Page 43 - Majalah Berita Indonesia Edisi 32
P. 43
BERITAINDONESIA, 01 Maret 2007 43BERITA EKONOMItungan, kita percepat pelunasan utangIMF kita sebesar US$7 miliar atau sekitarRp 65 triliun pada 2006 lalu, lebih cepat4 tahun dari waktu yang ditentukan,”tambahnya.Keberadaan CGI, menurut Presiden, juga menjadi bagian yang memasung kebebasan dalam merencanakan dan memutuskan program ekonomi Indonesia. “Dalam pikiran saya, sudah saatnya kita jugamampu merancang dan memutuskansendiri program ekonomi kita, dan memilih secara merdeka dan independen sumber pembiayaan pembangunan, tanpa harus dikonsultasikan dengan negara-negara atau lembaga-lembaga internasionalyang tergabung dalam forum CGI, yangpada hakikatnya juga mengaudit kebijakan dan program pembangunan ekonomikita,” katanya.Jika pemerintah memang sudah berencana meletakkan BI kembali sebagai subordinasi pemerintah, maka tepatlah langkah “kemandirian” dari negara-negarakreditor dan lembaga-lembaga keuanganinternasional. Sebab kendala utama yangharus dihadapi pemerintah ketika hendakmengembalikan BI ke habitat awalnyaadalah keberatan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dannegara-negara yang sebelumnya tergabung dalam CGI.Melalui pembayaran utang ke IMF danpembubaran CGI, maka penyelenggaraanekonomi oleh pemerintah Indonesia,memang sudah terbebas dari pengawasannegara-negara kreditor dan lembagalembaga internasional. Dengan demikian,potensi keberatan mereka sudah berhasildieliminasi. Perjuangan pemerintahselanjutnya relatif semakin ringan, yaknimembangun kerja sama dengan parlemenuntuk mengamandemen UU BI. Upaya kearah ini sepertinya relatif mudah, kecualimendapat resistensi dari masyarakatseperti yang terjadi pada PP No. 37 Tahun2006 tentang Kedudukan Protokoler danKeuangan Pimpinan dan Anggota DPRD,yang mendapat penolakan luas darimasyarakat.Kredit BersubsidiWacana penyubordinasian BI ke dalampemerintahan memang belum banyakdibicarakan di media massa, sehinggabelum diketahui bagaimana tanggapandari para ekonom dan anggota DPR.Namun ketika Berita Indonesia memintatanggapan dari mantan anggota DPR OkeF. Supit, yang ikut membidani lahirnyaUU No. 23 Tahun 1999, ia dengan tandasmenyebut tidak relevannya mengembalikan BI ke habitat awalnya.Menurut Managing Director LembagaPengkajian Economi Issues Community(ESCOM) ini, independensi BI sebagaimana yang dianut pertama kali dalam UUNo. 23 Tahun 1999, yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 3 Tahun2004, dalam kenyataannya telah membuat BI berkinerja baik dalam menjagastabilitas makroekonomi.Ketika ditanya, bagaimana kalau tujuanamandemen BI tersebut dimaksudkanuntuk mendorong kinerja sektor riil danmenyediakan lapangan kerja, Oke F. Supittetap menyatakan tidak reasonable. Iamenambahkan, ada cara lain yang dapatditempuh pemerintah untuk menggerakkan sektor riil dan tidak perlu mengutakatik independensi bank sentral.“Kalau ingin menggerakkan sektor rill,pemerintah dapat saja menyediakan kredit murah melalui bank BUMN. Tetapi subsidi bunganya dibebankan ke APBN,” katanya kepada Berita Indonesia saat dihubungi melalui telepon selularnya, Kamis (8/2).Ia mencontohkan untuk meningkatkansektor pertanian, koperasi, perikanan, danusaha-usaha rakyat lainnya, para pelakuusaha kecil itu dapat mengakses pembiayaan usahanya kepada bank yangditunjuk pemerintah dengan tingkatbunga yang lebih rendah dari bunga kreditkomersial. Jika bunga kredit perbankansaat ini antara 15%-17%, maka kredit kedunia usaha kecil, misalnya diberikanantara 7%-9% dan selisihnya dibebankankepada APBN.“Saya heran kenapa pemerintah sepertigembar-gembor menyatakan sektor riiltidak bergerak, namun tidak berbuatsesuatu untuk mendorong sektor riiltersebut, seperti memberi subsidi bungamelalui APBN. Bahkan pemerintah terkesan memengaruhi BI agar menurunkantingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau suku bunga acuan BI (BIRate). Padahal, jika hal itu dilakukan BIdengan melawan arus pasar, akan sangatberbahaya,” katanya.Ia menandaskan, akan sangat berbahaya jika BI memiliki peran ganda, sebagai penyalur kredit (eksekutor) dan sekaligus sebagai stabilisator moneter (regulator). Di satu sisi, BI sebagai regulator diharapkan independen dalam mengambilkebijakan yang berkaitan dengan stabilisasi moneter, namun jika ini dicampuradukkan dengan fungsinya sebagaipenyelenggara kredit likuiditas, makaakan ada pilih kasih, bank mana yangakan diberikan dan yang tidak diberikan.Di samping itu, penyalahgunaan penyaluran Kredit likuiditas, baik dalambentuk KLBI atau semacam BLBI, akansangat berpotensi membawa perekonomian kemenuju krisis baru. MHenyamunrkan rencana mengamandemen Undang-Undang BI. foto: berindo wilson