Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 36
P. 13


                                    BERITAINDONESIA, 26 April 2007 13V ISIBERITAIbukota Negaraanjir besar yang membenamkan hampir 60persen wilayah DaerahKhusus Ibukota (DKI)Jakarta, awal Februari lalu, melahirkan trauma sekaligus gagasan-gagasan yang bersifat reaktif, bukan antisipatif. Lewat terjangan banjir tersebut, tergambarbetapa rapuhnya ketahanan Ibukota Negara.Padahal luapan air kiriman dantumpahan hujan bukan satusatunya sumber kerapuhan Jakarta. Segunung masalah yangmenghinggapi Jakarta, terkait satu sama lain. Misalnya,banjir diperparah oleh buruknya pengelolaan tata ruang,rusak serta mampatnya saluran air, akibat timbunan sampahdan endapan lumpur. Lantas genangan air kotor dan timbunan sampah menjadi sarang berbagai penyakit menular.Secara umum, wajah Jakarta terpancar muram daripemukiman padat dan kumuh, air sungai coklat tua dan hitampekat yang menyebarkan bau anyir, polusi udara, lalulintasyang macet dan semrawut, penyakit menular, penyalahgunaan obat dan berbagai bentuk kejahatan. Ciri-ciri Metropolitan hanya ditemui di bibir Jalan Thamrin, JalanSudirman, Jalan Gatot Subroto dan Ancol, pemukiman elitMenteng, Denpasar, Pasir Putih dan Kapuk serta diapartemen-apartemen mewah yang menjulang ke langit.Mungkin dari lebih kurang 9 juta warga Jakarta, hanya 10%atau 900.000 jiwa yang menikmati fasilitas elit, mewah dannyaman tersebut. Merekalah yang memiliki mobil mewah,rumah mewah, apartemen mewah dan mondar-mandir dipusat-pusat belanja dan rendezvouz kelas satu. Selebihnya,atau 8.100.000, adalah masyarakat menengah yang beradasedikit di atas garis impas, dan mayoritas kelompok wargaakar rumput, yang bergulat dengan berbagai kesulitan hidup.Namun menurut Visi Indonesia 2030, bangsa Indonesia,khususnya warga Jakarta, akan menikmati penghasilan perkapita 18.000 dolar AS (Rp 164 juta) per tahun, atau kurangsedikit dari Rp 14 juta sebulan. Sungguh sebuah lompatanpendapatan yang sangat fantastis hanya dalam tempo 23tahun.Kembali ke soal banjir, memang ada penggagas yangcondong melihat sepotong-sepotong. Misalnya, untuk mengatasi banjir Jakarta, sedang dibangun Banjir Kanal Timur(BKT) sebagai pendamping Banjir Kanal Barat (BKB) yangberusia hampir dua abad. Namun baru saja dimulai, proyekBKT digerogoti oleh virus korupsi.Di tengah kemelut banjir, muncul gagasan untuk membangun terowongan air (deep tunnel) di dalam tanah.Memang banyak kota besar di negeri-negeri lain, misalnyaMalaysia, yang memilih terowongan air bawah tanah sebagaijalan alternatif paling pas. Lantas ada juga ide untukmerenovasi situ-situ, membangun sumur resapan dan pompainjeksi air ke dalam tanah. Namun semua gagasan tersebuttidak akan memberi solusi holistik dan berjangka panjangbagi segunung persoalan di Jakarta.Kita baru bicara tentang ancaman persoalan konkritJakarta. Kita belum bicara ancaman “bom waktu gejolaksosial” akibat tingginya angka pengangguran dan kemiskinan,yang melahirkan berbagai bentuk kejahatan. Pengangguranterbuka di Jakarta dan kota-kotabesar lainnya, hampir mencapaiangka 11%. Secara faktual, diJakarta kita melihat banyak orangbergerombol dan nongkrong dipinggir-pinggir jalan dari pagisampai sore. Mereka berusahamengais rezeki dengan cara apasaja, sedapat mungkin dengancara-cara yang halal, atau jikasangat terpaksa, menempuh caracara yang haram.Jakarta ibarat gadis bopengyang dipoles dengan bedak tebal.Hanya beberapa meter dari gedung-gedung pencakar langit, berhimpitan pemukiman kotordan kumuh. Nyamuk memenuhi parit-parit yang mampet.Tikus-tikus got pun tidak takut lagi pada anak-anak, apalagipada kucing. Anak-anak bermain di pinggir got yangmenyebarkan bau busuk. Sisi buram Jakarta sungguhmengenaskan.Inikah yang menjadi cikal bakal generasi 2030 yangberpenghasilan 18.000 dolar setahun? Pertanyaan inilayaknya kita tujukan kepada gubernur baru yang akandipilih, 8 Agustus nanti—Fauzi Bowo atau Adang Daradjatun.Sebab kalau jawabannya kita tunggu dari Gubernur Sutiyoso,maka waktunya yang tersisa hanya hitungan bulan, takkancukup untuk mengatasi segunung masalah Jakarta, meskipundia telah menjabat 10 tahun kurang 6 bulan.Memang mengatasi persoalan DKI, kita tidak bisa hanya berkutat di seputar Jakarta. Mari kita coba keluar dari Jakarta,meneropong masalah Jakarta, misalnya dari Cibinong. Akh..!lagi-lagi kita bermimpi. Namun kali ini mimpinya tak kalahspektakuler dari VI-2030, yang banyak bicara angka-angka.Kita bangun…Mimpi untuk Jakarta. Tetapi, meskipun takterhindarkan, tak perlu fokus pada angka-angka. Kita fokussaja pada azas manfaatnya. Di atas mimpi itu, mari kitabangun apa yang disebut (di dalam laporan sampul BI) proyekmonumental dan spektakular Tirta Sangga Jaya (TSJ) aliasKanal Penyangga Jakarta. Proyek ini mungkin sebandingdengan Terusan Suez di Mesir. Jika Terusan (kanal) Suezmemotong daratan sepanjang 163 kilometer dan tiga danauuntuk menghubungkan dua samudera, Atlantik dan Hindia.Maka kanal TSJ yang berbentuk huruf U memotong empatsungai besar—Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum—dan9 sungai kecil untuk mengamankan Ibukota Negara dariancaman banjir tahunan.Namun kanal sepanjang lebih kurang 240 kilometer yangberpusat di waduk pengendali utama (dam interchange) Cibinong menuju muara Tanjung Kait (Tangerang) di sebelahbarat dan muara Tanjung Jaya (Karawang) di sebelah timurbisa berfungsi multiguna. Kanal ini bisa mengendalikan banjirdan kekeringan, pembangkit listrik tenaga air, saranatransportasi air (bahkan angkutan peti kemas), pengairan,perikanan dan pariwisata.Kanal TSJ membentuk sabuk pengaman di punggung dansamping kiri-kanan Ibukota Negara. Mestinya proyek iniditangani oleh sebuah badan pengelola yang bertanggungjawab langsung pada Presiden, dan sangat terbuka bagipengawasan publik. Lantas biayanya dari mana? Tangguhkandulu soal biaya, mari kita bangun satu visi—Mimpi untukJakarta 2015. „Bilustrasi: dendy
                                
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17