Page 8 - Majalah Berita Indonesia Edisi 74
P. 8


                                    8 BERITAINDONESIA, Februari 2010BERITA TERDEPANilustrasi: dendyKesalahan Fatal RPMRancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang KontenMultimedia berparadigma otoriter, melanggar UU Pers danUU Penyiaran serta ingin melangkahi UU kebebasanberpendapat dan berbicara.ntah berniat baik atau hendakmembelenggu, rencana Kementerian Komunikasi dan Informasi menerbitkan RancanganPeraturan Menteri (RPM) untuk melindungi para pengguna internet dari kontenkonten yang merugikan, menuai kontroversi dan penolakan dari masyarakatkhususnya para pengguna internet. Peraturan ini dianggap membatasi kebebasanpublik dalam melakukan interaksi diinternet dan sebuah kemunduran demokrasi yang mengarah pada cara-cara masaOrde Baru yang mengekang kebebasanberpendapat.Pada dasarnya rancangan peraturan inibersifat sensor. Sejumlah pasalnya melarang penyelenggara jasa multimediamendistribusikan konten yang dianggapilegal (konten pornografi, konten yangmelanggar kesusilaan, informasi perjudian, merendahkan pihak lain, beritabohong, kebencian, SARA, pemerasan, kekerasan, dan privasi orang lain). Ia jugamengatur fungsi penyelenggara dan TimKonten Multimedia sebagai lembaga sensor, untuk memantau, menyaring, sertamemblokade konten ilegal. Pertanyaannya, ilegal menurut siapa?Peran Tim Konten Multimedia pundikhawatirkan akan sama dengan peranDepartemen Penerangan zaman Orba.Tim Konten Multimedia bisa menjadisebuah lembaga superbody (sangat berkuasa) karena secara aktif mengawasihingga memberikan sanksi, dari sanksiadministratif hingga pencabutan izinusaha bagi penyelenggara jasa internet.Kesalahan fatal RPM adalah penanggung jawab terletak pada logika bahwa penyelenggara konten menjadi penanggungjawab isi. Padahal, dalam dunia maya, penyelenggara konten tidak memiliki kekuasaan terhadap konten yang dibuat olehpenulis atau pengunggah (peng-upload).Keanehan lainnya, SIUP (Surat Izin UsahaPenerbitan) dibuat, namun orang yangmembuat web harus seizin menteri.Pihak Kemenkominfo sendiri menegaskan bahwa rancangan peraturan menteri(RPM) tentang konten multimedia tidakakan membredel pers. Namun lebih ditujukan pada konten multimedia yakni internet untuk mengatur penerimaan pengaduan masyarakat atas konten situsyang dianggap melawan norma yangberlaku di masyarakat. Gatot Dewabroto,Kepala Pusat Informasi dan HumasKemenkominfo kepada pers mengatakanbahwa rancangan ini tidak secara langsung masuk ke ranah pers. Walau secaramendasar ada empat UU yang menyinggung di situ, termasuk UU Telekomunikasi, UU Penyiaran, UU Pers, dan UUITE. Di sini menyinggung pers ketikamultimedia erat kaitannya dengan mediaonline.Seperti diketahui pengelola kontenkonten internet banyak juga yang dari media massa dengan berbasis situs beritaonline. Bilamana ini diterbitkan sebagaiperaturan maka sebagian besar mediaonline akan terkena sensor. Begitu jugadengan media televisi yang menyiarkancontent-nya melalui video streamingInternet pun bisa ikut terbelenggu. Apalagi pelarangan konten itu dilakukan berdasarkan laporan publik. Untuk orangawam tidak terlalu mempermasalahkanini. Yang dikhawatirkan, mereka yangmemiliki kekuasaan dan pengaruh dinegeri ini akan menyalahgunakannyauntuk mengancam keberadaan mediaonline tersebut.Sebenarnya UUD 1945 pasal 28E ayat3 telah menjamin hak kebebasan berpendapat publik. Bahkan RPM yangdiusulkan oleh Menteri Komunikasi danInformatika, Tifatul Sembiring tersebutmemiliki kedudukan yang lebih rendahdaripada UU pers. Masih dua tingkat dibawah UU, papar Roy Suryo anggotaKomisi I DPR RI. Pembatasan seharusnyadituangkan dalam Undang-Undang, tidakbisa langsung dengan peraturan menteri.Bahkan peraturan tersebut dianggap tidakmemiliki dasar hukum jika tidak ada UUyang secara spesifik yang mengaturmengenai konten media.Ketua Mahkamah Konstitusi MahfudMD seperti dilansir Media Indonesiamengatakan, peraturan menteri tersebuttidak dapat membatasi kebebasan berpendapat. Pasal dalam UUD 1945, yangmengatur kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, baik tertulis maupunlisan, termasuk kebebasan pers hanyaboleh diatur oleh UU. Aturan itu ditegaskan oleh Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945tentang pembatasan kebebasan. Yangmenyebutkan setiap orang wajib tundukkepada pembatasan yang ditetapkandengan undang-undang dengan maksudsemata-mata untuk menjamin pengakuanserta penghormatan atas hak kebebasanorang lain dan untuk memenuhi tuntutanyang adil sesuai dengan pertimbanganmoral, nilai-nilai agama, keamanan, danketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas juga menyatakan menolak Rancangan Peraturan Menteri Komunikasidan Informatika mengenai konten multimedia karena dinilai bertentangan denganUndang-undang Pers. Kode Etik Jurnalistik dianggap dapat dijadikan sebagai sarana regulasi konten pers, baik cetak,internet maupun penyiaran. UU No. 40tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 4 ayat(2) UU Pers mengatakan, “terhadap perstidak dikenakan sensor, bredel dan larangan penyiaran” dan ayat (3) mengatakan” untuk menjamin kemerdekaan pers,pers nasional mempunyai hak mencari,memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.Mengingat Menkominfo telah dua kaliingin merancang undang-undang danmendapat reaksi dari masyarakat - sebelumnya pernah mengajukan RancanganPeraturan Pemerintah tentang Penyadapan yang dinilai sebagai alat hukumuntuk melemahkan KPK, hakim Konstitusi Akil Mochtar mengingatkan Kemenkominfo untuk memperhatikan tatahukum dalam membuat aturan perundang-undangan.Mengutip pernyataan Presiden SusiloBambang Yudhoyono (18/2), sebaiknyarancangan itu dijajaki dulu dan menterimengajak dialog pihak terkait. Menteridan jajarannya juga tidak mengeluarkanpernyataan yang terlalu dini yang bisamenimbulkan salah persepsi di kalanganmasyarakat. „ RBE
                                
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12