Pejuang Aceh yang Bermartabat

Muhammad Nazar
 
0
944
Muhammad Nazar
Muhammad Nazar | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Muhammad Nazar termasuk dalam jajaran pemimpin yang ikut mengukir sejarah berakhirnya konflik berkepanjangan di Aceh. Keteguhannya dalam memperjuangkan penegakan HAM dan referendum di Aceh membuat ia harus bolak-balik mendekam di penjara sebagai tahanan politik. Dia adalah pemimpin muda inspiratif, Sang Pejuang Aceh yang Bermartabat.

Penjara tidak membuat semangat juangnya patah. Terbukti, setelah perdamaian berlabuh di Aceh, kiprah ‘singa referendum’ ini makin berkibar dengan menjadi wakil gubernur periode 2006-2011. Berbekal dukungan dan keinginan untuk berbuat lebih banyak bagi masyarakat Aceh, ia maju sebagai calon Gubernur Aceh dalam Pilkada 2012.

Selama hampir tiga dekade, Aceh menjadi daerah konflik. Pemerintah pusatpun mengupayakan upaya militer sebagai jalan yang tidak bisa dihindarkan untuk menghadang gerak langkah GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Aceh yang dijuluki Serambi Mekah ini kemudian sempat menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).

Peperangan antara GAM dan TNI/Polri tidak bisa dielakkan, memakan korban di kedua belah pihak, dan jatuhnya korban sipil yang mengarah kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun akhirnya titik temu jalan damai bisa diwujudkan setelah melalui proses yang panjang. GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 sepakat menandatangani persetujuan damai di Finlandia untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan.

Muhammad Nazar berprinsip bahwa perjuangan yang ia lakukan bersama kawan-kawannya meski harus mengorbankan nyawa, masih jauh lebih baik daripada membiarkan silent war terus terjadi menyebabkan manusia dan harta benda hilang tanpa ada penegakan hukum.

Proses perdamaian di Aceh itu tidak bisa dilepaskan dari peran seorang pemuda bernama Muhammad Nazar. Dia menjadi motor penggerak perlawanan sipil SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) yang menginginkan perdamaian, keadilan dan penegakan HAM untuk Aceh. Akibat aktivitasnya di SIRA, ia ditangkap sampai enam kali dan dua diantaranya membuat ia mendekam di penjara cukup lama.

Perjuangan Muhammad Nazar mulai terdengar setelah Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang digelar pada 31 Januari-4 Februari 1999. Kongres itu terselenggara setelah aksi demonstrasi di kota-kota besar di Aceh, Medan, Jakarta dan luar negeri yang difasilitasi Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) dan Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN). Saat itu, KOMPAS diikuti sekitar 116 lembaga mahasiswa, santri, pemuda, pelajar, district organization, pressure groups dan lembaga solidaritas masyarakat Aceh baik di Aceh maupun di luar negeri.

Kongres tersebut merekomendasikan dua hal penting. Pertama, referendum dengan dua opsi, merdeka atau bergabung dengan Republik Indonesia. Kedua, mendirikan Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA) sebagai lembaga independen yang bertugas mengorganisir informasi dan perjuangan penentuan nasib sendiri melalui referendum damai.

Sesuai mandat KOMPAS, Muhammad Nazar didaulat sebagai Koordinator Pusat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang kelak bermetamorfosa menjadi salah satu partai lokal setelah rekosiliasi perdamaian dilakukan, Partai SIRA. Nazar saat itu ditugasi untuk mengorganisir dan mensosialisasikan perjuangan referendum hingga pelosok-pelosok daerah di Aceh.

Setelah tiga bulan bekerja, histeria referendum membahana di seluruh Aceh. Ekspresi keinginan masyarakat untuk referendum terlihat di sepanjang jalan Banda Aceh-Media yang dipenuhi grafiti, spanduk dan baliho. Dukungan mengalir dari mana-mana, mulai dari ulama, akademisi, anggota dewan hingga pemerintahan kabupaten/kota.

Seruan referendum tambah menguat setelah SIRA menggelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, 8 November 1999. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh dan DPRD Aceh mendukung terselenggaranya aksi yang dihadiri sekitar dua juta orang itu. Kehadiran massa yang begitu besar dalam aksi itu membuat presiden Gus Dur yang saat itu sedang berada di Kamboja memberi lampu hijau akan menggelar referendum sesuai permintaan masyarakat Aceh.

Advertisement

Gerakan yang dilakukan SIRA itu kemudian mendapat dukungan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemimpin GAM Teungku Hasan Tiro yang sejak lama bermukim di Swedia bahkan mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) segera menggelar referendum di Aceh untuk menentukan nasib rakyat Aceh, bergabung dengan Indonesia atau merdeka.

Sepak terjang SIRA yang menyuarakan referendum kemudian membuat pemerintah gerah. SIRA dicap sebagai underbow GAM, sayap politik GAM. Padahal, menurut Muhammad Nazar, SIRA tidak ada hubungan hirarki dan struktural dengan GAM. SIRA hanya ingin mencapai tujuan ideal yakni perdamaian dimana perdamaian akan tercapai bila pemerintah mau mengakui GAM dan tidak mencap GAM sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), teroris dan semacamnya. Muhammad Nazar berprinsip bahwa perjuangan yang ia lakukan bersama kawan-kawannya meski harus mengorbankan nyawa, masih jauh lebih baik daripada membiarkan silent war terus terjadi menyebabkan manusia dan harta benda hilang tanpa ada penegakan hukum.

Pada 14 November 2000, Muhammad Nazar kemudian mengorganisir SIRA RAKAN (Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian). Aksi ini merupakan aksi terbesar kedua setelah aksi dua juta orang pada 8 November 1999. Dalam aksi SIRA RAKAN itu, banyak warga sipil menjadi korban aparat dan sempat mengundang investigasi komnas HAM dan perhatian serius dunia internasional.

Akibat aksi SIRA RAKAN itu, Muhammad Nazar ditangkap aparat keamanan lalu ditahan di Mapoltabes Banda Aceh pada 20 November 2000. Dia ditangkap atas tuduhan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Sidang PN Banda Aceh memutuskan ia bersalah dengan hukuman 10 bulan penjara. Namun karena proses banding dan kasasi, Nazar mendekam dipenjara lebih lama hingga akhirnya dibebaskan pada 9 Oktober 2001.

Tiga hari setelah dibebaskan, Muhammad Nazar memenuhi undangan speaking tour ke Amerika Serikat untuk berkeliling mengampanyekan perdamaian Aceh yang difasilitasi oleh berbagai universitas, LSM dan beberapa instansi pemerintahan di sana. Selama dua bulan, Muhammad Nazar memberikan kuliah umum dan ceramah di sejumlah universitas berkelas dunia seperti Universitas Harvard, Yale, UCLA, Stanford, Webster College, Ohio, Ohio State, dan lain-lain. Ia juga menyampaikan kondisi Aceh di kementerian luar negeri, national security council, kongres, senator, kejaksaan dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Termasuk bertemu dengan LSM-LSM dan masyarakat pro HAM dan perdamaian di Amerika.

Kehadiran Muhammad Nazar di sana rupanya mendapat apreasiasi yang sangat baik dari masyarakat Amerika yang mengundangnya. Ia bahkan diminta tinggal di Amerika sekaligus melanjutkan studi S2 di universitas yang dia pilih. Namun Muhammad Nazar menolaknya dengan halus sebab perjuangannya bagi perdamaian Aceh belum selesai. Di sisi lain, saat itu, organisasi SIRA sudah punya perwakilan di Amerika dan negara-negara lainnya. Demi keselamatannya pulang ke Indonesia, Muhammad Nazar bahkan diberikan tembusan surat yang ditandatangani beberapa anggota kongres Amerika yang dikirim ke pemerintah Indonesia.

Hal lain yang perlu dicatat saat Muhammad Nazar di Amerika adalah upayanya untuk menghapus nama GAM yang dimasukkan ke dalam daftar teroris. Menurutnya, selama GAM dicap teroris maka potensi damai yang dimediasi internasional tidak akan pernah ada. Untuk itu, ia mendatangi markas besar PBB di New York untuk menjelaskan soal Aceh.

Akhirnya, berkat kerja keras dan dukungan kawan-kawannya dibantu masyarakat Amerika pro Aceh, status GAM sebagai teroris dicabut. Peluang untuk perudingan damai pun semakin terbuka. Muhammad Nazar mencatat bahwa perundingan pertama yang dimediasi Henry Dunant Center (HDC) dari Swiss yang sempat berjalan beberapa bulan, tidak lepas dari peran SIRA yang aktif melakukan lobi. Sebab GAM sendiri, pada awalnya menolak berunding karena melihat HDC bukanlah negara. Namun, Muhammad Nazar terus berusaha meyakinkan GAM agar membuka perundingan asalkan berbentuk mediasi internasional meski bukan langsung atas nama negara.

Sepulangnya dari Amerika, Muhammad Nazar kembali beraktivitas seperti sedia kala di Aceh selama tiga bulan. Namun pada 12 Februari 2003 dini hari, tatkala orang sedang larut dalam alunan takbir, sekumpulan polisi dan aparat gabungan di bawah kendali Polda dan Mapoltabes Banda Aceh menangkap Muhammad Nazar di rumahnya, di kawasan Lampulo, Kuta Alam, Banda Aceh. Pintu kamar adiknya roboh didobrak. Muhammad Nazar pun diborgol lalu dimasukkan ke dalam sel Polda Aceh.

Setelah usai masa penyidikan dan penyelidikan, Muhammad Nazar kemudian ditahan di LP Keudah Banda Aceh. Tidak lama menjelang pemberlakuan darurat militer di tahun 2003, ia dipindahkan lagi ke sel Polda Aceh. Tepat di ulang tahunnya yang ke-30, 1 Juli 2003, Muhammad Nazar divonis 5 tahun penjara. Ia dijadikan sebagai tahanan politik karena dituduh banyak mengorganisir demontrasi anti kekerasan HAM dan referendum.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengecam putusan pengadilan Indonesia yang menjatuhkan hukuman lima tahun kepada Muhammad Nazar. Menurut AS, tindakan yang dilakukan Nazar diakui dalam konvensi badan dunia PBB mengenai hak-hak sipil dan politik. Pada 17 Mei 2004, Nazar kemudian dipindahkan ke LP Lowok Waru Malang, Jawa Timur.

Selama di penjara, Nazar terus berjuang dan semakin aktif menulis di media massa dan internet. Di saat proses rekonsiliasi perdamaian sudah mulai dilakukan antara pemerintah Indonesia dan GAM, Nazar sering didatangi sejumlah tokoh di penjara. Salah satu tokoh yang sering menemuinya adalah mantan Ketua Palang Merah Indonesia Marie Muhammad. Ia juga pernah melakukan komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu sangat aktif memantau proses perdamaian di Aceh.

Menjelang perundingan damai di Helsinki, beberapa utusan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari mendatangi Nazar untuk meminta masukan soal konsep perdamaian Aceh. Selama dua jam lebih, Muhammad Nazar menjelaskan pemikirannya yang juga ia sampaikan dalam bentuk tertulis. Mulai dari soal partai lokal, jumlah TNI/Polri, kompensasi untuk Aceh yang banyak dirugikan karena konflik, penghargaan kepada hak-hak sipil dan politik, kewenangan dan desentralisasi penuh antara pusat dan Aceh, persoalan identitas kultural aceh, hingga pembebasan tahanan politik tanpa syarat.

Sebenarnya, Menteri Hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaludin sudah memfasilitasi pembuatan paspor agar Muhammad Nazar bisa diberangkatkan ke Helsinki. Namun DPR RI tidak menyetujui keikutsertaan Nazar sebagai perunding karena berstatus sebagai tahanan. Meskipun demikian, Nazar tetap bersyukur karena bisa mengikutsertakan anggota SIRA lainnya dalam perundingan dan menyampaikan konsepnya tentang solusi Aceh yang sangat khas dalam negara besar Indonesia.

Pemerintah Indonesia dan GAM kemudian sepakat menandatangani persetujuan damai yang dikenal dengan (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang ditindaklanjuti lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai kompensasi atas kesepakatan itu, Muhammad Nazar dibebaskan pada 31 Agustus 2005.

Setelah dibebaskan, pimpinan GAM mempercayakan Muhammad Nazar untuk menjadi drafter Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) versi GAM. Ia juga menjadi anggota tim pengawalan UU PA dengan SK Guburner Aceh saat itu dan diangkat menjadi tenaga asistensi khusus oleh Pj. Gubernur Aceh Mustafa Abu Bakar untuk membantunya memberikan berbagai masukan karena Aceh sedang dalam proses transisi yang berbeda dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Memasuki tahun 2006, Aceh bersiap-siap menyambut pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Saat itu, Muhammad Nazar memenangkan bursa calon gubernur-calon wakil gubernur Aceh versi GAM-SIRA. Namun, para pimpinan GAM dari luar negeri dan beberapa elit mereka di Aceh menginginkan pasangan lain. Padahal saat itu, ia memenangkan beberapa kali konvesi GAM-SIRA untuk bakal calon gubernur dan wakil gubernur bersama Tgk. Nashiruddin ben Ahmad.

Namun karena situasi yang kurang kondusif, Tgk. Nashiruddin ben Ahmad akhirnya mengundurkan diri. Kenyataan itu tidak membuat Nazar kehabisan akal. Ia membuat skenario politik baru dengan mencari bakal calon gubernur lain tanpa konvensi GAM-SIRA. Yang ada hanya semacam konvensi SIRA yang didukung banyak mantan panglima GAM yang menetap di Aceh.

Setelah melalui berbagai perbedaan pandangan yang hampir memecah belah SIRA, akhirnya disepakati akan mengajak Irwandi Yusuf sebagai calon gubernur dan Muhammad Nazar sebagai wakilnya lewat jalur non partai. Irwandi Yusuf saat dimintai kesediaannya menyatakan menolak karena merasa tidak berpengalaman dan tidak mempunyai cukup dana. Nazar diam-diam kemudian mengirimkan sejumlah tokoh untuk meyakinkan Irwandi Yusuf.

Pada suatu kesempatan, Irwandi Yusuf menemui Nazar dan mengatakan bahwa sejumlah tokoh memintanya menjadi calon gubernur padahal dia sendiri merasa tidak siap. Nazar kemudian berusaha menyakinkan Irwandi Yusuf bahwa ia akan bekerja keras mengurusi pemerintahan nantinya. Strategi Nazar ini pada akhirnya membuahkan hasil. Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar menang mutlak mengalahkan tujuh pasang lainnya, termasuk beberapa jenderal dan elit politik senior Aceh.

Dalam pilkada 2006 itu, Biro Penerangan GAM di Swedia, Tgk Bakhtiar Abdullah menyatakan kekagumannya pada sosok Muhammad Nazar. Menurutnya, meski beberapa kali ditangkap dan dipenjarakan, Muhammad Nazar tetap teguh memperjuangkan demokrasi demi mengubah nasib Aceh. Keteguhannya itu kemudian menjadi identitas diri yang dikenali oleh golongan intelektual dan golongan politik di Aceh. Selain itu, salah seorang juru runding GAM itu juga mengatakan bahwa Nazar mempunyai kepemimpinan politik dan agama yang mumpuni. Ia melihat Nazar sebagai tokoh yang murah senyum dan sederhana hidupnya.

Ia sendiri dalam kesempatan wawancara dengan TokohIndonesia.com menyatakan tidak menyimpan rasa dendam kepada pemerintah. Sebab apa yang diperjuangkannya adalah demi martabat dan marwah rakyat Aceh. Unjuk rasa yang mengerahkan massa ribuan bahkan jutaan orang yang oleh pemerintah dianggap sebagai bentuk provokasi, tujuannya semata-mata agar ada perundingan dan penghentian kekerasan. “Kita ‘kan tergetnya perundingan dan penghentian kekerasan oleh GAM maupun TNI/Polri, kedua belah pihak,” katanya. Nazar juga menekankan pentingnya membangun Aceh dalam negara besar Indonesia.

Selama lima tahun menjabat sebagai wakil gubernur (2006-2011), Nazar sudah membuktikan pandangannya itu. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengukuhkan Indonesia sebagai negara kesatuan. Saat menjadi wakil gubernur, ia sudah tiga kali menjadi inspektur upacara saat perayaan HUT RI. Belum lagi di setiap upacara lainnya. Ia juga menjadi Pembina di SKPPI (Seminar Kebangsaan Peradaban dan Pemikiran Islam) dimana istrinya menjadi wakil ketua. Ia juga terlibat dalam berbagai organisasi nasional seperti Kosgoro. “Itu ‘kan, semua saya pikir untuk kepentingan bangsa ini. Kalau saya tidak cinta, tentu sebelumnya saya sudah mendeklarasikan, saat memimpin demo dua juta, sudah kita lepaskan.”

Ia melihat bahwa bahwa apa yang dilakukannya yakni memupuk rasa cinta pada NKRI juga didukung oleh mantan GAM lainnya. Bahkan kecintaan itu bisa ditumbuhkan lebih besar lagi di berbagai gerakan misalnya gerakan Pramuka yang bertujuan menciptakan manusia Pancasila. “Tidak mungkin partai besar seperti Partai Demokrat dan PPP mengusung saya maju menjadi gubernur,” katanya menegaskan posisinya sebagai anak bangsa.

Kini, dalam Pilkada 2012, Muhammad Nazar ingin melanjutkan pengabdian dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh, tak lagi berpasangan dengan Irwandi Yusuf. Sejumlah lembaga survei menempatkan Ketua Majelis Tinggi Partai SIRA ini sebagai calon kuat dengan tingkat keterpilihan paling tinggi. Penulis: atur-san-bety| Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Muhammad Nazar, Wagub NAD (2006-2012) dan Pendiri Partai SIRA / Pejuang Aceh yang Bermartabat | Direktori | Gubernur, aceh, Wakil gubernur, pemilukada, SIRA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini