Page 63 - Majalah Berita Indonesia Edisi 71
P. 63
BERITAINDONESIA, Oktober 2009 63BERITA DAERAHAnak TKITanpa PendidikanPuluhan ribu anak usia sekolah di Sabah Malaysia tidaksekolah. Sementara, Pemerintah Indonesia sendiri tidakpunya perhatian.etapa pentingnya sekolah untukmencerdaskan, tentu semua orang tahu. Sebab, apapun yangdilakukan selalu dibarengi dengan ilmu pengetahuan. Tanpa pendidikan, akan tertinggal di dalam segala halalias bodoh, dan salah-salah, akan terpuruk dalam kemiskinan. Tapi, urusan sekolah itu tak mudah bagi jutaan anakanak dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI)yang bekerja di Sabah Malaysia Timur.Soalnya, kepedulian Pemerintah RepublikIndonesia sendiri untuk masalah ininampaknya belum ada sampai saat ini.Akibatnya, puluhan ribu anak usia sekolah 7-14 tahun tidak pernah mendapatpendidikan alias buta aksara. Dari datayang diperoleh di Konsulat JenderalRepublik Indonesia (KJRI) di Kota Kinabalu, terdapat 30 ribu anak usia sekolah.Mereka adalah anak-anak dari TKI yangbekerja di berbagai perusahaan-perusahaan perkebunan, kayu dan pabrik yangtersebar di Sabah Malaysia Timur, baik secara legal maupun ilegal.Memang, upaya untuk menanganipendidikan bagi anak-anak TKI di negerijiran ini sudah pernah dilakukan olehsebuah Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) yang berkantor di KJRI Kota Kinabalu, dengan mendatangkan guru kontrak. Tapi, seperti diungkapkan Abas Basori yang menangani pendidikan itu, “Hanya 7.000 anak yang sempat menikmatipendidikan setingkat sekolah dasar ini. Itupun, hanya berjalan dua tahun,” ujarnya.Ada sekitar 217 ribu TKI dengan 30 ribuanak usia sekolah, versi pemerintah, yangtentunya akan terus bertambah setiaptahun. Selain tak punya masa depan, merekatidak punya pendidikan alias buta huruf.Sehingga tidak mengherankan jika mereka(anak-anak dari TKI) tidak tahu di manaIndonesia. Mereka hanya tahu daerah asalorangtuanya, seperti Timor dari NusaTenggara Timur, dan Bugis dari SulawesiSelatan. Namun, ketika ditanya di manaletaknya, mereka tidak tahu sama sekali.Atau dengan kata lain, mereka lebih tahudan hafal lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku” daripada lagu “Indonesia Raya”.Tak mengherankan jika akhirnya Forum Wartawan Reaksi Cepat (FWRC)yang berkedudukan di Nunukan mendesak Pemerintah Pusat di Jakarta agar segera memperhatikan persoalan pendidikan anak-anak di negara tetangga tersebut. “Ini sangat berbahaya. Masalah initidak bisa dibiarkan. Ini tidak hanyamenyangkut soal martabat bangsa, tapijuga masalah ketahanan nasional,” kataKetua FWRC Nunukan, Muhammad AndiNawir Gising, kepada S Leonard Pohandari Berita Indonesia.Tentu FWRC yang dibentuk lima tahunlalu di kabupaten yang berbatasan langsungdengan Sabah Malaysia Timur ini tentumemiliki segudang fakta dan analisis yangdapat dijadikan bahan pemikiran olehpengambil keputusan di Jakarta. Ambillahcontoh, TKI yang tercatat di ImigrasiSabah. Jumlah TKI yang memiliki dantidak memiliki dokumen sekitar 217 ribuorang. Sementara laporan dari 175 investigator yang dikerahkan FWRC tersebar dikantong-kantong TKI di Sabah, tidakkurang dari satu juta orang. “Tidak kurangdari 500 ribu anak yang terancam butahuruf, dan angka ini akan terus bertambahtiap tahun,” kata Andi Nawir.“Pemerintah,” menurut Andi Nawir,hanya memikirkan nasib para TKI yangbekerja di luar negeri, tetapi tidak pernahmemikirkan nasib anak-anak dari TKIyang dilahirkan di luar negeri yangtersebar di seluruh Malaysia. Banyakanak-anak yang sudah dewasa, merekaumumnya buta aksara atau tidak memilikikualitas sumber daya manusia yangmemadai. Umumnya mereka bekerja disektor informal. Mereka yang bernasibbaik akan bekerja untuk kerajaan, namuntidak sedikit yang bekerja di perusahaan.“Tidak menutup kemungkinan, suatu saatnanti, mereka (anak-anak TKI, Red) akandihadapkan melawan bangsa Indonesia.Dan, ini sudah terbukti, orang yangbekerja di Pulau Sempadan, mereka yangmemindahkan patok-patok perbatasanadalah anak bangsa sendiri yang lahir danbesar di Malaysia,” kata Andi Nawir.Sehubungan dengan hal ini, menurutSekretaris Kabupaten Nunukan, Drs HZainuddin HZ Msi, sebagai daerah perbatasan, pembangunan di wilayah ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat.Sudah 30 menteri ditambah Presiden danWakil Presiden yang datang berkunjung keNunukan. “Alhamdulillah, hingga saat inirencana pembinaan dan peningkatanpembangunan di daerah perbatasan belumterwujud,” katanya, seperti ditulis sebuahharian lokal di Tarakan.Mudah diomongkan, memang. Tapi,harus diakui, bukan cuma pembangunanfisik yang harus jadi perhatian. Apalagi,seperti dijumpai Berita Indonesia diKecamatan Sebatik, masyarakatnya lebihsuka menonton siaran negara Malaysia.Alasannya, selain lebih mudah diakses,tayangannyapun jauh lebih baik, danbanyak manfaatnya. Selain itu, beberapakalangan mengkhawatirkan, bukan tidakmungkin, masyarakat yang tinggal dipulau terbagi dua, Sebatik Indonesia danSebatik Malaysia, lebih berkiprah kepadanegara kerajaan itu. SLPBPara TKI di Kantor Imigrasi Nunukan