Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 20
P. 13


                                    BERITAINDONESIA, 7 September 2006 13V ISIBERITAStempel Karetestinya sikap kritispara anggota DPR tidak semata-mata dipersepsikan sebagaipenempatan diri yang selalu berlawanan dengan pemerintah. Karenawatak kekuasaan yang “cenderungkorup” harus diawasi secara cermatdan kritis.Yang masih disesalkan sampaisekarang, kenapa semua anggotaDewan meloloskan begitu saja besaran kenaikan harga BBM yang kedua(Oktober 2005), sampai mencapai120 persen? Padahal besaran kenaikan tersebut benar-benar menghimpit, tidak hanya ekonomi rakyat,tetapi juga ekonomi negara.Kenapa para anggota DPR tidaksecara kritis melihat bahwa akibatkenaikan tersebut memicu lajuinflasi sampai 18 persen (sepanjangtahun 2005)? Padahal gelombang inflasi tidak mengenalbatas, menyapu semua sektor kehidupan dan semua lapisanmasyarakat. Jawabannya, sebagian besar kekuatan di DPRyang beranggotakan 550 legislator, merapat pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanyadidukung penuh oleh partai kecil, Demokrat.Sedangkan kekuatan mayoritas, Partai Golkar, sudahdipegang oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Para wakil Golkartakut “dipelototi” Kalla yang bermitra dengan Susilo. Jugapartai-partai utama lainnya; PKS, PPP, PAN dan PKB,menempatkan menteri-menteri mereka di dalam KabinetIndonesia Bersatu. Karena itu jangan terlalu berharapmunculnya koreksi dan pengawasan yang kritis datang darifraksi-fraksi tersebut.Lantas di mana PDI-P dan Partai Damai Sejahtera? Merekaseolah-olah lepas tangan, tidak mendukung tetapi juga tidakmenolak kenaikan tersebut. Mereka menjadi partai oposisiyang “manis”, tidak ingin terlalu merepotkan pemerintahanSusilo.Belakangan berlangsung simbiose mutualistis—perpaduanyang saling menguntungkan—antara Presiden dan partaipartai pendukung. Kiat Presiden yang mewakili partai kecilmemang harus mencari dukungan partai-partai lain. Ini jugakonsekuensi dari pemerintahan presidentil, atau bolehdibilang, semi-parlementer, yang menganut demokrasi multipartai.Presiden, meskipun memperoleh legitimasi dan mandatlangsung dari rakyat, masih harus “mencari” dukungan darisebanyak mungkin kekuatan di DPR dengan imbalan kursimenteri agar mereka tidak menjadi penghadang. Ataulantaran kecemasan yang berlebihan, seolah-olah Presidenbisa dijatuhkan oleh DPR di tengah jalan. Padahal sepanjangPresiden tidak melakukan “tindak pidana”, tidak adalegitimasi dan wewenang DPR untuk menjatuhkan Presiden.Ironisnya, pemerintah masih meragukan dukungan fraksifraksi, sehingga meninabobokkan para anggota Dewandengan bermacam-macam fasilitas dan insentif, diluar gajiresmi mereka. Meskipun hal ini dipahami bisa merugikanrakyat dan bangsa dalam jangka panjang. Semestinya, paraanggota DPR berpikir dan merenunglebih dalam bahwa imbalan yangmereka peroleh dari kedudukannya,diberikan oleh negara dari hasilkeringat rakyat—bukan oleh pemerintah, apalagi Presiden—karenanya tidak harus mempengaruhikadar kontrol mereka.Mengamati perilaku sejumlahanggota DPR belakangan ini, sepertimenuntut kenaikan gaji, tunjangan,bahkan menjadi calo proyek, mengentalkan kecurigaan publik bahwamereka bukan semata-mata memperjuangkan kepentingan rakyat,tetapi sebesar-besarnya kepentinganpribadi dan partai.Inilah yang membuat citra parlemen reformasi terpuruk sepertilembaga legislatif pada paruh keduapemerintahan Orde Baru. Menjadi“stempel karet” pemerintah. Merekaserupa meskipun tidak sama. Lebih buruk lagi, para anggotaparlemen demokratis menjadi tidak kritis lantaran kebanjiranfasilitas, bukan karena didikte atau dipaksa.Tentu yang terabaikan nasib rakyat miskin. Para anggotaDewan seperti itu tidak lagi membanggakan capnya sebagaiwakil rakyat. Mereka lebih mengedepankan cap wakil Fraksidan Komisi, karena memiliki nilai tawar. Apalagi mereka yangmewakili Fraksi “besar” dan Komisi “basah”, nilai tawarnyapun semakin tinggi.Mereka menjabarkan nasib rakyat miskin identikdengan kalkulasi dagang. Maka, keloplah pemahamananggota Dewan dan para birokrat. Kebijakan untukmenaikkan harga BBM mereka terima, asalkan rakyatmiskin diberi ganti rugi berupa bantuan tunai langsung(BTL). Dihitung per kepala keluarga miskin (KKM),memang jumlahnya kecil, hanya Rp 100.000. Tetapijumlah KKM yang didata oleh BPS mencapai 15 juta, ataumeningkat menjadi 15,6 juta setelah harga BBM naik.Karena itu, pemerintah harus menguras “dana surplusBBM” sebesar Rp 15-15,6 triliun sebulan, atau Rp 45-46.8triliun dalam tiga bulan.Padahal bagi satu KKM uang tersebut habis untukmerasakan makan enak dalam sehari, atau untuk membayarutang di warung. Andaikan dana sejumlah itu digunakanuntuk membiayai proyek-proyek padat karya, alangkahbanyaknya orang miskin yang mendapatkan pekerjaan dantambahan penghasilan.Ke depan, tidak ada jaminan bahwa pemerintah tidak akanmenaikkan harga BBM, karena harga minyak mentahsekarang bergerak antara 75 sampai 78 dolar AS per barel.Sedangkan harga minyak mentah dalam APBN-Perubahandan APBN tahun 2007, dipatok antara 50-65 dolar per barel.Untuk kemungkinan terburuk, defisit bisa mencapai 13 dolarper barel. Celakanya, pemerintah harus mengimpor minyakmentah sekitar 600.000 barel per hari.Bilamana pemerintah kembali meminta persetujuan DPRuntuk menaikkan harga BBM, kita hanya bisa berdoa,“mudah-mudahan mereka tidak terperosok ke lubang yangsama.” „M
                                
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17