Page 8 - Majalah Berita Indonesia Edisi 50
P. 8
8 BERITAINDONESIA, 22 November 2007BERITA TERDEPANBerperan Sebagai TuhanSekelompok orang bisa dengan mudahmemberi cap “beriman” dan “sesat”terhadap keyakinan orang lain. Ironisnya,pemberian cap itu berlindung di baliknama Tuhan dan negara.ebulan terakhir ini,jemaah Al-Qiyadahal-Islamiyah dirundung rasa was-wasdan ketakutan. Berita tentangFatwa Majelis Ulama Indonesiayang menyatakan mereka sesatdan menyesatkan, interograsipolisi, dan penyisiran yang dilakukan oleh beberapa kelompokIslam garis keras mewarnaihalaman-halaman media massa dan layar kaca. Menghangatnya isu ‘aliran sesat’ rupanya juga mendapat tempatkhusus bagi sebuah stasiuntelevisi di Jakarta. Al-Qiyadahal-Islamiyah dicap sesat karenakomunitas yang mengaku sebagai muslim ini membenarkankedatangan rasul baru, pengganti fungsi kerasulan Muhammad.Melihat reaksi sebagian umatIslam yang merasa terganggu,pemimpin aliran Al-QiyadahAl-Islamiyah, Ahmad Mushaddeq beserta enam pengikutnyamenyerahkan diri ke MapoldaMetro Jaya, Jakarta, Senin (29/10). Sementara di Bogor, salahsatu bangunan semipermanendi Desa Gunung Sari, Kec. Pamijahan, Kab. Bogor yang diklaim Ahmad Mushaddeq sebagai tempat dirinya menerimawahyu, Selasa (30/10) pagidirobohkan massa dari Gerakan Umat Islam Indonesia.Keadaan yang makin mencekam, memaksa puluhan anggota Al-Qiyadah di Yogyakartadan Semarang melapor ke polisimeminta perlindungan karenadiancam keselamatannya.Kisruh soal aliran yang sudahmemiliki 8.000 pengikut iniakhirnya bisa diredam setelahAhmad Mushaddeq yang menyebut dirinya Al-Mawuud(yang dijanjikan) memilih ‘bertobat’ dengan membacakan duakalimat syahadat di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya,Jakarta, Jumat (9/11) petang. Iajuga menarik ucapannya sebagai nabi atau rasul dan berjanji akan taat kepada syariatIslam, rukun Islam serta iman.Pernyataan tobat ini terjadisetelah Mushaddeq berdiskusidengan sejumlah ulama sepertiKetua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Agil Siraj,Ketua Umum Front PersatuanNasional KH Agus Miftach, danpakar komunikasi UniversitasIndonesia yang juga mantanDuta Besar Indonesia untukMesir, Prof Dr Bachtiar Ali.Ahmad Mushaddeq bolehsaja memilih ‘bertobat’ namunbelum tentu dengan pemimpin(pengikut) aliran-aliran lainyang diam-diam berkembang.Sebab lahirnya berbagai kelompok ataualiran (sekte) agamabukanlahberita barudi Indonesiaapalagi dinegara-negara lain seperti Pakistan dan Suriah. Aliran(sekte) itu tidak hanyamenyempaldari Islamtetapi jugadari agamaagama lain.Di Indonesiasaja, sejak2001 hingga2007, sedikitnya ada250 aliran yang berkembang.Dari jumlah itu, 50 diantaranyatumbuh subur di Jawa Barat.Komunitas Eden di Jakarta,jemaah Al-Quran Suci di JawaBarat, Al-Haq di Riau, AnNadzier di Sulawesi Selatan,Ridho Allah di Jakarta, ataubeberapa jemaah lain dengannama beragam mempunyaikepercayaan dan cara beribadah yang berbeda dengan agama ‘mainstream’.Krisis agama, ekonomi, danpolitik, yang tekanannya semakin meningkat dalam masyarakat menjadi katalis munculnya perbedaan dalam halkeyakinan dan kepercayaan. AlQiyadah al-Islamiyah, yangberarti kepemimpinan Islam,mungkin menjadi menarik bagisejumlah pengikutnya karenamereka menemukan jawabandari krisis (rohani) yang merekahadapi. Mereka menemukanseorang pemimpin, mesias, rajaadil, juru selamat, sang imammahdi, atau seorang nabi, yangbisa memberi mereka jalan keluar dan harapan baru.Pemberian stempel sesat olehsejumlah kalangan bahkan dibuatnya ‘sepuluhkriteria’ untuk menilaiapakah sebuah aliranbisa dikatakan sesatatau tidak,serta mertamenimbulkan sebuahpertanyaansederhana,“Kalau aliran itu mengajarkan orang untukberperilakubaik, tidakberzina, tidak merampok, bekerja keras. Bisakahmereka dibilang sesat?”. Pertanyaan ini mengemuka dalamdialog yang diangkat Putu Setiadalam tulisannya di kolom CariAngin, Harian Koran Tempo(4/11).“Anda mengajarkan orangbersembahyang hanya sekali,padahal kitab suci jelas mewajibkan sembahyang tiga kali.Itu kan menyimpang,” kataprebekel (kepala desa), menirukan kesimpulan ketua majelisagama. “Prebekel, apakah Andapernah meneliti berapa orangyang taat bersembahyang tigakali? Sedikit sekali, bahkanlebih banyak yang tidak bersembahyang. Kalau kami menetapkan sembahyang hanyasekali tapi betul-betul dilakukan, bukankah itu lebih baik?Kelompok kami anti berzina. Dimasyarakat, sundel gentayangan dan diberi nama indahindah: pelacur, wanita tunasusila, pekerja seks komersial.Kami bekerja keras, di masyarakat korupsi subur, orangorang merampok, bahkan kekerasan dilakukan sambil menyebut kebesaran Tuhan. Kok,kami yang sesat, bagaimanadalilnya?”Dialog yang bisa membuatpembaca ‘mengangguk-angguksambil merenung’ ini terusberlanjut dan berakhir padakesimpulan bahwa kalau si Amenuduh si B sesat berdasarkan agama (kriteria) si A,tentu benar. Namun, si B punboleh menuduh si A sesat berdasarkan keyakinan (kriteria) siB. Sebab keyakinan itu urusanpribadi, urusan manusia dengan Tuhan. Kalau berbuatonar, baru urusan polisi. Dengan kata lain, toleransi menjadi garda terdepan kalau sudahbicara tentang keyakinan.Oleh sebab itu, kalau logikanya seperti itu, sekelompokorang yang dengan mudahmemberi cap “beriman” dan“sesat”, sudah bersikap lancangdan merasa diri paling suci.Sebab hanya Tuhanlah yangmemberi dan paling mengetahui siapa yang beriman dansesat. Ironisnya, pemberian capitu berlindung di balik namaTuhan dan negara.Pemerintah (otoritas agama) boleh saja berkomitmenmencegah berkembangnyaaliran yang dikatakan sesat dinegeri ini dan menanganinyadalam koridor hukum. Namun, seringkali niat baik itudinodai oleh tindak kekerasanoleh sekelompok orang yangjustru membuat resah masyarakat. Aparat pun seharusnya memosisikan diri sebagai garis yang netral dan tidakmewakili pihak manapun. “Iniyang tidak dilakukan oleh aparat,” kata Ifdhal Kasim, KetuaKomnas HAM seperti dikutipMajalah Gatra. MLPSilustrasi: dendy