Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 17
P. 13
BERITAINDONESIA, 27 Juli 2006 13VISI BERITAE ra banjir minyak bumisudah berlalu. Cadanganminyak bumi menyusutsejalan dengan melonjaknya konsumsi energi dunia. Menurut perkiraan para ahli, 20 tahun kedepan dunia akan mengonsumsi minyak mentah 40 persen lebih banyakdari sekarang. Akibatnya, harga minyak mentah terus meningkat, bergerak antara 70-72 dolar AS per barel,suatu kenaikan yang fantastis dibandingkan dengan era 1970-an, hanyaantara 17-20 dolar per barel.“Bom” ekonomi di banyak negarameng-antar jutaan penduduk bumimenikmati gaya hidup yang membutuhkan bahan bakar berlipat ganda. DiIndonesia, di antara mayoritas masyarakat miskin, segelintir orangberpunya menikmati kehidupan yangmemboros energi, sehingga pemerintah harus mengimpor minyak mentahdan BBM untuk menutupi konsumsidalam negeri yang terus membengkak.Menristek Kusmayanto Kadimanmeng-isyaratkan bahwa Indonesiatidak pantas lagi menjadi anggota OPEC,lebih pas menjadi anggota organisasinegara-negara pengimpor minyak. Sekarang, produksi minyak bumi nasionalsekitar 1,050 juta barel per hari. Sedangkan konsumsi sudah melampaui 1,2juta barel per hari. Karena itu, Indonesiaharus mengimpor minyak mentah danBBM sekitar 600.000 barel per hari.Karena itu pemerintah menata kembalimanajemen energi dalam “cetak biru”Strategi Dasar Energi 2025 (Energy GrandStrategy 2025). Faktanya, ketergantunganyang dominan pada BBM menjadi penyebab utama memburuknya ekonominasional. Krisis BBM tahun lalu menjadipelajaran pahit bagi kita semua, di manapemerintah harus dua kali menaikkanharga BBM akibat kenaikan harga minyakmentah di pasar dunia. Dampaknya masihsangat terasa sampai sekarang.Di dalam cetak biru tersebut pemerintahmenempuh sejumlah langkah, antara lain:menghemat konsumsi BBM dan listrik;meningkatkan eksplorasi minyak dan gasbumi; melakukan diversifikasi sumberenergi dan mengembangkan bahan bakarnabati (BBN). Satu hal yang patut dihargaibahwa pemerintah sudah meletakkandasar-dasar bagi pengembangan BBN,sumber energi terbarukan. Presiden SusiloBambang Yudhoyono pun sudah menetapkan langkah-langkah konkrit, menjadikanempat komoditi—kelapa sawit, jarak, tebudan singkong—sebagai prioritas untukdikembangkan dan diproses menjadi BBN,baik berupa biodiesel (setara solar) maupun bioethanol (setara bensin).Ditilik dari segi makro dan mikro ekonomi, kebijakan tersebut akan berdampak positif pada perekonomian nasional.Sebab pengembangan BBN tidak hanyamengurangi ketergantungan pada BBMdan menghemat devisa, tetapi juga membuka lapangan kerja, lapangan usaha danmenaikkan pendapatan petani.Namun yang sering terjadi, kebijakan diatas kertas menjadi mentah kembali ketikaditerapkan di lapangan. PengembanganBBN juga mengandung kelemahan, terutama di dalam menjamin ketersediaanbahan baku yang cukup dan berkesinambungan. Karena itu dua hal yang perludikaji dan diperhatikan; kecukupan bahanbaku tebu dan kelapa sawit. Sebab ketersediaan kedua bahan baku tersebut masihrawan, jangan-jangan nantinya jugadiimpor. Sedangkan yang berkaitan dengan singkong dan biji jarak, janganjangan ketika petani memanen tidak adayang membeli atau harganya anjlok.Budidaya bahan baku BBN sangat membutuhkan komitmen para petani.Kegiatan raksasa tersebut tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit, jutaanhektar lahan, ratusan pabrik pengolahan,prasarana dan transportasi. Tetapi akanmenyerap tenaga kerja yang sangat besarpula. Artinya, ratusan ribu TKI tidak perlulagi menghamba di negeri orang, lantasdiusir karena alasan masuk secara gelap(illegal).Badan Pertanahan Nasional (BPN) danDepartemen Kehutanan memperkirakan,di seluruh Indonesia terdapat 10 jutahektar lahan yang bisa digunakan untukbudidaya bahan baku BBN. Dari segipendanaan, Susilo sudah mengisyaratkanalokasi dana APBN/APBD atau investasiswasta dalam dan luar negeri. MenperinFahmi Idris sedang merancang enampabrik pengolahan yang akan menelandana tak kurang dari Rp 10 triliun.Pada langkah awal semua hal kedengarannya sangat bagus. Biji jarak, sawit, tebudan singkong yang dihasilkan para petaniakan ditampung oleh pabrik-pabrik pengolah BBN. Sedangkan produk finalnya—biodiesel dan bioethanol—akan dibeli olehPT Pertamina untuk dipasarkan kepadakonsumen, seperti transportasi, PLN danindustri.Tetapi jangan dibayangkan bahwa kebutuhan energi dalam negeri seratus persendipasok oleh BBN. Sebab BBN hanyalahpencampur BBM. Semakin tinggi persentase BBN di dalam campuran tersebutsemakin menguntungkan, baik dari segipengurangan pencemaran udara maupunpenghematan BBM.Biosolar yang dipasarkan Pertaminasaat ini hanya mengandung 5% biodieseldari minyak sawit dan 95% solar. Tentumakin lama unsur biodieselnya makinbertambah, dari B-5 menjadi B-10, B-20dan seterusnya. Brasil yang lebih awalmengembangkan BBN, bioethanol daritetes tebu telah mampu memenuhi campuran: 40% ethanol dan 60% bensin. Dinegeri penghasil tebu terbesar di seluruhdunia itu, ethanol telah diekstrak menjadibahan bakar pesawat.Ditilik dari sudut penghematan energidan devisa, lapangan kerja dan penambahan pendapatan petani, memang semuanyatampak indah. Mudah-mudahan di dalampelaksanaannya, tidak seperti kata pepatah, “lebih indah kabar dari rupa.” ■Energi Terbarukan