Page 41 - Majalah Berita Indonesia Edisi 37
P. 41
BERITAINDONESIA, 10 Mei 2007 41BERITA EKONOMIBuah Simalakama Bubble EconomyAliran besar dana asing yang memasukiinvestasi portofolio Indonesia, berpotensimemicu turbulensi. Fatalnya lagi, danadana yang tergolong hot money inibiasanya akan keluar secara besar-besaranjika investasi di Indonesia tidak lagidipandang menguntungkan. Jika hal initerjadi, perekonomian secara umum akanmengalami kejutan (shock) dan tidakjarang menjadi pemicu krisis.ana asing yang terus mengalir ke investasi portofolioIndonesia, telahmemicu perbedaan pendapatdi antara pelaku ekonomi danpara pengamat. Pada satu sisi,aliran dana asing ini dapatdipahami sebagai wujud kepercayaan investor asing yangmemandang perekonomianIndonesia memiliki prospekyang semakin baik. Namun disisi lain, hal itu sangat berpotensi menjadi ancaman untuk menghancurkan perekonomian Indonesia, bila manadana asing itu keluar dariinvestasi portofolio secaraserempak.Menguasai SetengahSaham di BEJKalangan pelaku ekonomimenilai aliran investasi portofolio asing, masih dalam batasbatas yang wajar. Jika dilihatdari IHSG yang terus melambung menuju angka 2.000,kebanyakan dipengaruhi naiknya harga saham perusahaanperusahaan berbasis sumberdaya alam seperti perusahaanperusahaan tambang, migasdan perkebunan. Sementaraaliran investasi asing ke SuratUtang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI),dan obligasi, karena masingmasing jenis investasi itu masih menguntungan di Indonesia dibanding dengan negaranegara lain.Namun demikian, kalanganekonom tidak sepakat terhadap pandangan para pelakubisnis tersebut. Menurut mereka, aliran dana ke investasipotofolio sudah berada padatitik yang mengkhawatirkan.Selain tidak didukung denganperkembangan yang setara disisi fundamental ekonomi,kinerja perusahaan-perusahaan yang listing di BEJ jugatidak merefleksikan debutISGH.Hal yang mengkhawatirkan,jika investor-investor asing itumerasa investasi portofolio diIndonesia tidak menguntungkan lagi, tentu akan membawakeluar investasinya menujunegara-negara yang lebih menguntungkan. Pada saat itulahaliran keluar (pull out) investasi asing menimbulkangoncangan yang besar, bahkantidak sedikit yang memperkirakan memicu krisis keuangan yang cukup dahsyat.Hingga saat ini, investasiasing yang ditempatkan di SBIhampir mencapai 10% dari total dana SBI yang pertengahanApril 2007 mencapai Rp 253triliun. Dana asing ini jugamenunjukkan pegerakan yangcukup signifikan, dari Rp 18triliun pada Desember 2006menjadi Rp 22,22 triliun padaApril 2007. Sementara danaasing yang ditempatkan diSurat Utang Negara (SUN),mencapai Rp 67 triliun padaMaret 2007. Dana ini jugameningkat signifikan dari posisi Desember 2006 yang masih sebesar Rp 55 triliun.Tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah posisidana asing yang diinvestasikanpada saham-saham di BEJ.Hingga Maret 2007, dari totalkepemilikan saham di BEJyang sebesar Rp 745,16 triliun,proporsi dana asing mencapaiRp 510,74 triliun atau lebihdari separuh. Posisi ini tentusangat mengkhawatirkan, karena bila investasi di BEJ tidakmenarik lagi dan mendoronginvestasi itu keluar, akanmengakibatkan BEJ rontok.Buah SimalakamaAnalisa ekonomi seperti inimemang tidak berlebihan. Krisis ekonomi yang menghantamAsia pada pertengahan 1997,juga ditengarai hal serupa. DiIndonesia, krisis moneter(krismon) dipicu capital outflow, yakni keluarnya danainvestasi dari seluruh investasiportofolio, karena para investor memandang sangat berbahaya jika terus mempertahankan investasinya di negarayang sedang mengalami kegoncangan ekonomi.Kekhawatiran pengulangankrisis seperti inilah yang membayangi banyak ekonom, hingga meminta BI lebih berhati-hatimemenej kebijakan moneternya. BI sendiri sudah menunjukkan arah kebijakan moneteryang kaku. Hal ini terlihat jelasdari penetapan Suku BungaAcuan BI (BI rate) yang dipertahankan pada kisaran 9%.Jika berpijak pada tingkatlaju inflasi, yang menjadi dasarpenetapan suku bunga, makaBI Rate sebesar 9% sudah sangat terlalu tinggi. Laju inflasiyang saat ini berada pada kisaran 6,5%, sebenarnya menjadi momentum menurunkanBI Rate hingga 8% sampai7,5%. Akan tetapi jika BI menyesuaikan tingkat suku bunganya pada laju inflasi, dikhawatirkan akan mendorongpelarian modal (capital outflow) yang berpotensi memicudistabilitas moneter. Dalamhal ini BI seperti berhadapandengan buah simalakama.Sektor Rill Tetap StagnanWalau di satu sisi kebijakanBI diarahkan menjaga stabilitas moneter dengan tingkatsuku bunga tinggi, namun disisi lain telah mengorbankankinerja sektor riil. BI Rate yangmenjadi acuan bagi penetapansuku bunga kredit dan biayadana pihak ketiga (DPK) olehperbankan, membuat sukubunga kredit perbankan yangjuga tinggi.Kondisi moneter seperti inimenjadi komponen kemahalandalam menggerakkan duniausaha. Dengan tingkat sukubunga kredit yang tinggi, parapelaku usaha akan berpikir duakali untuk memanfaatkan danaperbankan, baik untuk modalkerja maupun biaya peningkatan kapasitas usahanya. „MHDKinerja perusahaan-perusahaan yang listing di BEJ juga tidakmerefleksikan debut ISGH.