Takut Rakyat Sendiri: Anatomi Civilphobia dalam Kekuasaan

Partisipasi Dibatasi, Kritik Dicurigai

 
0
48
Civilphobia, Takut Rakyat Sendiri
CIVILPHOBIA: Kecenderungan melihat ekspresi warga sebagai sumber instabilitas, bukan sebagai penyeimbang kekuasaan.

Civilphobia adalah luka tak kasatmata dalam tubuh demokrasi. Ia menyamar dalam retorika ketertiban, bersembunyi di balik jargon stabilitas, dan menyusup lewat kecurigaan terhadap suara rakyat sendiri. Dalam ruang kekuasaan yang terlalu steril dari kritik, civilphobia tumbuh subur -mengubah protes menjadi ancaman, dan menjadikan pemimpin gelisah saat rakyat bersuara.

Ada yang ganjil ketika seorang pemimpin merasa gelisah terhadap suara rakyatnya sendiri. Ketika demonstrasi damai ditanggapi dengan retorika waspada. Ketika kritik publik dianggap sebagai serangan, dan suara sipil dibaca sebagai gangguan. Ganjil, tapi sayangnya tidak asing. Dalam politik modern, fenomena ini dikenal sebagai civilphobia – ketakutan berlebihan terhadap ekspresi masyarakat sipil.

Bukan fobia dalam arti klinis, tapi dalam makna struktural dan psikologis: rasa tidak percaya terhadap kapasitas warga negara untuk menyuarakan keresahan secara otonom. Dalam pandangan civilphobic, masyarakat bukan mitra, melainkan potensi ancaman. Demokrasi bukan medan partisipasi, tapi sistem yang harus dikendalikan agar tetap tertib.

Civilphobia bisa hadir dalam bentuk yang lembut – keluhan bahwa kritik terlalu keras, bahwa media tidak adil, bahwa demo mungkin ditunggangi. Tapi ia juga bisa muncul dalam wujud yang keras: pembubaran paksa, narasi makar, atau pengawasan ketat terhadap aktivitas sipil. Yang menjadi benang merah adalah satu hal: kecenderungan melihat ekspresi warga sebagai sumber instabilitas, bukan sebagai penyeimbang kekuasaan.

Presiden Prabowo Subianto, dalam wawancaranya bersama tujuh jurnalis nasional, sempat menunjukkan wajah kepemimpinan yang reflektif, bahkan humanis. Ia bicara tentang telur rebus, dapur desa, dan anak-anak yang lapar. Ia mendengar kritik, tidak memotong pertanyaan, dan beberapa kali mengakui keterbatasan. Tapi dalam satu momen, saat ditanya soal demonstrasi dan keresahan publik, kalimat yang keluar justru:

“Coba perhatikan secara obyektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar?”

Kalimat ini terdengar biasa. Tapi bagi mereka yang memahami dinamika demokrasi, ini adalah pintu masuk menuju logika civilphobia. Sebab ia tidak mulai dari mendengar isi tuntutan, tapi dari mencurigai niatnya. Seolah-olah demonstrasi publik hanya valid jika “murni,” dan begitu ada kemungkinan didanai atau diprovokasi, maka nilai kritiknya batal.

Masalahnya, dalam dunia sosial-politik, tidak ada suara yang benar-benar steril. Bahkan negara pun berkampanye dengan logistik, dengan uang, dengan mobilisasi. Maka mengukur validitas protes dari aspek pembiayaan atau motif, bukan dari substansi, adalah cara halus untuk mengabaikan isi pesan.

Contoh paling nyata dari manifestasi civilphobia yang berbahaya terjadi pada Maret 2025. Dalam aksi menolak RUU TNI di depan Gedung DPR/MPR, ratusan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan menolak perluasan peran militer dalam kehidupan sipil. Aksi itu dibubarkan secara paksa. Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), sedikitnya 83 orang mengalami luka-luka, 161 orang ditangkap, dan 18 jurnalis turut menjadi korban kekerasan. Beberapa mahasiswa terluka parah, termasuk seorang dari UHAMKA yang harus menjalani operasi wajah. Kekerasan ini bukan hanya statistik, tapi luka kolektif yang menunjukkan betapa negara belum siap mendengar rakyatnya sendiri.

Civilphobia seperti ini bukan monopoli satu pemimpin. Dalam sejarah Indonesia modern, gejalanya hadir lintas generasi. Orde Baru membekuknya dalam bentuk paling otoriter. Di era Reformasi, gejalanya menjadi lebih elegan: dalam bentuk pelabelan, dalam bentuk UU yang membatasi, atau dalam kecenderungan “over-sensitif” terhadap kritik.

Advertisement

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, dikenal demokratis. Tapi beberapa kali ia menunjukkan gejala civilphobic ringan – yakni sensitivitas berlebih terhadap kritik. Ia mengeluh soal pemberitaan yang “tidak adil,” merasa media terlalu tajam, dan menganggap kritik tertentu sebagai bentuk ketidakpantasan. Bukan karena ia anti-demokrasi, tapi karena ia menempatkan keutuhan simbolik negara di atas kebebasan warganya untuk mempertanyakan.

Presiden Joko Widodo, meski di awal sangat terbuka, juga memperlihatkan spektrum civilphobia saat banyak kritik terhadap kebijakan politik identitas atau pembangunan infrastruktur. Ia jarang merespons langsung kritik tajam dari masyarakat sipil, dan dalam banyak kasus, justru membiarkan tim komunikasinya memainkan narasi kontra yang tidak sehat.

Di banyak negara lain, civilphobia menjadi dasar dari sistem populisme yang menolak dissent. Viktor Orban di Hungaria, Recep Tayyip Erdogan di Turki, bahkan Donald Trump di Amerika – semuanya menuduh media sebagai musuh, menyebut oposisi sebagai ancaman stabilitas, dan menuduh aksi massa sebagai hasil agitasi pihak asing.

Mengapa civilphobia berbahaya?

Karena ia merusak kepercayaan dasar dalam demokrasi: bahwa warga negara punya hak untuk bersuara, bahkan jika suara itu mengganggu kenyamanan kekuasaan. Civilphobia mengubah relasi antara pemimpin dan rakyat dari simbiosis menjadi suspisi. Ia membuat pemimpin curiga, dan rakyat takut. Dalam sistem seperti ini, dialog berubah jadi monolog, dan partisipasi berubah jadi pengawasan.

Civilphobia juga membuat kekuasaan menjadi defensif. Ia menciptakan narasi bahwa hanya negara yang tahu apa yang terbaik, dan kritik hanyalah upaya sabotase. Padahal, negara yang kuat justru lahir dari kritik yang keras. Dari demonstrasi yang menekan. Dari media yang tidak tunduk.

Yang ironis, para pemimpin yang civilphobic seringkali mengaku mencintai rakyat. Mereka bicara tentang keadilan sosial, tentang kesejahteraan, bahkan tentang makan bergizi. Tapi dalam waktu yang sama, mereka mencurigai rakyat yang menyuarakan keresahannya. Mereka menganggap demonstrasi sebagai alat perusak, bukan sebagai alarm.

Inilah paradoks besar dari civilphobia: pemimpin menyayangi rakyat, tapi mencurigai suara mereka. Mereka ingin mendengar, tapi tidak siap diinterupsi. Mereka percaya pada hak, tapi ingin mengatur ekspresinya.

Civilphobia tidak selalu hadir dalam bentuk larangan. Kadang ia hadir dalam bentuk keheningan. Ketika kantor berita dikirimi kepala binatang dan negara hanya menyebutnya “adu domba.” Ketika aktivis dipukul dan pemimpin menyebutnya “risiko politik.” Ketika media dikritik karena terlalu vokal, dan bukan karena salah secara fakta.

Di titik ini, kita harus bertanya: bagaimana demokrasi bisa bertahan jika pemimpin takut pada rakyatnya sendiri?

Seharusnya, seorang presiden bisa berkata: “Saya mungkin tidak setuju dengan isi kritik itu. Tapi saya akan bela hak mereka untuk menyuarakannya.” Kalimat sederhana, tapi penuh makna. Karena ia menegaskan keberanian etis, bukan hanya ketulusan emosional.

Prabowo, termasuk pemimpin-pemimpin lain di bawahnya, kini berada di persimpangan. Ia bisa mengulang pola kekuasaan yang selalu melihat rakyat dengan kacamata waspada. Atau ia bisa mematahkan warisan itu – dengan mendengar, tanpa curiga. Dengan merespons, tanpa meremehkan.

Civilphobia bukan sekadar gejala psikologis kekuasaan. Ia adalah tanda bahwa pemimpin belum benar-benar percaya pada bangsanya sendiri. Dan selama kepercayaan itu belum tumbuh, demokrasi hanya akan jadi pertunjukan. Bukan perjumpaan. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

 


Tabel “Anatomi Civilphobia”

Untuk memudahkan pemahaman pembaca, berikut ini adalah tabel “Anatomi Civilphobia”, yang merangkum karakteristik, gejala, bentuk, dan dampaknya secara sistematis.

🧠 Anatomi Civilphobia: Memetakan Ketakutan Kekuasaan terhadap Suara Rakyat

Elemen Penjelasan
Definisi Ketakutan atau kecurigaan berlebihan terhadap ekspresi masyarakat sipil.
Ciri Psikologis Sensitivitas tinggi terhadap kritik; cenderung defensif; percaya pada motif tersembunyi dalam protes publik.
Ciri Politik Menempatkan stabilitas sebagai tujuan utama, dan kritik sebagai gangguan.
Bentuk Ringan Keluhan soal pemberitaan tidak adil, narasi “demo dibayar”, pembingkaian media sebagai bias.
Bentuk Ekstrem Pembubaran paksa demonstrasi, kriminalisasi aktivis, sensor media, pengawasan digital.
Bahasa yang Umum Digunakan “Ditunggangi”, “merusak ketertiban”, “mengganggu stabilitas”, “diprovokasi asing”.
Contoh di Indonesia Pembubaran demo tolak RUU TNI (2025), sensor lukisan mirip Jokowi, pembatasan media sosial saat demo.
Dampak terhadap Demokrasi Mengikis partisipasi publik, menciptakan budaya takut, mempersempit ruang kritik.
Paradoks Utama Pemimpin mencintai rakyat, tapi mencurigai suara mereka.

Disusun oleh Pusat Data Tokoh Indonesia, April 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini