Page 60 - Majalah Berita Indonesia Edisi 03
P. 60
BERITA BUDAYA62 BERITAINDONESIA, September 2005Pagi itu, ratusan orangberdiri berjajar dipinggir jalan menyaksikan iring-iringan truk dengan para penabuh rebanabesar.‘Si Rifa’i dari Pasai’ yangmenghilang selama satu generasi kini kembali unjukgigi.Tradisi memang tidakakan pernah mati. Sepertidilaporkan harian Waspada,7 Agustus 2005, menyongsong perdamaian pemerintah RI dengan GAM yangditandatangani di Helsinki,Swedia, maka dilaksanakanpenabuhan rapa’i pasee –rebana raksasa khas Aceh –selama 24 jam.Rebana DamaiTradisi Aceh yang sempatdipasung sejak diterapkannyaDOM kini bangkit kembali.Perlu regenerasi.lama pesta panen (uroh) ditengah sawah, berubah menjadi lokasi pertempuran TNIdengan GAM.Tradisi rebana besar ini masuk bersamaan dengan masuknya ajaran Islam di SamudraPasai pada abad ke-8. Demikian ulasan majalah Tempo, 21Agustus 2005. Di masa itu, adadua u l a m a t e rkenal yakniSyekh Abdul Kadir Jailani danSyekh Ahmad Rifa’i dari Gujarat. Rifa’i membuat rebana inidengan tujuan mengumpulkanorang ketika menyebarkanagama Islam.Suara rebana bertalu-taluberhasil menarik orang untukberkumpul. Ketika rebana berbunyi, biasanya orang pun akanberkata, “Itu si Rifa’i dari Pasai.” Orang Aceh pun akhirnya menyebut tradisi menabuh rebana itu sebagairapa’i pasee.Karena bentuknya besar,maka seringkali orang punmenyebutnya gendang.Pembuatannya sangat sakral, didahului upacara meminta izin kepada pohonyang akan ditebang (biasanya tualang atau merbau).Kulitnya pun harus diambildari sapi berumur 5-6 tahun dengan berat 100 kilogram.Di masa penjajahan Belanda, rapa’i pasee bahkanberguna bagi perjuangan.Irama gendang menjadisandi. Bunyinya yang keras,bertalu-talu, bisa didengarsampai ke tempat lain dimana pejuang lain beradasebagai isyarat tertentu.Kini, tradisi yang sempathilang itu kembali diperdengarkan. Ada pepatahyang sungguh tepat tentangtradisi ini. “Kalau rapa’iuroh berbunyi, pertandarentetan senjata akan berhenti.”■ RHRibuan orang bak menyemut di jantung kota Semarang. Sebagian besar adalah warga keturunan Tionghoa. Ada kirab menuju Klenteng Sam Poo Kong menyusuri jalan-jalan protokol Semarang. Kemacetan tak bisadihindari. Namun boleh dibilang tak ada yang keberatan.Toh kirab ritual itu pun sesuatu yang asyik ditonton.Mereka rupanya memperingati tahun pelayaran Laksamana Cheng Ho yang ke600. Cheng Ho adalah laksamana muslim dari DinastiMing yang tujuh kali mengunjungi Nusantara. Salah satudaerah yang sempat disinggahinya adalah Semarang.Seperti bisa dilihat di halaman “Foto Pekan Ini” harianKompas, 7 Agustus 2005, antusiasme warga Semarang kelihatan begitu kental. Foto-fotoyang ditampilkan bernuansamerah, warna khas China,memperlihatkan seorang anggota kirab yang berperan sebagai Laksamana Cheng Ho, lilinlilin menyala di Klenteng SamPoo Kong, penonton yang ikutberkostum tradisional Chinadan duplikat pasukan pengawalberkuda sang laksamana.Sementara itu, Gatra (13Agustus 2005) dan KoranTempo (7 Agustus 2005), membahas topik ini lebih mendalam. Memaparkan bahwaperingatan pelayaran ChengHo tidak hanya menjadi tradisimasyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, melainkanjuga di China dan negaranegara yang pernah disinggahinya.Yang jelas, setiap 4 Agustus (tanggal 30 bulan keenam penanggalan imlek)ribuan orang Tionghoa dariberbagai daerah di Indonesiamelakukan kirab. Tanggal itudipercaya sebagai hari pendaratan laksamana yang nama muslimnya adalah HajiMahmud.Cheng Ho sangat dihormati di Indonesia karenaberperan besar membawabudaya China ke Nusantara.Ia mengajarkan pengetahuantentang sutra, keramik, pertanian, pertukangan, peternakan dan perikanan. Iatidak hanya singgah di Semarang, melainkan juga di Gresik (Jawa Timur), TanjungPriok (Jakarta), Cirebon danSamudera Pasai (Aceh). ■ RHdari PASAISepuluh truk bergerak membawa 288 orang penabuh rebana khas daerah Pasai itu.M asing-masing menabuh sebuah rebana besar berdiameter80-110 sentimeter dan berat 60kilogram. Rutenya dari BandaAceh sampai Peureulak, 7-8Agustus.Ketika pawai itu dilakukan,banyak yang mengaku barumengetahui apa itu rapa’i pasee. Jangankan orang dari daerah lain, anak Aceh yang lahirpasca DOM pun mengaku barumelihatnya. Tradisi ini sempatmenghilang sejak Daerah Operasi Militer diberlakukan tahun 1998. Sebab, lokasi pertunjukan rapa’i pasee yangbiasanya dipertandingan seLAKSAMANA BESARBerbagai acara danupacara digelarmemperingati 600 tahunpelayaran Cheng Ho.Napak Tilas