Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 41
P. 13


                                    BERITAINDONESIA, 05 Juli 2007 13V ISIBERITANoda Reformasi TNIragedi tewasnya empat warga dan tujuh luka-lukaakibat tertembak pasukan marinir yang tengahmengamankan lahan sengketa di Desa Alas Tlogo,Kecamatan Lekok, Pasuruan, Jawa Timur, pada 30Mei 2007 lalu, telah mengundang duka dan keprihatinan yangmendalam. Tragedi ini juga mengundang pertanyaan: JikaTentara Nasional Indonesia (TNI) menembak rakyat,bukankah itu berarti reformasi TNI telah kembali ke titik nol?Setidaknya telah ternoda!Latar belakang tragedi ini adalah kasus perebutan hak atastanah di kawasan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNIAngkatan Laut di Grati, Pasuruan, yang sudah berlangsungsejak lama (1961). Secara hukum(bukti sertifikat), tanah seluas 3.569hektar itu adalah milik TNI AngkatanLaut. Walaupun sebagian rakyatsetempat tidak merasa pernah menjual atau menyerahkannya. Lalu karena sebagian tanah (seluas 530hektar yang menjadi objek sengketa)itu tidak terurus, warga menempatinya dan kini dihuni sekitar 36 ribujiwa dengan 5.702 rumah.Kemudian, ketika TNI AL hendakmemanfaatkan lahan itu, warga protesdan melayangkan gugatan ke pengadilan negeri setempat (1999) denganmenunjukkan bukti kepemilikantanah Letter C dan Patok D. Sekalipungugatan tersebut ditolak pengadilan,warga tetap bertahan menguasailahan itu. Pada 22 Maret 2007, atasmediasi Pemda setempat, TNI ALmenawarkan relokasi bagi wargadengan menyediakan 500 meterpersegi per kepala keluarga. Tapisebelum rencana relokasi itu terwujud, tragedi berdarah ituterjadi.Sengketa tanah telah menjadi sumber tragedi! Kasus inibukan satu-satunya di negeri ini. Bahkan Kepala BadanPertanahan Nasional Joyo Winoto mengakui ada sebanyak2.810 sengketa tanah. Suatu bukti masih amburadulnyaadministrasi dan hukum keagrariaan di negeri ini. Secarakhusus, keamburadulan pelaksanaan UU Agraria tersebut,sebagian melingkupi tanah yang dimiliki (dikuasai) TNI,bersengketa dengan rakyat.Persengketaan tanah antara TNI dengan rakyat itu telahberimplikasi buruk: (1) TNI berhadapan (bermusuhan)dengan rakyat; (2) TNI yang terlatih bersenjata berusahasendiri mempertahankan tanahnya; (3) Rakyat yang merasatertindas mempertahankan haknya dengan nekad.Dalam kondisi ini, TNI yang telah berusaha mereposisi diri(Paradigma Baru Peran TNI 5 Oktober 1999 dan 5 Oktober2001) atas tuntutan reformasi yang bergerak sejak 1998,menjadi terjerembab bahkan nyaris kembali ke titik nol.Reformasi yang ingin memastikan terbentuknya militerprofesional sebagaimana kemudian ditetapkan dalam UU No34/2004 Tentang TNI, menjadi ternoda. UU TNI inimengamanatkan lahirnya tentara yang terlatih, terdidik,diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidakberbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikutikebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi,supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasionaldan hukum internasional yang telah diratifikasi.Di tengah proses upaya mewujudkan militer profesional itu,yang tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan,sengketa tanah telah menjadi salah satu pemicu rakyatmelawan tentara dan tentara menembak rakyat.Selain berpangkal dari proses dan penegakan hukumagraria yang belum berjalan dengan baik dan adil, faktorperilaku militer paradigma lama masih juga melekat dalamdiri sebagian besar aparat militer. Marinir mengawal(mengamankan) sendiri mitra bisnisnya PT RajawaliNusantara menggarap tanah yangseharusnya itu menjadi tugas Kepolisian RI yang sudah dipisahkandari TNI. Ada perbedaan hakiki antaratentara dan polisi. Tentara dilatihmembunuh musuh, polisi dilatihmelumpuhkan, tidak membunuh.Tentu, kesalahan tidak hanya terpikul di pundak tentara. Rakyat (massa) juga seringkali bertindak mainhakim sendiri, termasuk melawantentara. Belum lagi otoritas politik sipilgagal memerankan perannya denganbaik sesuai UUD 1945 (Amandemen)yang menegaskan fungsi pertahananTNI di bawah kontrol otoritas politiksipil. Di antaranya, otoritas politik sipilbelum bisa memisahkan antara kebutuhan mereformasi TNI dan kebutuhan pemerintah memperolehdukungan TNI pada setiap kebijakanstrategis tertentu.Hal ini berdampak buruk terhadapupaya mereformasi TNI. Di antaranyaterkait penegakan hukum (rule of law). Otoritas politik sipilmasih gagal mengubah pengaruh dominan tentara sebagaimana di masa lalu pada setiap proses hukum yangmelibatkan aparatnya. Kegagalan ini menempatkan TNIbelum menjadi institusi yang tunduk pada hukum, sehinggamelahirkan ketidaksamaan di muka hukum (inequality before the law) antara personil TNI dan warga sipil.Maka, semua pihak, perlu memetik pelajaran dari tragediberdarah di Pasuruan itu. Agar kejadian serupa janganterulang kembali. Dalam hal ini, hukum agraria harusditegakkan secara benar dan adil, termasuk perlu lebihdisegerakan perihal land reform. Di samping itu, semua pihakperlu lebih memaknai esensi dari reformasi TNI yangmenempatkan peran dan kewenangan TNI sesuai dengankaidah hukum dan demokrasi. Dalam kaitan ini, reformasiTNI harus lebih diartikan bahwa pengerahan dan penggunaanTNI harus mengikuti prosedur, transparan dan senantiasadapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat melaluiprosedur konstitusional.Pihak TNI sendiri perlu lebih mengimplementasikanesensi reformasi TNI, yang oleh TNI sendiri telah merumuskannya (1999 dan 2001) serta ditegaskan dalam UUTNI dan Amandemen UUD 1945. TNI juga harus menghindari praktek impunity dengan mempertahankanaparatnya yang melanggar hukum. „Tilustrasi: dendy
                                
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17