Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 26
P. 13
BERITAINDONESIA, 07 Desember 2006 13V ISIBERITAKomisi Negaramandemen UUD 1945 telah mengubah secara fundamental pola hubungan kerja antara DPR danpemerintah. Telah terjadi pembagian kekuasaandi antara kedua lembaga negara tersebut, dalambanyak hal mengekang gerak langkah pemerintah, khususnyapara menteri, untuk menggolkan atau melaksanakan programyang membutuhkan persetujuan DPR. Pola hubungan ini mautidak mau menyeret presiden untuk lebih banyak melobi danmenggalang dukungan di parlemen.Bisa dibayangkan rumitnya pemerintahan Presiden SusiloBambang Yudhoyono yang harus membangun koalisi diantara tujuh partai: Demokrat, Golkar, PPP, PKS, PAN, PKB,PBB dan PKPI, yang memiliki platform politik yang berbedabeda. SBY memang meraih dukungan politik sangat besar—403 dari 550 suara DPR. Namun lebih banyak hanya di ataskertas, berwujud jadi kenyataan jika pemerintah memberikankonsesi-konsesi kepada partai-partai tersebut, kecualiDemokrat dan Golkar yang dipimpin oleh duet SBY-JK.Wewenang DPR tidak lagi semata-mata menyangkut fungsilegislasi, kontrol dan menyetujui atau menolak APBN, tetapitelah masuk jauh ke dalam fungsi eksekutif—mengaturrincian program dan alur anggaran pemerintah. Sedangkanpublik hanya menjatuhkan vonis kelambatan pelaksanaansuatu program kepada presiden atau menteri yang terkait.Padahal kelambatan itu lebih banyak disebabkan oleh panjangnya mata rantai birokrasi politis dan administratif DPR.Kerumitan lain yang menghadang SBY menyangkut polahubungannya dengan wakil presiden. Sebenarnya secara konstitusional sudah diatur oleh Pasal 4 UUD 1945, antara lain, bahwawakil presiden adalah pembantu presiden dan hanya bisamenggantikan posisi presiden bilamana presiden berhalangantetap.Namun, semangat dan jiwa hubungan konstitusional presidendan wakil presiden telah teraleanasi oleh perubahan sistempemilihan presiden, dari tidak langsung menjadi langsung. Makalahirlah semacam gentleman’s agreement antara presidendan wakil presiden ketika menjalin kemitraan dan kesepakatan untuk terjun bersama di dalam kontes pemilihan langsung. Faktor inilah yang lebih banyak menentukan pasangsurut hubungan SBY dan JK.SBY, baik secara terbuka maupun tertutup, membenarkanbahwa dia menempatkan JK sebagai mitra, bukan excluded(diluar) tetapi included (di dalam) tugas-tugas presiden.Kesepakatan di antara keduanya memang tidak dipaparkansecara rinci kepada publik, tetapi pernah dijelaskan oleh JKbahwa dia ditugasi SBY untuk mengkoordinasikan tugastugas Menko Perekonomian dan menteri-menteri di bidangekonomi. Jadi penilaian terhadap hubungan kerja antara SBYdan JK tidak bisa semata-mata ditilik dari sudut konstitusi,juga harus difahami dari segi gentleman’s agreement antaramereka. Dalam praktik, bobot kesepakatan bahkan lebih beratketimbang bobot konstitusional. Namun bagi rakyat, yangpaling penting keharmonisan hubungan mereka benar-benarmemberi manfaat bagi perbaikan kesejahteraan.SBY masih dihadapkan pada kerumitan lain. AmandemenUUD juga telah memberi angin bagi tumbuhnya komisi-komisi negara, bak jamur di musim hujan. Hasil kajian LembagaAdministrasi Negara terhadap 48 komisi negara akan segeradisampaikan ke Kantor Menteri Negara Pendayaan AparaturNegara. Tetapi kajian yang kental dengan keluhan tumpangtindihnya fungsi komisi tersebut akan menjadi tumpukandokumen, karena sulitnya membubarkan sebuah komisi yangdibentuk berdasarkan undang-undang. Membubarkan sebuahkomisi sama artinya mengamandemen undang-undang, suatupekerjaan yang memakan banyak dana, enerji dan waktu.Di antara 48 komisi, paling-paling yang dikenal publik hanya13 komisi; Komisi Hukum Nasional, Komisi Kebenaran danRekonsiliasi, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional,Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, KomisiNasional Hak Azasi Manusia, Komisi Nasional PerlindunganAnak, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi PengawasPersaingan Usaha, Komisi Pemberantasan Korupsi, KomisiPemilihan Umum, Komisi Yudisial dan Komisi NasionalKeselamatan Transportasi. Sudah tentu untuk operasionalisasikomisi-komisi tersebut memerlukan dukungan anggaran negara.Persoalannya, semua komisi tersebut harus didukung olehanggaran negara yang sangat terbatas. Fungsi komisiakhirnya hanya sebagai pipa penyalur keluhan dan protes.Rekomendasi-rekomendasi yang mereka hasilkan juga hanyamerupakan dokumen yang menumpuk dari waktu ke waktu.Tidak banyak yang bisa ditindaklanjuti karena kurangnyabukti, jadi perlu ditelusuri lebih lanjut. Ini artinya memerlukan konsistensi, sementara komisi yang bersangkutan kekurangan personil dan anggaran.Kehadiran komisi-komisi tersebut akhirnya menjadi sebuahkemubaziran. Hanya melilit ruang gerak pemerintah, khususnya presiden, yang sudah dihadapkan dengan segudangmasalah. Mungkin, di antara 48 komisi, hanya beberapa yangpunya peran penting, seperti Komnas HAM, KPU dan KPK.Tetapi ada yang tumpang tindih, misalnya KHN, KON dan KY.Inilah yang sedang ditangani oleh LAN dan Kantor Menpan.Tugas-tugas pemerintah, khususnya presiden, menjaditidak fokus pada masalah-masalah fundamental; pemulihanekonomi, pengentasan kemiskinan dan pengangguran,bilamana terlalu memprioritaskan tuntutan setiap komisiyang ingin diberi prioritas, baik perlakuan maupun anggaran.Sedangkan permasalahan fundamental tersebut bisa beralihmenjadi “bom waktu” bilamana tidak segera ditangani secarakonsisten, dan tidak didukung oleh anggaran yang memadai.Belum lagi berbagai masalah yang tidak kalah mendesak,seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat.Gertakan penarikan dukungan yang acapkali dilontarkanoleh dua pendukung penting pemerintah—Golkar dan PKS—acapkali menyita perhatian SBY. Juga polemik yang berlarutlarut, seperti tentang UKP3R, lebih banyak membenturkanSBY dan JK, ketimbang memberi solusi bagi masalahmasalah fundamental bangsa.Jadi sudah saatnya semua pihak membangun kedewasaanberpikir, berbicara, bersikap dan bertindak, jika bangsa iniingin segera keluar dari semua persoalan yang melilitnya. Ailustrasi: dendy