Penegakan Hukum dan Keamanan Nasional

 
0
776
Penegakan Hukum dan Keamanan Nasional
Romli Atmasasmita | TokohIndonesia.com | ms

[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita | Dua variabel dalam judul tulisan ini memiliki makna dan pemahaman yang berbeda secara signifikan. Variabel pertama bertumpu pada UUD 1945 dengan titik berat pada prinsip kepastian hukum dan keadilan yang bermuara pada kesejahteraan (prosperity).

Sedangkan variabel kedua bertumpu pada UUD 1945 dengan titik berat pada kedaulatan negara yang bermuara pada keamanan (security) dalam kehidupan bangsa dan negara. Wilayah penegakan hukum bergerak dari hulu penyelidikan, penyidikan, penuntutan) sampai ke hilir (pengadilan,termasuk MA). Sedangkan wilayah keamanan nasional bergerak dari pencegahan proaktif termasuk pendeteksian, peringatan dini, dan penindakan dini sampai kepada pengendalian yang bersifat pro-justisia atau nonpro- justisia.

Keberhasilan penegakan hukum dalam negara demokrasi bertumpu pada prinsip ‘due process of law’, sedangkan keberhasilan keamanan nasional bertumpu pada “efektivitas” tercapainya tujuan. Berdasarkan karakteristik kedua variabel di atas,sangat jelas bahwa keduanya harus dipisahkan satu sama lain dan tidak dapat dicampur adukkan. Penegakan hukum merupakan salah satu faktor pendukung keamanan nasional, akan tetapi bukan merupakan bagian integral dari keamanan nasional.

Sebaliknya juga keamanan nasional tidak identik dengan penegakan hukum karena penegakan hukum bersifat terbuka (transparan), sedangkan keamanan nasional bersifat tertutup (inklusif). Penegakan hukum yang bersifat tertutup bukanlah penegakan hukum setidaknya dalam suatu negara demokrasi, melainkan sering terjadi di dalam negara demokrasi dengan pemerintahan yang otoritarian. Keamanan nasional yang bersifat terbuka bukanlah keamanan dalam arti sesungguhnya setidaknya dalam suatu negara otoritarian yang bertransisi ke arah demokrasi.

Otoriter?

Bagaimana politik dalam negeri Indonesia dalam menghadapi dua variabel tersebut tampak dari penyusunan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (2010)? RUU Keamanan Nasional (2010) bertumpu pada kedaulatan negara dan mempertahankan serta memelihara eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan stabilitas keamanan nasional yang hanya dapat dicapai melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan nasional.

Yang masih dipersoalkan di berbagai negara adalah cara atau metode untuk mencapai stabilitas keamanan nasional dengan tujuan yang tentu beragam antara satu negara dengan negara lain. Hal ini sangat bergantung sistem pemerintahan yang dianut apakah sistem otoritarian atau sistem demokrasi karena kedua sistem ini sangat mempengaruhi cara bagaimana keamanan nasional dipertahankan dari ancaman luar dan dalam terhadap kedaulatan suatu negara.

Dalam menghadapi ancaman terorisme misalnya, contoh nyata, pemerintahan Bush ketika itu telah menggunakan UU Patriot Act, dan beberapa arahan dari Presiden Bush, sehingga terjadi peristiwa penangkapan dan penahanan tersangka teroris di Guantanamo dengan cara-cara yang mengabaikan prinsip due process of law,bahkan diduga kuat telah melanggar Konvensi PBB Antipenyiksaan.

Pembenaran pemerintah Bush terhadap pelanggaran-pelanggaran prinsipprinsip HAM dilakukan dengan mengkaji Konvensi PBB tersebut dari perspektif Konstitusi AS. Inti dari fakta tersebut adalah ketika keamanan nasional diancam oleh kekuatan sipil bersenjata, dalam pemerintahan yang berbasis demokrasi bisa juga terjadi sikap dan perilaku yang bersifat otoritarian. Bassiouni dalam buku,The Institutionalization of Torture of Bush Administration: Is Anyone Responsible? (2010),menyebutnya dengan “sistem pemerintahan demokrasi berbasis otoritarianisme”.

Tindakan Luar Biasa

Jika lingkup keamanan nasional sangat luas,akan sulit menetapkan indikator keberhasilan yang pasti,terukur,dan tepercaya.Karena itu, pengaturan masalah keamanan nasional di dalam suatu UU secara implisit menempatkan strategi kebijakan keamanan nasional dalam ruang “terbatas”dan cenderung “kaku” serta sulit digunakan di dalam mengantisipasi dan menegakkan kedaulatan negara secara benar dan tepat guna.

Hal ini disebabkan mobilitas ancaman dan gangguan serius baik dari dalam dan terutama dari luar terhadap keamanan nasional sangat variatif, mobilitas tinggi dengan dukungan teknologi canggih, serta dengan dampak yang bersifat luar biasa dan bersifat masif. Dalam konteks keadaan tertentu seperti itu, Presiden selaku kepala negara berwenang mengambil tindakantindakan luar biasa yang boleh menyimpang dari ketentuan hukum objektif yang berlaku.

Advertisement

Tindakan Presiden tersebut hanya dapat diatur di dalam UU Keadaan Bahaya atau “Emergency Act” atau “Martial Law”.UU Keadaan Bahaya Nomor 23 Tahun 1959 telah menetapkan klasifikasi keadaan bahaya dalam tiga hal,yaitu keadaan darurat sipil, darurat militer dan darurat perang. Tiga jenis keadaan bahaya tersebut masih relevan dengan keadaan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta kondisi penegakan hukum saat ini.

Eksistensi UU Tahun 1959 tersebut kini diperkuat dengan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang bertumpu pada keamanan nasional, dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan pendanaan terorisme. Iktikad baik pemerintah mengajukan RUU Kamnas (2010) ke dalam Prolegnas Tahun 2010 patut diapresiasi untuk menyesuaikan UU Nomor 23 Tahun 1959 ke dalam situasi dan kondisi Kamnas era abad 21.

Meski demikian, sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 telah memberikan mandat kepada Presiden sebagai kepala negara untuk mengambil tindakantindakan tertentu dalam keadaan bahaya (darurat) sekalipun menyimpang dari prinsip-prinsip due process of law. Yang terpenting di dalam setiap tingkatan keadaan bahaya tersebut setiap langkah atau tindakan harus dilandaskan pada ketentuan yang berlaku di dalam UU tersebut.

Penyimpangan terhadap prinsip- prinsip hukum objektif juga tidak keliru karena UUD 1945 Pasal 29 J membolehkan tindakan tersebut sepanjang untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dan diatur dalam suatu UU. Unsur penentu kebijakan menentukan kebijakan untuk tiga keadaan bahaya (darurat) yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 adalah hanya pada Presiden selaku kepala negara.

Sedangkan unsur pelaksana kebijakan Presiden disesuaikan dengan tingkatan keadaan bahayanya (darurat sipil,militer, atauperang).Pembedaantingkatan keadaan bahaya berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1959 sangat jelas dan pasti mengenai dalam keadaan bagaimanadansiapapelaksanadan penanggung jawabnya. Salah satu contoh yaitu dalam RUU Kamnas (2010) belum tampak kepastian hukum yang dilandaskan pada asas lex certa, dalam hal mendefinisikan dan membedakan antara pengertian istilah “tertib sipil” dan”darurat sipil”,antara”keamanan insani”dan “keamanan publik”.

Begitu pula perbedaan pengertian istilah,” ‘unsur utama’ penyelenggara Kamnas dan ‘Koordinator penyelenggara Kamnas’. Muara ketidakpastian hukum dalam RUU KAMNAS adalah rentannya jaminan perlindungan hukum atas hakhak dasar warga negara sejalan dengan bunyi ketentuan BAB XA UUD 1945 tentang HAM. Opini TokohIndonesia.com

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung

Juga diterbitkan Sindo, 7 Januari 2011

Tokoh Terkait: Romli Atmasasmita, | Kategori: Opini | Tags: Unpad, hukum, Keamanan Nasional

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini