Page 42 - Majalah Berita Indonesia Edisi 32
P. 42
42 BERITAINDONESIA, 01 Maret 2007BERITA EKONOMI“Sarang Penyamun”. Kosa kata ini seperti segar kembalidalam ingatan ketika mendengar desas-desus tentangamandemen UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia(BI). Sarang Penyamun merupakan sebutan DekanFakultas Ekonomi UI Anwar Nasution (sekarang KetuaBPK) terhadap Bank Indonesia (BI), ketika kontroversiBantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 650triliun mengemuka ke publik pascakeruntuhan Orde Baru.ama baru BI” saat itu menjadi kosa kata paling terkenal, seperti halnya kosakata “tebar pesona”, yang juga tiba-tiba melambung belakangan ini.Kata sarang penyamun diyakini diambilAnwar Nasution dari sebuah novel lamayang berjudul “Anak Perawan di SarangPenyamun”, yang sangat populer padajamannya.Istilah sarang penyamun, tidak lain darigambaran BI yang dianggap menjadi markas besar koruptor. Melalui kewenangannya menyalurkan Kredit Likuiditas BankIndonesia (BLBI), bank sentral yang saatitu berada di bawah Departemen Keuangan menyalurkan kredit untuk membantulikuiditas perbankan yang terancam bangkrut akibat krisis moneter yang menghantam Indonesia pertengahan 1997.Jumlah kredit likuiditas itu pun tidaktanggung-tanggung, Rp 650 triliun. Ironisnya, penyaluran kredit itu tidak disertai dengan jaminan atau agunan yang memadai, baik dari segi nilai mau pun darisisi administrasinya. Kebanyakan nilaiagunan yang diserahkan masing-masingbank penerima fasilitas BLBI jauh lebihrendah dari kredit yang diterimanya.Alhasil, ketika pemerintah menjual asetaset yang diagunkan itu, nilai pengembalianBLBI sebesar Rp 650 triliun itu tidak lebihdari 20%. Rendahnya nilai pengembalian inidisebabkan berbagai hal, mulai dari markup nilai agunan, agunan bodong, danrendahnya nilai penjualan aset oleh BadanPenyehatan Perbankan Nasional (BPPN).Dengan demikian, 80% dari jumlahBLBI yang disalurkan BI saat itu harusdirelakan menguap begitu saja. Berbagaipihak yang dianggap bertanggung jawabterhadap penyaluran dan penagihankembali BLBI, seperti beberapa pejabatBI, pejabat Departemen Keuangan, hingga pejabat BPPN ternyata tidak dapatdijerat hukum.Isu AmandemenSebenarnya, Berita Indonesia sudahcukup lama mendengar gagasan amandemen UU BI dari beberapa politisi. Tidaktahu persis motivasi apa yang mendasarimereka hingga menginginkan pengembalian BI ke habitat awalnya. Alasan yangselalu tampak di permukaan, didasarkanpada kemampuan BI mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit, menggerakkan sektor rill, hinggamenyediakan lapangan kerja.Alasan ini pula yang digunakan pemerintahan Orde Baru untuk menempatkanBI sebagai subordinasi dari pemerintah.Namun hasil akhir dari alasan itu justrusangat mengerikan, yakni hilangnya uangrakyat hingga Rp 500 triliun tanpa pertanggungjawaban yang jelas.Oleh karena itu, menurut Berita Indonesia, gagasan pengembalian BI ke habitatawalnya, tidak akan dapat diterima masyarakat. Terlebih karena orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap penyelewengan BLBI, ternyata divonis bebas.Masyarakat tetap menagih penyelesaiankasus BLBI yang terindikasi korupsikolusi-nepotisme (KKN) dari pemerintah.Tidak mengherankan, jika belakangan inimuncul usulan agar Komisi PemberantasanKorupsi menyidik kembali BLBI.Melucuti Independensi BI?Munculnya gagasan mengembalian BI kehabitat awalnya bersamaan dengan langkah-langkah pemerintah memandirikanpengelolaan ekonomi Indonesia sebagaimana yang disampaikan Presiden Yudhoyono dalam Pidato Presiden Awal Tahun.Ini memunculkan pertanyaan, apakahpercepatan pembayaran utang ke International Moneter Fund (IMF) dan pembubaran Consultatif Government on Indonesia (CGI), berkaitan satu sama lain?Jika kedua hal itu berhubungan, kiranya sangat pantas dipertanyakan, apakahkemandirian pengelolaan ekonomi itu diskenariokan untuk melucuti independensiBI? Yang jelas, seusai pembubaran CGI,wartawan Harian Suara PembaruanPaulus C. Nitbani mengungkapkan adanya keinginan beberapa orang anggotaDPR mengusulkan Amandemen UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.“BI diminta mengubah peraturan agarbisa menyalurkan kredit likuiditas sepertisebelum tahun 1999,” tulis Nitbani dihariannya, Kamis (25/1).Sebagaimana yang disampaikan Presiden Yudhoyono dalam Pidato PresidenAwal Tahun, bahwa kedua keputusan itumerupakan bagian dari rangkaian perjuangan besar membangun kemandirian.“Sekarang, dalam kesempatan yang baikini, saya ingin menyampaikan dan menjelaskan kepada seluruh rakyat Indonesiatentang perjuangan besar kita yang lain,perjuangan sebagai bangsa, yaitu langkahlangkah kita untuk membangun danmeningkatkan kemandirian kita,” tuturPresiden dalam salah satu bagian PidatoAwal Tahun di Istana Negara, Rabu (31/1).Secara implisit, presiden menyebutkanperekonomian Indonesia tersandera olehutang yang besar dan didikte asing. “Kemandirian yang saya maksud adalahjanganlah ekonomi kita disandera olehutang yang besar, dan kebijakan serta program pembangunan ekonomi kita dituntun atau didikte oleh pihak lain. Itulahsebabnya secara sadar dan penuh perhiAmandemen UU Bank Indonesia (BI)Menghindari BI Kembali Jadi Sarang Pe“NBeberapa anggota DPR dan politisi sedang menggulirka