Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 09
P. 13


                                    BERITAINDONESIA, 23 Maret 20061959, intinya kembali ke UUD 1945.Pasca dekrit, kehidupan politik Indonesia memasuki era baru; demokrasi terpimpin. Garis komando tertinggi dipegang oleh Soekarno selakuKepala Negara, Presiden dan PanglimaTertinggi ABRI. Kehidupan politiknegara—parlemen, eksekutif dan militer—dikendalikan oleh Bung Karno yangditetapkan MPRS sebagai presidenseumur hidup.Benih keberpihakan tentara padagaris politik partisan tumbuh kembalidi bawah bayang-bayang kebesaranBung Karno. Dominasi politik olehPKI, dan empati Bung Karno yangberlebihan pada kelompok ini, merongrong keutuhan ABRI. Karena adasekelompok perwira yang mengambilgaris partisan—mendukung kelompokkiri yang dipandang revolusioner, danmemusuhi kelompok perwira netralyang dituding reaksioner.Akibatnya, bayangan perpecahanABRI menjadi nyata, menajam, dantitik kulminasinya, tragedi berdarah—pembunuhan tujuh perwira tinggi ADoleh gerakan militer “revolusioner”yang didukung PKI, dinihari 1 Oktober1965.Situasi ini memberi justifikasi padaABRI untuk terlibat di dalam kancahdinamika politik masyarakat. ABRIdengan konsep Dwi Fungsinya masukjauh ke dalam kehidupan sosial politik;Siapa bilang TNI mutlakmemegang garis komando. Rapat parapimpinan militer diMabes Cilangkap pekanlalu, mendobrak kemutlakan tersebut. Keputusan Rapim,antara lain, menyelenggarakan jajakpendapat di kalangan prajurit—meskipun secara acak—untuk menakarpandangan mereka tentang perlutidaknya ikut Pemilu 2009.Kontroversi tentang posisi politikTNI bergulir kembali sejak munculnyaide memberi hak pilih pada lebihkurang 400.000 prajurit TNI. Memang para prajurit TNI pernah menggunakan hak pilih mereka dalamPemilu 1955. Padahal Panglima BesarTNI Jenderal Soedirman sudah memberi garis yang tegas: Garis politik TNIadalah garis politik negara.Sebelum memberikan justifikasipada ide yang sedang bergumul antarapro dan kontra tersebut, ada baiknyakita sejenak menengok ke belakang.Dinamika politik negara bisa dibagi kedalam empat era yang menggambarkan pasang dan surut peran politikTNI. Era demokrasi parlementer(1945-1959), demokrasi terpimpin(1959-1966), demokrasi Pancasila(1966-1998) dan era reformasi (1998-sekarang).Era demokrasi parlementer memberi hak pilih bagi tentara, tetapimengucilkannya dari politik kekuasaan. Pada paruh pertama eratersebut kehidupan politik diguncangoleh aksi polisional Belanda danpelbagai pemberontakan, baik olehkelompok sipil maupun militer. Dengan sendirinya perhatian TNI terfokus pada pemberantasan pemberontakan. Karena itu peranan politiknya tidak sampai mencuat ke permukaan.Namun gejolak politik pasca-Pemilu1955 yang bersumber dari kegagalanpara politisi sipil untuk menuntaskankemelut konstitusi, menyeret keberpihakan sejumlah perwira militer padapolitik partisan. Ada yang berkiblat kePNI, PKI dan Masyumi. Banyak jugaperwira militer yang mempertahankannetralitas mereka. Kelompok inilahyang mendukung Presiden Soekarnountuk mengeluarkan dekrit 5 JuliHAK PILIH PRAJURITVISI BERITAmembangun jalur ABG(ABRI, Birokrasi danGolkar) untuk melanggengkan pemerintahanyang berkuasa. Lebihdari 30 dekade, peranansospol ABRI benar-benar sangat eksesif.Di tengah dominasiseperti ini pun, di dalamtubuh ABRI sendiri lahir friksi—dikenal dengan faksi Jenderal Faisal Tandjung, faksi Jenderal Benny Moerdanidan faksi Jenderal Wiranto. Sejak Oktober1997, sekitar 24 perwiratinggi yang disebutMenhan Juwono Sudarsono termasuk SusiloBambang Yudhoyono(sekarang presiden),menggulirkan gagasan “redefinisi,reposisi dan reaktualisasi” peran ABRIdi dalam tatanan politik Indonesia.Maka kemudian (1998) lahir gerakanreformasi yang menggulung habisperan sosial politik ABRI.Juga menurut Juwono (http://www.tni.mil.id), tiga perwira tinggiTNI—Jenderal Susilo, LaksamanaWidodo AS dan Jenderal Endriartono,sejak Mei 1998 berperan besar didalam mengawal transformasi politikIndonesia. Memang agak bersebrangan. Setelah duduk di kursi presiden, Susilo memberi pesan pentingkepada Panglima baru, MarsekalDjoko Suyanto, tentang peran TNI:jaga netralitas, jangan bermain api dikancah politik praktis, hormati reformasi dan demokrasi.Karena itu kembalikan posisi politikTNI pada komitmen: “Garis politikTNI adalah garis politik negara.” Kalauingin TNI berperan proporsional,maka komitmen ini mestinya disikapisecara dinamis oleh para politisi sipildi lembaga-lembaga legislatif daneksekutif.Mungkin ide hak pilih prajurit perludisikapi seperti itu. Yaitu; memberiTNI tempat yang tepat dan aktual didalam dinamika politik negara: tidakberlebihan, tetapi juga tidak diremehkan. Bukan lantaran adanya udang dibalik batu. ■13
                                
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17