang muncul dari kebencian. Ini datang dari publik yang ingin percaya, tapi juga butuh kepastian. Dalam era yang menuntut transparansi, keraguan tidak bisa dihalau hanya dengan klaim atau testimoni. Jokowi memang menyatakan bahwa ijazahnya asli, dan Universitas Gadjah Mada pun telah memberikan klarifikasi bahwa beliau adalah alumnus mereka. Namun, bagi publik yang semakin sadar hak informasi, pernyataan tidak cukup – bukti visual lebih meyakinkan.

Anehnya, dalam sidang perkara ujaran kebencian terhadap Bambang Tri dan Gus Nur, jaksa tidak menyertakan ijazah asli sebagai barang bukti. Padahal, dalam logika hukum dasar, jika sebuah dokumen menjadi inti tuduhan, maka bukti fisiknya mestilah ditampilkan untuk mempertegas kebenaran. Ketidakhadiran bukti itu justru menyisakan ruang kosong yang diisi oleh spekulasi dan asumsi liar.

Begitu pula dengan klarifikasi dari UGM. Beberapa publik mencatat kejanggalan: dari gaya penulisan, jenis huruf, hingga nomor ijazah yang terlihat tak konsisten dengan standar waktu itu. Penjelasan institusi, tanpa disertai visualisasi, membuat sebagian masyarakat tetap menyimpan tanda tanya. Dan dalam ruang yang dibiarkan tanpa jawaban ini, kecurigaan tumbuh tanpa batas.

Gugatan Bambang Tri sendiri tak berujung pada pembuktian. Ia mencabut gugatannya dan kemudian dihukum enam tahun penjara karena menyebarkan hoaks ijazah palsu Jokowi. Tuduhan terhadap Jokowi memang tidak pernah terbukti di pengadilan. Tapi justru karena proses pembuktian itu tak terjadi, ruang tafsir tetap terbuka.

Indonesia bukan asing dengan kasus ijazah palsu di kalangan elite. Nama-nama seperti Rudolf Pardede, Sukmawati Sukarnoputri, hingga Jalaluddin Rakhmat pernah disorot karena persoalan serupa. Namun yang membedakan adalah respons. Beberapa memilih mundur, yang lain memberi klarifikasi. Transparansi menjadi pilihan mereka untuk menjaga kehormatan publik.

Lalu mengapa Jokowi tidak mengambil langkah serupa?

Advertisement

Beberapa faktor mungkin menjelaskan mengapa hingga kini Jokowi belum menunjukkan ijazah aslinya. Ada kemungkinan bahwa fisik ijazah tersebut memang sudah tidak tersedia. Pihak UGM sendiri menyatakan bahwa dokumen asli ijazah Jokowi tidak lagi tersimpan di arsip kampus. Kemungkinan lain adalah pilihan strategi komunikasi: dengan membiarkan isu tetap bergaung, nama Jokowi tetap berada dalam pusat perhatian politik nasional. Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa ia merasa klarifikasi dari pihak kampus sudah cukup, dan menunjukkan ijazah tidaklah wajib secara hukum.

Namun, publik tetap menanti jawaban yang lebih konkret. Apalagi, pada April 2025, Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa ia dan tim hukumnya sedang mempertimbangkan langkah hukum terhadap pihak-pihak yang menyebarkan tuduhan ijazah palsu. Tim hukum yang dipimpin Yakup Hasibuan disebut tengah mengkaji opsi pelaporan karena isu ini dinilai mencemarkan nama baik. Tapi sekali lagi, pembelaan hukum dan pernyataan institusi, bagi sebagian publik, tetap belum menggantikan kekuatan simbolik dari satu tindakan sederhana: menunjukkan ijazah itu sendiri.

Barangkali Jokowi menilai tuduhan itu terlalu absurd untuk diladeni. Atau ia yakin rekam jejak kepemimpinan selama dua periode sudah cukup menjawab semua keraguan. Tapi dalam politik, persepsi sering lebih kuat daripada niat. Dan persepsi dibentuk bukan hanya oleh fakta, tapi oleh cara fakta itu dikomunikasikan.

Inilah esensi dari komunikasi krisis: menjawab keresahan bukan dengan defensif, tetapi dengan gestur terbuka. Jika sejak awal Jokowi menampilkan dokumen itu, menjelaskan proses akademiknya secara publik, bisa jadi isu ini telah mati sejak lama. Tapi karena yang dipilih adalah diam, maka narasi tandingan berkembang leluasa.

Sayangnya, dalam budaya politik kita, pertanyaan sering dianggap sebagai serangan. Padahal, justru dari pertanyaanlah kualitas kepemimpinan diuji. Ketika publik bertanya, “Mengapa tidak ditunjukkan saja?”, itu bukan karena benci – tapi karena ingin percaya sepenuhnya.

Kini, Jokowi tidak lagi menjabat. Tapi ruang untuk memberi keteladanan belum tertutup. Bukan untuk membela diri, melainkan untuk menegakkan etika dalam sejarah kepemimpinan bangsa. Bahwa di tengah sorotan dan ketidakpastian, transparansi adalah pilihan yang menenangkan.

Sebab sejarah tidak hanya mencatat siapa yang dituduh. Tapi bagaimana ia merespons tuduhan itu.

Dan diam tidak akan menyelesaikan pertanyaan. Ia hanya menunda, sambil membiarkan keraguan tumbuh menjadi keyakinan yang keliru. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini