Page 8 - Majalah Berita Indonesia Edisi 54
P. 8


                                    8 BERITAINDONESIA, 31 Januari 2008BERITA TERDEPANTempe Makin ‘Langsing’Sungguh ironis. Sebagai negara agrarisIndonesia tidak mampu memenuhikebutuhan kedelai dalam negeri.mengencerkan adonan tepung.Akibatnya, kualitas tempegoreng itu jadi menurun. Begitu pula dengan pedagang‘nasi kucing’ (nasi bungkusdengan lauk oseng-oseng tempe dan sambal) yang terpaksamenaikkan harga. Semula hanya Rp 700 sekarang menjadiRp 1.000 per bungkus.Naiknya harga kedelai disebabkan oleh melambungnyaharga kedelai di pasar internasional. Berdasarkan analisadari Goldman Sachs Group Incdan Deutsche Bank AG, sebagaimana diberitakan Bloomberg, harga kedelai saat inimerupakan angka tertinggidalam 34 tahun terakhir, setelah pernah mengalami puncaknya pada tahun 1974. Produksikedelai dunia pun sedang lesu.Imbasnya sangat terasa di Indonesia yang hampir separuhkebutuhan kedelainya dipenuhilewat impor langsung. MenurutBadan Pusat Statistik, kebutuhan kedelai nasional mencapai1,3 juta ton setahun. PadahalIndonesia tahun ini cuma bisamemproduksi 620 ribu ton.Sisanya diimpor.Usaha pemerintah mengatasi gejolak harga ini denganmenghapuskan bea masukkedelai, dari semula 10 persenmenjadi nol persen, dinilaisejumlah kalangan absurdkarena tidak mempunyai efekapa pun terhadap harga dankelangkaan kedelai saat ini.Didik J Rachbini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PartaiAmanat Nasional (PAN), diJakarta, Selasa (15/1), mengatakan bahwa kasus ini menunjukkan adanya kebijakankosong dalam hal ketahananpangan, khususnya untuk kedelai yang menjadi bahan bakutempe sebagai makanan rakyatyang sudah mendarah daging.Menurut Didik, yang jugaanggota DPR, sistem produksikedelai hancur karena kebijakan pemerintah terhadapsistem komoditas ini adalahkebijakan pembiaran, yangtidak memberi stimulasi terhadap petani untuk mendapatinsentif keuntungan dalamberproduksi. Didik mengusulkan agar pemerintah membangun kebijakan baru denganmenciptakan stimulasi daninsentif yang baik melalui tarifyang tinggi pada saat hargaturun. Sedangkan, PresidenSusilo Bambang Yudhoyonokepada wartawan setelah memimpin rapat terbatas denganmenteri dan jajaran eselon IDepartemen Pertanian, malahmengungkapkan, perlunya produsen tempe-tahu beradaptasimenghadapi kenaikan hargakedelai di pasar dunia.Pemerintah seharusnya tidak perlu terkejut dengankenaikan harga kedelai ini.Sebab Perserikatan BangsaBangsa (PBB) telah mengeluarkan perkiraan pada bulanAgustus tahun lalu bahwapersediaan pangan dan kacang-kacangan, ketela untukkebutuhan dunia akan menurun karena sebagian dipindahkan untuk pembuatan biodisel dan metanol akibat hargaminyak yang makin mahal.Karena itu, persoalan ini harusnya bisa diantisipasi pemerintah sejak awal. Krisis hargakedelai terjadi akibat Indonesiaterlalu banyak melakukan impor kedelai dan tidak banyakmemproduksi sendiri. Petanienggan menanam kedelai karena tidak menguntungkan dantidak ada jaminan harga. Menurut hitungan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian SutartoAlimoeso, karena rendahnyahasil panen kedelai, petanicuma bisa mendapat untung Rp1 juta per hektare selama satumusim tanam atau sekitar tigabulan. Bandingkan dengan lababila menanam jagung, yangmencapai Rp 5-6 juta per hektare untuk jangka yang sama.Jangan heran bila tahun iniproduksi kedelai lebih rendah127 ribu ton per tahun dibanding produksi tahun lalu, yangmencapai 747 ribu ton. Selainitu, pengusaha yang berbasiskedelai, lebih memilih produkimpor seperti dari AmerikaSerikat, untuk bahan bakutempe dan tahu. Itulah sebabnya, tempe yang banyak beredar di pasaran kedelainyabesar-besar. Kalau mengandalkan kedelai lokal, pengusahaenggan karena ukurannya kecil.Kenyataan ini memangmembuat posisi pemerintahserba sulit. Peningkatan produksi kedelai dengan harapandapat mengurangi ketergantungan kita kepada impor,tidak semudah membalik telapak tangan. Bisa-bisa, sebentarlagi, kita pun harus mengimpor tempe dari luar. „ MLPJanga kaget bilamenjumpai tempedi pasar kini ukurannya jauh lebihkecil. Tempe-tempe itu, baikdalam kemasan plastik maupunbungkusan daun, terlihat lebih“langsing”. Tidak ada lagi tempegemuk, apalagi tambun. Hargakedelai impor sebagai bahanbaku tempe yang terus melangitmenjadi biang keroknya.Kedelai yang biasanya dijualRp 3.000 per kilogram melonjak menjadi Rp 6.000 per kg,bahkan di tempat-tempat tertentu menjadi Rp 8.000 per kg.Ribuan pengusaha kecil pembuat tahu dan tempe menjerit.Sebagian berdemonstrasi menuntut pemerintah untuk menurunkan harga kedelai. Sebagian lagi gulung tikar karenatidak sanggup berproduksi.Yang paling terbebani olehkenaikan harga kedelai ini adalah produsen kecil dan menengah yang hanya mampu memproduksi 25 kg setiap harinya.Sementara itu, yang mencobatetap berproduksi adalah produsen tahu menengah ke atasyang biasanya memproduksilebih dari 100 kg/hari. Itu pundengan cara mengurangi produksi 50 persen, ukurannyadiperkecil atau mencampurbahan baku tempe yaitu kedelaidengan kulit kedelai.Menurut perwakilan PrimerKoperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Slamet Riyadi, diJakarta, rata-rata separuhpengusaha tempe tahu bangkrut. Di Jakarta Pusat, lanjutSlamet, separuh dari 700 produsen telah bangkrut. Di Jakarta Utara, 50 persen dari 800produsen juga telah tutup. DiTangerang, 20 persen dari 1200produsen telah kolaps. Sisanyatinggal menunggu waktu.Tidak hanya produsen tempe tahu yang ketar-ketir. Setelah memutar otak akibatlangkanya minyak tanah, naiknya harga terigu, para penjualgorengan pun harus pintarpintar mengemas tempe goreng yang mereka jajakan.Caranya, selain memperkecilukuran tempenya, juga menggunakan terigu murah danilustrasi: dendy
                                
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12