Page 48 - Majalah Berita Indonesia Edisi 29
P. 48


                                    48 BERITAINDONESIA, 18 Januari 2007BERITA DAERAHten, warga daerah ini masihterbiasa mengonsumsi nasiaking di saat musim paceklik.Munasamah, warga DesaKilasah, mengaku mulai kembali mengonsumsi nasi akingsejak harga beras naik. “Sekarang pada mulai lagi makannasi aking. Sesekali kalau beras enggak kebeli. Bagi-bagisama bebek,”akunya. (Kompas, 21/12).Omset Nasi Aking NaikMelonjaknya harga berasyang tak terjangkau wargamembuat permintaan akannasi aking meningkat. Pidin,penjual nasi aking di SawahLuhur, mengaku belakanganini banyak permintaan. “Sekarang yang nyari ke sini banyak.Tetapi di kota-kota enggak adayang jual. Sehari paling dapat5 kg, padahal yang diperlukanbisa lebih dari 50 kg sehari,”katanya. Karena itu, harga nasiaking di Sawah Luhur juganaik. Untuk nasi aking kualitasbaik, harga naik dari Rp1.000,- menjadi Rp 2.000,-.Sedangkan nasi aking kualitasjelek, harganya naik dari Rp800,- menjadi Rp 1.200,-Rumiyati (38), pedagangnasi aking keliling di Kecamatan Kapetakan, juga mengaku kewalahan memenuhipermintaaan warga. Bila sebelumnya dalam sehari hanyamampu menjual 70 kg, kinibertambah menjadi 150 kg.Dia menjual nasi aking sehargaRp 2.200/kg. Harga itu naikdari sebelumnya yang hanyaRp 1.700/ kg. “Sekarang hargaberas sudah mahal, sehingganasi sisa juga naik,” jelasnya.Hal senada juga dikatakanSri (42) di Perumnas, Kota Cirebon. “Ya, biasanya nasi akingyang laku terjual 50-60 Kg perhari. Tapi, sekarang bisa duakali lipat,” ujar Sri yang menjajakan dagangannya denganmenggunakan sepeda keliling.Pedagang nasi aking ini banyak ditemui di KecamatanKapatekan yang mayoritaspenduduknya miskin. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh tani dan pekerjapelabuhan. Mereka tak berdaya menghadapi lonjakanharga beras sementara penghasilan mereka masih takmenentu. „ AM, SPNasi AkingKembali DikonsumsiMelonjaknya harga beras dan rendahnyadaya beli masyarakat membuat sebagianwarga terpaksa mencari penggantinya.Nasi aking pun kembali jadi santapan.atni (44) wargaDesa Suranenggala, Kecamatan Kapatekan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, asyikmembersihkan nasi keringyang baru saja dijemur ditampah. Dia memungut satuper satu kotoran yang tercampur dan membuangnya. Nasikering itu selanjutnya direndam sekitar setengah jam dankemudian ditanaknya. “Selainuntuk menghilangkan kotoran, juga agar setelah dimasakjadi empuk,”ungkap Yatnipolos.Sekitar 45 menit kemudiannasi pun masak. Saat panci dibuka, tercium bau aroma yangkurang sedap. Untuk menyiasati aroma yang tidak membangkitkan selera makan, perempuan itu mencampurkansedikit air perasan kunyit sehingga warna nasi menjadikekuningan. Nasi aking ini punmenjadi santapan sehari-hari.Padahal biasanya, nasi akingini - yakni nasi sisa yang dikeringkan – merupakan makanan hewan ternak sepertiayam dan bebek.Memang tragis nasib yangmenimpa keluarga Yatni ini.Perempuan yang sehari-haribersama suaminya bekerjasebagai buruh tani, kini justrutidak mampu membeli berasyang harganya terus melonjak.Mencapai di atas Rp 5.000/kg.Mereka pun terpaksa memakan nasi aking.Seperti diberitakan MediaIndonesia (19/12), derita itumereka rasakan sejak sawahmajikan mereka kekeringandan tidak lagi ditanami padisejak awal Agustus lalu. Keluarga ini pun kehilangan matapencarian yang biasanyamenghasilkan pendapatan Rp10 ribu per orang setiap harinya.Keterpaksaan memakan nasi aking ini tidak hanya dialamiYatni di Cirebon, tetapi jugasejumlah warga masyarakat dibeberapa daerah. Seperti diDesa Parapag Kidul Kecamatan Losari Kabupaten Brebes,Jawa Tengah dan di Kecamatan Kasemen, Kota Serang,Banten. Di kecamatan ini sedikitnya ada empat desa yangwarganya mengonsumsi nasiaking. Yakni Desa Kilasah,Sawah Luhur, Margaluyu, danBanten. Mereka tidak mampumembeli beras yang mencapaiRp 4.400,- s/d Rp 5.000,-/kg.Walaupun daerah ini berjarak sekitar 5 -15 Km daripusat pemerintahan Kabupaten Serang dan Provinsi BanYfoto: repro mediaindonesiaSejumlah warga masyarakat di beberapa daerah terpaksa memakan nasi aking.
                                
   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52