Dari Fisika ke Ekonomi Politik
Umar Juoro
[DIREKTORI] Meraih gelar sarjana Jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung (1986), kemudian meloncat ke bidang ekonomi politik. Lulusan Master of Art in Political Economy dari Boston University, USA (1992) seorang peneliti, pakar dan pengamat ekonomi yang ternama di negeri ini. Keahliannya di bidang ekonomi politik telah mengantarkannya menjabat Asisten Wakil Presiden/Presiden RI BJ Habibie Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (1998-1999).
Sejak 1999, dia menjabat Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES). Dia juga pernah menjabat Staff Ahli Komisi VIII DPR-RI tahun 2002 dan Anggota Tim Masyarakat Madani yang dibentuk oleh Presiden RI pada tahun 1999.
Setelah meraih gelar kesarjanaan dari Jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung pada tahun 1986, dia melanjutkan studi bidang ekonomi ke University of Philippines dengan gelar Master of Art in Economics (1987). Kemudian meraih Master of Art in Political Economy dari Boston University, USA pada 1992.
Masa kecil Wong Solo yang sejak 7 November, 2002 menjabat Komisaris BII itu dilalui di sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Saat sekolah dasar (SD), ia hijrah ke Ibu Kota mengikuti kepindahan oang tuanya yang tentara (Kostrad) ke Jakarta. Sebagai anak tentara yang kerap dijuluki anak kolong, dia terbilang badung. Namun bukan berarti dia tak menekuni pelajaran sekolahnya. Terbukti, dari SD hingga SMA, dia selalu juara.
Dia juga aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan dia menjabat ketua OSIS di SMA 9 Jakarta (kini SMA 70). Apalagi saat kuliah di ITB, dia aktif di sejumlah kegiatan mahasiswa dan menulis di sejumlah media massa. Dia sempat menjabat Sekretaris Jenderal Keluarga Mahasiswa ITB. Dalam kegiatan menulis, dia sempat menjadi reporter sebuah majalah di Bandung.
Kegemarannya menulis telah pula membuat namanya cukup dikenal kalangan terpelajar di negeri ini. Tulisannya bertema ekonomi politik sering tampil di sejumlah media massa. Selain itu, dia juga telah menulis beberapa buku. Kegiatan menulis itu terus berlanjut hingga sekarang, walaupun kesibukannya dalam berbagai bidang sangat padat.
Dia peneliti senior di The Habibie Center, Ketua Dewan Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) dan Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pengagum Bung Karno dan Albert Einstein, ini juga aktif sebagai anggota Dewan Ekonomi Muhammadiyah dan anggota Dewan Insinyur Persatuan Insinyur Indonesia.
Bukan itu saja. Keahliannya di bidang ekonomi politik telah membuatnya dipercaya menjadi penasehat bidang ekonomi, keuangan dan industri Wakil Presiden BJ Habibie, yang berjalanjut menjadi penasehat Presiden BJ Habibie (1998-1999). Dia mengaku, inilah pengalamannya yang paling berkesan.
Setengah Tahun SBY
Dalam Paparan Ekonomi Politik CIDES ?Setelah Setengah Tahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla? pada Rabu, 18 Mei 2005, di Hotel Ambara, Jakarta, Umar mempertanyakan: Dapatkah Investasi Menjadi Pendorong Ekonomi?
Menurutnya, melihat perkembangan ekonomi dalam Triwulan I/05, di satu pihak menunjukkan adanya optimisme meningkatnya investasi yang menggantikan konsumsi masyarakat sebagai penggerak utama perekonomian, namun di lain pihak adanya kekhawatiran karena perkembangan ini tidak bersifat berkesinambungan (sustainable), sebagaimana diperlihatkan perkembangan pertriwulannya ( q-to-q) dan menurunnya indeks kepercayaan bisnis dan konsumen.
Pertumbuhan yang tinggi dilihat secara y-o-y tentu saja berkaitan dengan rendahnya investasi pada triwulan I/04. Perkembangan investasi mulai terlihat meningkat secara berarti pada triwulan IV /04. Dilihat dari kesepakatan investasi, terutama PMA, kecenderungannya memang meningkat pesat, namun belum tentu dalam realisasinya.
Perkembangan investasi sejalan dengan impor yang relatif tinggi (paling tidak menurut data y-o-y), di satu pihak menunjukkan perkembangan ekonomi yang meningkat, namun di lain pihak juga menimbulkan permasalahan dalam stabilitas makro. Investasi pada umumnya adalah bersifat kebutuhan dalam negeri, bukan untuk ekspor, seperti kendaraan bermotor, apartemen, dan perumahan.
Karena itu kebutuhan terhadap dollar meningkat, sementara penerimaan terhadap dollar tidak mengalami peningkatan yang tinggi. Akibatnya adalah pelemahan dalam nilai rupiah. Relatif menurunnya cadangan devisa, walaupun dalam tingkatan yang kecil, menunjukkan bahwa aliran modal ke dalam negeri dalam bentuk dollar atau mata uang asing kuat lainnya belumlah tinggi.
***
Dapatkah Investasi Menjadi Pendorong Ekonomi?
Oleh Umar Juoro
Pengantar Redaksi:
Pada hari Rabu, 18 Mei 2005, Central for Information and Development Studies (CIDES), menyelenggarakan Paparan Ekonomi Politik CIDES ?Setelah Setengah Tahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla?. Paparan yang berlangsung di Hotel Ambara, Jakarta, itu menampilkan tiga orang pembicara yakni Irman Gusman, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Indria Samego, Direktur CIDES yang juga Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Pemerintahan (PPMmP), dan Umar Juoro, Ketua Dewan Direktur Cides. Berikut ini adalah makalah yang disampaikan oleh Umar Juoro.
***
Perkembangan Ekonomi Triwulan 1/05
Data yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi pada Triwulan I/2005 mengalami pertumbuhan sebesar 6,35% (y-o-y). Tingkat pertumbuhan ini jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan banyak pihak. Dari sisi pengeluaran, sumbangan investasi menunjukkan pertumbuhan yang tinggi sekitar 15%. Sedangkan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 3,2% dan konsumsi pemerintah menurun -8,5%. Ekspor netto (pertumbuhan ekspor dikurangi pertumbuhan impor) adalah sekitar -3%. Keadaan ini memperlihatkan bahwa kegiatan investasi mulai menggantikan konsumsi masyarakat sebagai penggerak perekonomian.
Namun jika kita melihat data pertumbuhan pertriwulannya (q-to-q), keadaannya kurang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi hanya 2,84%, sedangkan pertumbuhan investasi hanya sebesar 0,12%, konsumsi rumah tangga -0,1%, dan konsumsi pemerintah menurun sekitar -24%. Keadaan ini sejalan dengan penurunan yang cukup signifikan dari Indeks Kepercayaan Bisnis (IKB) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang keduanya berada di bawah angka 100, yang berarti sikap yang pesimis dari kalangan bisnis dan konsumen. Keadaan ini juga sejalan dengan melemahnya stabilitas ekonomi makro, sebagaimana terlihat dari melemahnya rupiah menjadi sekitar Rp 9.500 per dollar, meningkatnya inflasi menjadi 8,1% (y-o-y) yang diatasi oleh BI dengan meningkatkan SBI 1 bulan menjadi 7,87%.
Data q-to-q juga menujukkan pertumbuhan ekspor yang rendah 0,1% dan impor yang menurun -0,5%. Keadaan ini mengkhawatirkan karena penurunan impor berarti akan melemahkan perkembangan investasi yang baru mulai, yang sangat bergantung pada impor barang modal dan bahan mentah.
Melihat perkembangan ekonomi dalam Triwulan I/05, di satu pihak menunjukkan adanya optimisme meningkatnya investasi yang menggantikan konsumsi masyarakat sebagai penggerak utama perekonomian, namun di lain pihak adanya kekhawatiran karena perkembangan ini tidak bersifat berkesinambungan (sustainable), sebagaimana diperlihatkan perkembangan pertriwulannya ( q-to-q) dan menurunnya indeks kepercayaan bisnis dan konsumen. Pertumbuhan yang tinggi dilihat secara y-o-y tentu saja berkaitan dengan rendahnya investasi pada triwulan I/04. Perkembangan investasi mulai terlihat meningkat secara berarti pada triwulan IV /04. Dilihat dari kesepakatan investasi, terutama PMA, kecenderungannya memang meningkat pesat, namun belum tentu dalam realisasinya.
Perkembangan investasi sejalan dengan impor yang relatif tinggi (paling tidak menurut data y-o-y), di satu pihak menunjukkan perkembangan ekonomi yang meningkat, namun di lain pihak juga menimbulkan permasalahan dalam stabilitas makro. Investasi pada umumnya adalah bersifat kebutuhan dalam negeri, bukan untuk ekspor, seperti kendaraan bermotor, apartemen, dan perumahan. Karena itu kebutuhan terhadap dollar meningkat, sementara penerimaan terhadap dollar tidak mengalami peningkatan yang tinggi. Akibatnya adalah pelemahan dalam nilai rupiah. Relatif menurunnya cadangan devisa, walaupun dalam tingkatan yang kecil, menunjukkan bahwa aliran modal ke dalam negeri dalam bentuk dollar atau mata uang asing kuat lainnya belumlah tinggi.
Dari pertumbuhan netto ekspor yang negatif juga menunjukkan bahwa pemasukan ekspor belum menambah penerimaan devisa yang besar. Keadaan ini berbeda dengan keadaan di negara tetangga, yang sebelumnya juga mengalami krisis, yang cadangan devisanya meningkat dengan pesat terutama Korea yang sudah mencapai lebih dari US$ 100 miliar.
Melemahnya Stabilitas Makro
Setelah kurang lebih selama dua tahun stabilitas ekonomi makro relatif terjaga baik, kembali kita dihadapkan dengan pelemahan dalam indikator nilai tukar rupiah dan inflasi. Meningkatnya permintaan dollar, baik dari Pertamina untuk mengimpor minyak dan BBM yang harganya meningkat, maupun perusahaan lainnya, sementara aliran dollar belum meningkat secara berarti, menyebabkan pelemahan dalam nilai rupiah. Hampir dapat dipastikan sasaran pemerintah untuk membuat nilai rupiah sebesar Rp 8.900 per dollar tidak akan tercapai. Kemungkinan nilai rupiah akan berkisar antara Rp 9.500 -9.700 perdollarnya.
Sementara itu tingkat inflasi, sekalipun kecenderungannya menurun dibandingkan dengan bulan Maret 2005, namun sampai dengan akhir tahun tingkat inflasi akan lebih tinggi dari target pemerintah sebesar 7%, yaitu akan mencapai sekitar 7,5 -8%. Perkembangan melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya inflasi akan membuat BI akan kembali menyesuaikan tingkat SBI, sekarang ini sebesar 7,87%, menjadi sekitar 8-8,5% pada akhir tahun.
Dilihat secara sektoral, pada umumnya sektor-sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, kecuali sektor pertambangan (termasuk minyak dan gas), yang sangat mengecewakan dengan pertumbuhan negatif, padahal harga minyak dan komoditas pertambangan sedang tinggi-tingginya. Sayang sekali Indonesia kehilangan kesempatam baik ini dalam dua tahun terakhir, yang akibatnya bukan saja Indonesia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan devisa yang besar, tetapi juga mengalami tekanan pengeluaran subsidi BBM yang sangat besar. Perkembangan yang mengejutkan adalah tingginya pertumbuhan sektor pertanian karena keberhasilan panen.
Perkembangan sampai dengan akhir tahun, kemungkinan sektor konstruksi pertumbuhan masih tinggi, dan manufaktur pertumbuhannya moderat. Sedangkan pertumbuhan sektor perhubungan kecenderungannya menurun karena peningkatan harga BBM, walaupun kegiatan telekomunikasi masih tinggi. Sektor pertanian akan tidak lagi tumbuh begitu tinggi, bahkan cenderung menurun. Karena itu secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 akan berkisar pada tingkatan 5,5%.
Investasi Sebagai Penggerak Perekonomian
Seberapa jauh kita dapat mengharapkan investasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi? Melihat dari perkembangan ekonomi sejauh ini memang kita tidak lagi dapat mengharapkan pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga untuk tumbuh tinggi. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sulit untuk melebihi tingkat 3,5% (y-o-y). Karena itu mau tidak mau investasi harus menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Namun jika investasi yang berkembang adalah hanya produk untuk pasar domestik, sementara kebutuhan impornya tinggi, yang terjadi adalah tekanan pada neraca pembayaran yang meningkat sebagaimana terlihat pada melemahnya nilai rupiah.
Karena itu kebijaksanaan investasi semestinya diarahkan pada kegiatan yang berorientasi ekspor, sehingga tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menambah devisa sehingga memperkuat nilai rupiah. Kegiatan investasi yang seharusnya difasilitasi adalah pada sektor pertambangan dan migas, apalagi harga produknya masih tinggi di pasar intemasional. Sayangnya pemerintah tidak memberikan insentif yang menarik, dan permasalahan lama seperti kontrak, kepastian hukum, dan pemerintah daerah tidak dipecahkan secara berarti. Sekalipun demikian pertumbuhan ekspor migas dan pertambangan masih tinggi, bukan karena volumenya tetapi kaerena harganya.
Kontraktor migas masih mengeluhkan pengenaan PPN pada kegiatan eksplorasi dan produksi. Pemerintah telah menjanjikan penghapusan PPN dan bea masuk pada impor barang modal. Sedangkan PPN untuk eksplorasi dan produksi, ketentuannya dimuat dalam UU No. 22/2001, sehingga perlu diamandemen. Kontrak Production Sharing (KPS) juga harus diubah untuk lebih menarik investor, katakan sampai dengan pada tingkatan 65:35. Perlu pula dipertimbangkan agar kontrak atas nama pemerintah Indonesia dikembalikan ke Pertamina, bukan oleh BP Migas untuk membuat proses bisnis lebih lancar dan Pertamina dapat menjadi perusahaan yang kuat. Begitu pula Kontrak Karya untuk pertambangan, dibuat untuk lebih menarik investor dan tidak dirubah menjadi lisensi yang akan rumit dengan permasalahan birokrasi. Tentu saja permasalahan dengan pemerintah daerah harus diupayakan untuk dapat ditangani dengan bantuan pemerintah pusat.
Peningkatan investasi yang tidak saja mendatangkan devisa, tetapi juga kesempatan kerja yang luas, adalah dalam industri manufaktur padat karya. Sayang sekali perkembangan industri tekstil dan garmen, alas kaki, dan elektronika seakan-akan diterbengkalaikan oleh pemerintah dan dijauhi oleh perbankan. Tentu saja persaingan semakin ketat oleh produk dari Cina dan Vietnam, namun Indonesia masih mempunyai peluang tertentu untuk mendapatkan bagian yang signifikan dari pasar ekspor, karena negara importir tidak mau bergantung sepenuhnya pada Cina. Sedangkan berkaitan dengan permasalahan tenaga kerja, semestinya juga pemerintah dapat memperbaikinya, misalnya dengan mengarahkan penetapan upah merupakan negosiasi antara pekerja dan manajemen, tidak harus ditetapkan pemerintah. Begitu pula perjanjian kerja, dapat dibuat lebih fleksibel agar perusahaan dapat mengatasi penurunan pemasaran dengan lebih baik.
Pemerintah juga dapat memberikan insentif pada industri padat karya yang berorientasi ekspor, agar dapat melakukan konsolidasi, baik dalam aspek keuangan, pemasaran, maupun teknologi. Insentif pajak merupakan salah satu yang dapat membantu industri padat karya berorientasi ekspor, untuk dapat memperbaiki keadaan keuangannya, sehingga menarik bagi perbankan untuk menyalurkan kredit.
Perkembangan perbankan masih menjukkan kencenderungan positif, dengan sebagian besar bank papan atas mencatatkan pertumbuhan laba pada Triwulan I/05. Bank juga semakin aktif menyalurkan kredit, sekalipun masih didominasi oleh kredit konsumsi. Bank pada umumnya masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit korporasi terutama untuk jenis investasi. Kasus yang menyangkut Bank Mandiri belakangan ini membuat bank semakin hati-hati dalam hal ini. Padahal investasi dalam negeri sangat bergantung pada perbankan.
Menjembatani perbankan dan sektor riil, terutama dalam peningkatan investasi, tidaklah mudah dalam prakteknya. Karena di satu pihak bank sangat hati-hati dengan resiko yang tinggi pada kredit investasi, sementara itu perusahaan di sektor riil pada umumnya keadaan keuangannya sebagaimana diperlihatkan oleh ekuitas dan aliran kas (cashflow)-nya masih jauh dari menarik untuk perbankan. Konsolidasi keuangan di sektor riil akan mendekatkan perbankan untuk membiayai tidak saja modal kerja tetapi juga investasi. Kecenderungan meningkatnya SBI juga dapat mengancam peningkatan bunga perbankan. Bunga deposito sudah disesuaikan, tetapi bunga kredit masih bertahan. Karena itu BI harus berhati-hati dan secara perlahan menyesuaikan tingkat SBI dengan kecenderungan inflasi agar tidak menghambat penyaluran kredit perbankan, terutama untuk kegiatan investasi. TI