Page 66 - Majalah Berita Indonesia Edisi 71
P. 66
66 BERITAINDONESIA, Oktober 2009BERITA BUKUSisi Lain PesantrenAda Alif di Tengah BomBerkat aksi bom di JW Marriot dan Ritz-Carltonpertengahan Juli silam, begitu banyak nama-nama terorisyang mencuat. Selain Noordin M Top, Ibrahim, SyaifudinZuhri, Mohamad Syahrir, Amir Abdullah, atau ada jugaMohammad Jibril alias Muhammad Ricky Ardhan. Namunberuntung ada Alif!erpicu dari beberapa kasus pemboman di wilayah Indonesia, begitu banyak komentar miring dansumir yang mengaitkan pelakuterorisme dengan latar belakang pendidikannya di pesantren. Padahal pesantren, di manapun dan apapun jenispesantrennya itu, didirikan untuk menelurkan cendikia yang taat beribadahdan berilmu, bukan melahirkan teroris.Untungnya ada Alif. Dia muncul beberapa pekan sebelum peristiwa peledakan bomdi JW Marriot dan Rizt-Carlton 17 Juli lalu.Sebuah kebetulan yang kalau boleh dibilang “manis”. Dari Alif kita mendapatkanpanorama yang berbeda dari dunia pesantren, yang bahkan jauh dari anggapannegatif, yang akhir-akhir ini melekatdengan dunia pendidikan pesantren.Alif adalah satu dari beberapa tokoh dalam sebuah memoir berjudul Negeri 5 Menara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, seorang mantan jurnalis. Fuadi yang pernahmenimba ilmu di sebuah pesantren juga,menyayangkan bagaimana pesatren kiniidentik dengan sarang teroris. Meski tidaksecara langsung mengatakan bahwa bukuini adalah sebuah trik jitu untuk melancarkan white campaign, Fuadi memberisedikit komentar, “setidaknya buku inimemberi gambaran lain,” katanya.“Sebetulnya buku ini diproses sebelumterjadi pemboman terakhir. Terus tahutahu jeder, saya merasa kok ada pasnyaya, mudah-mudahan ini menjadi referensiyang cukup buat khalayak se-Indonesia,bahwa kalau ngomong pesantren, tahunggak sih apa hubungan pesantren itu,buku ini diharapkan mendeskripsikan,paling nggak dari sisi pesantren yang sayaceritakan,” kata Fuadi kepada Berita Indonesia beberapa waktu lalu.Dalam buku setebal 416 halaman itudikisahkan, Alif bersama lima temannyadari berbagai daerah menjalani kehidupan sehari-hari, dan membangun mimpi-mimpi mereka selama di pondok pesantren berbekal ‘mantera’ sakti manjadda wajadda. Tak hanya menyelipkanhumor khas pondok, Fuadi juga menggabungkan kemahiran reportase danimajinasi dalam novelnya ini, sehingga iasanggup menggambarkan bagaimanakeadaan para santri di pondok sekalipunsebenarnya mereka sudah sangat siapuntuk menjadi penghuni dusun global.Pendidikan pesantren merupakan salahsatu bentuk pendidikan Islam palingmapan dan banyak melahirkan tokohnasional. Pesantren yang dulunya terkesan ‘ngampung’, seiring waktu berbenah diri mengikuti zamannya. Takheran sekarang banyak berdiri pesantrenpesantren modern, dan masih banyak jugayang mempertahankan tradisi lama terutama di pesantren tradisional. Semuanyasama. Perbekalan ilmu agama dan keilmuan umum yang sangat jauh dari kesanyang selama ini merebak ke permukaan.Mundur sedikit ke belakang, ke awalsejarah berdirinya pesantren, Fuadi menjelaskan, pesantren punya banyak jenis. Adayang disebut sebagai pesantren tradisionalatau salafi. “Awal adanya pesantren itukarena ada seorang yang pintar dan dianggap sebagai guru dari banyak ilmu. Ia tahuagama, seorang guru. Kehadirannya menjadi magnet,” terang Fuadi.Kemudian orang banyak berdatanganke sana, dan menjadikannya sebagai pusatorganisasi kemasyarakatan. Bahkan adayang datang ke sana dan mulai bikinpondok-pondokan di sekitar rumahnya,itu yang disebut pondok, pondok pesantren, jadi pesantren awalnya bukan didirikan oleh si guru tadi, melainkan olehpendatang yang ingin berguru. “Jadi kalaudijelaskan konsepnya, sekolah kan didirikan, pesantren nggak, pesantren itu magnet,” tambahnya.Fuadi merasa sangat beruntung menggali ilmu di pesantren, walaupun awalnyasangat terpaksa, tapi kemudian setelah lulus ia merasa bersyukur. Pesantren sangatbanyak sekali memberikan inspirasibaginya, berawal dari keinginan untukmen-sharing inspirasi inilah kemudian iamenulis buku tersebut. Walau berangkatdari kisah pesantren, tetapi novel inimengangkat tema yang universal untukfilsafat hidup.Novel Negeri 5 Menara ini adalah bukupertama dari trilogi. Pesan berprasangkabaik kepada Tuhan yang terdapat di bukuini bukan bermaksud mengkhutbahi parapembacanya seperti dari atas mimbar.“Karena sebenarnya banyak orang yangberprasangka negatif, kurang, atau segalamacam, malah itu nggak produktif. Kitatoh cuma menjalankan tugas saja kan,semuanya dari sana, ya sudah itu sajadijalankan,” kata Fuadi.“Setiap menulis, saya selalu menganggap ini adalah ibadah, jadi kalau sudahngantuk-ngantuk, wake up, ini kan ibadah,” kata Fuadi yang sekarang sedangmengerjakan novel keduanya.Hingga Oktober 2009 ini, buku Negeri5 Menara sudah melewati cetakan pertama, artinya 15 ribu eksemplar bukunyatelah diserap pasar, dan dibaca olehribuan orang lagi. Menjelang cetakankedua buku ini, sejumlah produser tengahmenjajaki cerita ini untuk difilmkan.“Saya memulainya tanpa beban,” katanya.Dengan rancangan buku ini menjadiserial trilogi, maka akan ada tiga bukuyang menceritakan kehidupan pesantrendari sisi yang berbeda. Kisah Alif dankelima sahabatnya yang menimba ilmu dipesatren adalah sebuah usaha untukmengembalikan citra pendidikan pesantren yang asih-asah-asuh dengan ilmuagama lewat penanya. ARIFJudul: Negeri 5 Menara: Sebuah Novelyang Terinspirasi Kisah NyataPenulis: Ahmad FuadiPenerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)T