Page 61 - Majalah Berita Indonesia Edisi 57
P. 61
BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006 61BERITA KHASBERITAINDONESIA, 19 Juni 2008 61 Bantaran Sungai Ciliwungbantaran sungai. Suami Rohana bekerjamengangkut sampah di daerah Pisangan,Jakarta Timur sementara Rohana bekerjamencari sampah-sampah yang mungkinbisa menghasilkan uang. Warga sekitarbiasa menyebut pekerjaan ini nanggok.Dari hasil nanggok ini, Rohana mendapatkan uang sebesar Rp. 70.000 perminggu, meskipun jumlah tersebut tidakterlalu pasti, kadang lebih atau bahkankurang sekali. Uang yang diterima olehsuaminya hanya Rp. 20.000/ hari. Ibudari dua orang anak ini mengatakanbanyak kesulitan yang dia dan suaminyaalami dalam hal mencari uang untuk biayahidup dan pendidikan kedua anaknyayang masih bersekolah di tingkat SD danSMU. \tapi saya tidak mau meminjam uang samaorang lain takut tidak bisa menggantinyakembali. Jadi ya, usaha saja kayak begini,%ujar perempuan berperawakan kecil ini.Rohana juga mengaku senang tinggal dibantaran sungai. Dia jarang sekali mengungsi ke tempat yang lebih tinggi kalauair belum sampai atas atap rumahnyaketika banjir datang. Walaupun rumahyang ditinggalinya terancam banjir kapansaja dan pemerintah sudah berencanaakan membebaskan lahan sepanjangbantaran sungai, keluarga Rohana tidakmau pindah. Meskipun pemerintah berencana menyediakan rusun, dia mengaku tidak akan mengambilnya.\ baik saya dikasih rumah petakandaripada rumah susun, saya tidak mau.Kalau satu rumah itu, bisa dipakai buatberdagang apa saja nantinya, ketimbangrumah susun,\warga sekitar memang tidak dalam keadaan ekonomi yang mencukupi. Banyakkepala keluarga yang menganggur tidakmempunyai pekerjaan menyebabkansemakin terbebaninya kehidupan keluarga mereka.Tetap Bersemangat di Usia LanjutLain lagi cerita tentang pasangan kakeknenek yang sejak dari tahun 1957 sudahtinggal di wilayah Kampung Pulo, daerahterparah jika banjir menyerang. Mardiah(65) dan Ahmad (75) dulunya adalahpedagang pakaian. Ketika penyakit flekparu-paru dialami oleh suami Mardiah,praktis kehidupan perekonomian merekatidak berjalan normal.Untuk menunjang hidup, mereka membuka warung kecil-kecilan di dalamrumah, bahkan Mardiah selalu membuatjajanan ringan seperti pisang coklat, kuebolu, agar-agar dan jajanan lainnya.Keuntungan yang dihasilkan tidak lebihdari Rp10.000 hingga Rp15.000/hari.Dengan penghasilan yang jauh dari cukupitu, Mardiah dan Ahmad tetap mensyukuri apa yang mereka dapat sebagai suatukarunia dari Tuhan.Pasangan usia lanjut ini memilikisepuluh orang anak dan 27 cucu ditambahbeberapa orang cicit. Kesembilan anaknyasudah menikah dan hidup terpisah daripasangan ini. Mereka hanya ditemani olehanak perempuan terakhirnya yang belummenikah. Kehidupan mereka tidak jauhberbeda dengan kehidupan warga yangtinggal di Kampung Pulo. Sama-samahidup di pemukiman kumuh dan padatpenduduk dengan keadaan ekonomi yangrendah. Yang membedakan mereka adalah kebersamaan hidup yang sudahmereka jalin hingga usia lanjut. Merekatetap kompak dalam keadaan susah dansenang.Terlebih lagi ketika banjir datang.Dengan kekuatan yang masih ada, Mardiah membopong suami tercintanya yangsudah tidak bisa berjalan seperti biasanyake atas loteng rumah, mengangkut perabotan seperlunya dan tidak ikut mengungsi ke posko pengendalian banjir.\ kalau sedang banjir saja.Tidak ada makanan, repot mengangkutperabotan. Apalagi bapak sedang sakit,alhamdulilah saya masih diberi sehat jadimasih bisa menemani bapak,\diah semangat.Saat bantuan tiba, yang ditunggutunggu oleh Mardiah dan Ahmad adalahpemeriksaan kesehatan dan pengobatan.Bagi mereka kesehatan menjadi bagianterpenting. Jadi jika ada pemeriksaankesehatan Mardiah langsung membawasuaminya ke posko pengungsian untukdiperiksa.Jika suatu hari pemerintah daerahmenggusur keluarga Mardiah dan wargaKampung Pulo yang kebanyakan bekerjasebagai pedagang itu, maka Mardiah akankembali ke kampung mereka di Serang,Banten dan hak kepemilikan rumah jatuhpada anak laki-laki tertuanya. Dia lebihmemilih ikut saja kemauan suami yangsampai sekarang masih betah hidup dikawasan ini.Itulah potret kehidupan penduduksekitar bantaran sungai Ciliwung. Walaupun saat ini, Yanti, ibu Rohana dan nenekMardiah hidup susah di bantaran sungaitapi mereka tetap kuat bertahan menjalani cobaan hidup. Terbukti dengan apayang mereka kerjakan di sekitar sungaiCiliwung, membiarkan diri mereka berada pada risiko besar kehilangan nyawayang bisa terjadi kapan saja saat beradadi sungai yang arusnya deras demi untukmakan keluarganya. Mereka mempunyaisatu mimpi yaitu bisa hidup layak sepertiorang pada umumnya. RTH, MLPfoto: dok berindo