Page 52 - Majalah Berita Indonesia Edisi 70
P. 52


                                    52 BERITAINDONESIA, September 2009BERITA METROPOLITANMendobrak Jalan, MembaJangan salahkan badai yang datang, ucap pepatah. Jikahujan dan banjir, siapkan saja perahu. Buatkan kanal dantanggul. Pindahkan rumah liar di sepanjang bantaransungai yang memberi banyak dampak penyakit dan banjir.epatah ini relevan dialamatkanuntuk ibukota Negara RepublikIndonesia, Jakarta. Ibukota yangmenjadi barometer bagi wilayahlain dan gerbang internasional yangwajahnya senantiasa menjadi sorotandunia. Buruk wajah Jakarta, buruk pulacitra Indonesia.Jakarta kini masih memiliki dua wajahberbeda. Wajah berkelas dunia denganberbagai fasilitas modern, maraknyagedung-gedung jangkung dan sarana jalanraya termasuk simpang susun, underpass,jalan tol dan sarana lain sebagai konsekuensi mengatasi berbagai masalah perkotaan. Dari sisi lain, Jakarta memilikiburuk rupa. Penduduk yang semakinpadat akibat tingginya angka kelahirandan membanjirnya urban, rumah liar,lingkungan kumuh dan centang perenangnya sistem drainase, dangkal dankotornya sungai yang mengalir di tengahkota.Majalah TIME bahkan pernah menjuluki Sungai Ciliwung sebagai WC terpanjang di dunia. Julukan ini bahkandilengkapi Sutiyoso, ketika masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, dengan menyebutkan muara sungai Ciliwung sebagai“supermarket” terbesar di dunia. “Di sanaada bungkus sabun, kaleng biskuit, berbagai ragam plastik dan alat rumah tangga. Kasur dan ranjang juga ada,” selorohnya di hadapan warganya sendiri.Dari yang diucapkan Sutiyoso, tersiratbahwa budaya warga Jakarta, terutamayang tinggal di seputar bantaran sungai,sangat lekat dengan budaya asal daerahnya. Membuang sampah sesuka hati dantidak peduli dengan berbagai akibat yangditimbulkan seperti banjir dan penyakit.Celakanya, ada sekitar 13 sungai yangmengalir di ibukota dengan nasib danwajah serupa. Kumuh, kotor dan saratdengan sampah rumah tangga. Lebihcelaka lagi, warga yang semula dianggapliar tinggal di sana, banyak yang sudahresmi ber-KTP DKI, melegalisir tempattinggalnya dan sudah sangat akrab denganbanjir yang tiap tahun pasti menggenangiwilayahnya. Hanya satu upaya yang haruskonsisten dilakukan Pemerintah ProvinsiDKI Jakarta. Memindahkan penghunibantaran sungai secara manusiawi dandirelokasi ke pemukiman sehat dan layak.Sejak dilantik menjadi Gubernur Provinsi DKI Jakarta, sebenarnya H. FauziBowo yang memang sudah “bangkotan”menjadi pejabat strategis di lingkunganPemerintahan DKI Jakarta itu, sudahmelakukan gebrakan. Beberapa lokasisungai, terutama Ciliwung sudah mulaidibersihkan. Setiap hari, berton-tonlumpur diangkut dari lokasi Banjir KanalBarat, Kampung Melayu, dan beberapalokasi lain. Banjir Kanal Timur yang kinipopuler menjadi Kanal Banjir Timur(KBT) dipercepat pembangunannya termasuk menyelesaikan pembebasan tanahnya. Rencananya, seluruh pinggiransungai di Jakarta akan dibangun kota airatau waterfront city dan tidak akan adalagi gubuk-gubuk liar yang menjadi biangmasalah.Memiliki predikat Doctor Ingenieurdari Fachbereich Architektur/Raum UndUmweltplanung-Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern Republik FederasiJerman (2000), dan telah menyatakandiri sebagai AHLI-nya, Fauzi tidak sungkan meminta pinjaman dari Bank Duniauntuk mengeruk 13 sungai yang mengalirdi tengah kota Jakarta dengan biaya pelaksanaan sebesar Rp.199,5 miliar. Ini merupakan tahapan awal untuk menormalisir sungai. Pernyataannya, baru gubernur yang satu ini berani melakukan halitu, mengingat sungai di Jakarta selamaini belum pernah dikeruk. Karena anggaran itu kini masih ada di Bappenas, pengerukan ke 13 sungai tersebut diperkirakan dimulai sekitar bulan Oktober2009.Fauzi juga menggebrak, mengobrakabrik pemukiman liar di titik lokasi,seperti di bawah kolong jembatan tol diJakarta Barat dan pemukiman liar disepanjang bantalan rel kereta api, tanpatakut dengan munculnya reaksi dariberbagai elemen masyarakat.Ini berkaitan pula dengan rencanarevitalisasi infrastruktur jalan kereta apidan pembangunan rel ganda. Hal inidipicu pula ketika Presiden RI, SusiloBambang Yudhoyono meresmikan berfungsinya kembali stasiun kereta apiTanjung Priok dan memberi isyarat untukmembersihkan pemukiman liar di sepanjang bantaran rel kereta api.Namun, bagaimana dengan rencanapembersihan pemukiman di sepanjangbantaran sungai yang hingga kini masihtetap merupakan problema yang dihadapikota Jakarta? Tampaknya, Fauzi sangatkerepotan. Sehingga, dia pun tidak bisamenjanjikan kapan hal itu bisa dituntaskan. “Ciliwung memang tetap merupakankendala utama. Saya belum bicara resettlement yang di pinggir-pinggir kali.Ciliwung tetap menjadi masalah karenamerupakan kali yang paling besar, meskipun jauh dibanding Chao Phraya,” ujarFauzi kepada sebuah media ibukota.Ada beberapa kendala yang harusdihadapi. Pertama, menggelar penggusuran atau dengan kata manis ’penertiban’, melibatkan permasalahan hukumdan hak azasi manusia. Demikian gencarpembelaan hak-hak azasi manusia bagikaum miskin manakala terjadi penertibanrumah-rumah liar yang jelas mengganggukepentingan umum bahkan dapat menimbulkan berbagai bencana besar.Hak Azasi Manusia sebagai alasanpembelaan kaum miskin di era keterbukaan, tentu masih dibenarkan. Bahkanberdasarkan resolusi PBB (UNHCR), 10Maret 1993 menyatakan, praktek penggusuran hak-hak masyarakat pada dasarnya bisa disebut tindakan pelanggaranHAM. Namun penting dikaji dari sisi lain,menurut standar internasional Hak AzasiManusia, makna rumah yang memadaiadalah ketersediaan pelayanan, material,fasilitas dan infrastruktur. Hal tersebutmemiliki makna tentang pemenuhanprinsip seperti habitabilitas, keterjangPPOTRET IBUKOTA: Pemukiman kumuh di bantaran Sfoto: dok. berindo
                                
   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56