Page 66 - Majalah Berita Indonesia Edisi 69
P. 66
66 BERITAINDONESIA, Agustus 2009BERITA BUKUPerempuan CendrawasihKisah tiga perempuanzaman pascakolonial yangmenabukan tanah leluhur.etelah novel Saman karya AyuUtami (1997), Sayembara NovelDKJ seperti menempuh jalansunyi. Saman lahir tepat di zamanmelek keterbukaan, reformasi, krisis moneter (krismon) sekaligus krisis multidimensi, dan gelombang terbaru era kesadaran perempuan dalam menulis yang kelak disebut sebagai “sastra wangi”. Setelahitu Saman menjadi fenomena yang sepertinya sulit digeser dari rahim sebuahsayembara mengarang novel DKJ dan sejenisnya.Entah karena suatu hal, SayembaraNovel DKJ jadi kehilangan gregetnya. Kesepian pembaca mewarnai lahirnya novelperaih juara pertama Sayembara NovelDKJ 2003, Dadaisme karya Dewi Sartika.Novel Hubu karya Masruri yang masuksebagai pemenang pertama SayembaraNovel DKJ 2007 juga melenggang tanpasambutan pembaca yang berarti, nyaristanpa kritisi, seperti menandakan perayaan pembacaan yang sepi dan sekadarrutinitas belaka. Padahal, sayembaramengarang novel DKJ termasuk salahsatu momen bersejarah yang kerap melahirkan karya sastra Indonesia bermutu.Melangkah di tahun 2008, kelahiran Tanah Tabu yang terpilih sebagai satu-satunya pemenang (tidak ada juara 2 dan 3 -Red) dari 244 naskah, menjadi catatanyang perlu digarisbawahi. Dalam Tabu, isuperempuan penulis sudah menyublim,meski Anindita S. Thayf adalah perempuanyang menulis tentang dunia perempuan.Begitupun dari sisi tema, novel Tabu tidaklagi berfokus dengan tema ketubuhan.Etnografis FilantropisNovel Tanah Tabu menjadi istimewabukan hanya karena ia telah menjadi satusatunya pemenang dari sayembara novelsastra bergengsi tahun ini, melainkankehadirannya menjadi tongkat estafettema keberpihakan terhadap wong cilik.Tema ini sudah duluan dilecutkan lewatLaskar Pelangi (karya Andrea Hirata)sekitar lima tahun silam. Dan menjadilebih istimewa lagi karena secara teknispenceritaan, Tanah Tabu memberikanbentukan baru dengan mengambil temapascakolonial dengan nuansa filantropisyang pekat. Aroma keindonesiaan tidakdilancarkan secara verbal. Tapi jelas, Tanah Tabu menjadi pembuktian tema“lama” - soal keindonesiaan – dalam perspektif kekinian.Terbagi dalam tiga pencerita, TanahTabu menawarkan tiga sudut pandangpenceritaan yang berbeda; antara aku(manusia), Pum (seekor anjing), dan Kwee(seekor babi). Dari ketiga penceritaaninilah kisah perempuan-perempuan“perkasa” di tanah Papua teriwayatkan.Irian, Papua, pulau Kepala Burung, atauentah apalah namanya, kita mengingatnyasebagai provinsi paling Timur, di manaalam perawannya menjadi penanda betapa kayanya kandungan alam di dalamnya.Burung “surga” cenderawasih kuningkecil, kakaktua jambul merah, bunga kerisberbatang ungu, ikan arwana bersiripjingga, anggrek hutan berkelopak hitam,dan buah merah, buaya berkulit hijauzamrud dan lain sebagainya adalah sedikitcontoh yang biasa kita hafal selama ini.Namun, di dalam keindahan alam itutersimpanlah kisah yang berbeda.Kisah muram para penghuninya yangkadang tak secorak indahnya dengankeelokan alamnya. Dan ironisnya, tingkatkehidupan mereka yang di bawah ratarata menjadikan kisah ini sangat tragisdan dramatik. Cerita yang muncul justrukisah manusia yang ternyata jauh darikeindahan alamnya.Adalah Mabel perempuan tokoh utamayang punya semangat bagai gunung yangmampu mematahkan leher lelaki dewasa.Mabel lahir ketika Belanda datang keLembah Baliem, Timika pada tahun 1946,yang lalu diasuh oleh pasangan keluargaBelanda. Kondisi bagai langit dan bumiantara penjajah dan pribumi tergambarjelas dari tingkat kehidupan. Dapatdimengerti jika akhirnya Mabel menjadisangat terpelajar di alam Papua yangperawan. Kendati seperti itu, Mabel(seperti juga pribumi lainnya) tetapdilarang bersekolah.Sampai akhirnya Mabel mengakhiriperjalanan hidupnya di Timika, menikahdua kali, dan bertemu Lisbeth; seorangperempuan tangguh yang mempunyaianak perempuan bernama Leksi. Sejakdari awal sampai akhir dikisahkan bagaimana kehidupan alam Papua yang kayaakan bahan tambang, mempunyai penduduk asli (Komen) yang menabukan tanahnya untuk menjaga kelestarian alam.Papua yang kaya akan kekayaan alammuncul dalam narasi yang jauh dari kesanyang indah-indah belaka. Kekayaan alamdieksploitasi oleh kaum pendatang,sedangkan penduduk asli tidak hanyaterjajah, tapi tidak menikmati hasilkekayaan alamnya sendiri. Inilah karyanovel pascakolonial pertama sejak maraknya kemunculan novel berbau ketubuhan.Sebagai karya perempuan dengan sudutpandang perempuan, Tanah Tabu sanggup mendokumentasikan persoalan domestikasi dalam bingkai lokal (Papua)menjadi persoalan yang lebih kompleks(keindonesiaan).Sub-tema peranan militer (pascakolonialisme) dibentur-benturkan dengan tema feminisme. Untungnya, si pengarangberpegang pada standar cerita, jadi kepekaan Tanah Tabu tidak hanya bersandarpada sensasi narasi dan ironi kisahnya.Dengan teknik penulisan yang berpindah-pindah dari ketiga narator tadimembuat nuansa magis Papua lebihkentara. Tanah Tabu mencuri perhatianbukan hanya tema (etnografis) Papuayang jarang dilirik oleh pengarang Indonesia mutakhir, namun soal-soal kehidupan yang subtil dan krusial menjadipoin tersendiri.Sedangkan tema perempuan yang menjadi tali simpul seluruh kisah menjadipengayaan sudut pandang berbeda. Betapa alam ini telah diruwat dan dirusakoleh kaum “lelaki”, dan begitulah kisahperempuan di daerah tanah yang ditabukan itu bermula. CHUSSJudul: Tanah Tabu(Pemenang Pertama SayembaraNovel DKJ 2008)Pengarang: Anindita S. ThayfTebal: 237 halamanTerbitan: GPU, Juni 2009