Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 35
P. 13
BERITAINDONESIA, 12 April 2007 13V ISIBERITAReformasi Birokrasiebutan birokrasi berakar darikata bureau (kantor), memilikiturunan kata bureaucrat andbeaucratic alias birokrat danbirokratis. Belakangan ini “kata birokrasi” sangat melekat dengan konotasiburuk—tindak korupsi. Karenanya,muncul pemikiran untuk melakukanreformasi birokrasi pada perangkatorganisasi dan birokratnya serta jaringan birokratis.Birokrasi yang berkaitan dengan pengelolaan negara, mencakup lembagapemerintah dan non-pemerintah, legislatif dan yudikatif. Lembaga pemerintahterbagi lagi dalam dua bagian besar—departemen dan non-departemen, seperti Badan PusatStatistik, Badan Ketahanan Pangan serta Badan PengawasanObat dan Makanan, dan masih banyak badan lainnya. Semuakantor departemen dan non-departemen berada di bawahkekuasaan presiden.Sedangkan lembaga non-pemerintah mencakup lebih dari100 komisi, seperti Komisi Yudisial, Komisi PemberantasanKorupsi, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan KomisiPenyiaran Indonesia. Komisi-komisi ini sifatnya independen,keanggotaannya dipilih oleh presiden tetapi disahkan olehDPR.Birokrasi legislatif meliputi MPR, DPR, DPD dan DPRDbeserta seluruh perangkat dan anggotanya. Khusus mengenaiDPR, berdasarkan UUD 1945 yang diamandemen—selainberfungsi sebagai badan legislasi dan pengawas anggarannegara, juga diberi pembagian kekuasaan dengan pemerintah.Misalnya, dalam hal pengangkatan Panglima TNI dan KepalaPolri serta pelaksanaan anggaran belanja dan pendapatan,presiden harus meminta persetujuan DPR. Di tingkat daerah,gubernur, bupati dan walikota, harus menyampaikanpertanggungjawaban kepada DPRD perihal pelaksanaanAPBD dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.Sedangkan birokrasi hukum mencakup kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan Mahkamah Agung. Memangterjadi kerancuan di dalam birokrasi hukum, karena sebelahkaki kepolisian dan kejaksaan berada di pemerintahan. Selainitu, masih ada birokrasi hukum ekstra, yaitu KomisiPemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Tindak PidanaKorupsi (Tipikor) dan Mahkamah Konstitusi (MK).Semua birokrasi tersebut dibiayai oleh negara yangsebagian besar dananya dipungut dari rakyat. Karena itu,birokrasi pemerintahan, bagian dari mata rantai birokrasinegara, memegang peran sentral dalam pelayanan publik,terutama memberi jaminan kesejahteraan lahir-bathin danmental-spiritual. Tentu secara makro birokrasi-birokrasitersebut berfungsi menjaga ketertiban, keamanan, ketahanandan kedaulatan negara.Semua birokrasi tersebut dikelola oleh personalia atausumber daya manusia (SDM) yang dalam praktiknya berbedabeda kemampuan, motivasi dan tujuannya. Misalnya,birokrasi pemerintahan, dikelola oleh tenaga-tenaga sipil,militer dan polisi (PNS sipil dan non-sipil) yang diperkirakanberjumlah sekitar 4 juta orang. Birokrasi pemerintah, secaragaris besar terdiri dari dua organisasi—sipil dan militer/polisi—yang berbeda pola organisasi dan karakternya.Tiga jenis birokrasi yang belakangan ini sangat melekatdengan konotasi tindak korupsi, yaitubirokrasi pemerintah, hukum dan legislatif. Bekas menteri yang sangat sengitmelawan korupsi, Kwik Kian Gie, menilai sejak 62 tahun merdeka, birokrasidi negeri ini tak pernah mengalami audit, baik dari struktur organisasi, jumlahpersonil, garis komunikasi, rentangkendali, maupun sistem dan prosedurpengambilan kebijakan.Tentu audit tersebut dimaksudkan untuk membangun birokrasi yang efektif, disiplin dan profesional secara konseptual,terencana dan terarah. Sebab, sejak berdirinya republik ini, birokrasi lebih banyakdibiarkan mengalir seperti air. Kalaupunada langkah pembinaan, itu tak pernah lepas dari motivasiterciptanya proyek-proyek non-fisik yang dari sisi perbuatankorupsi sangat sulit diukur dan diawasi. Sebab, semakin canggihtindak korupsi, para pelakunya semakin terpuaskan.Setelah jatuhnya pemerintahan yang selama 32 tahundidominasi oleh paradigma kekuasaan Orde Baru—merambahnya tangan-tangan militer di dalam birokrasi—memangsektor birokrasi luput dari reformasi. Pemerintahan danpresiden silih berganti, tetapi birokrasinya itu-itu saja. Aparatbirokrat naik dan turun, syukur-syukur merujuk pada jenjangkarir dan prestasi, tetapi di dalam praktik lebih ditentukanoleh sistem nepotisme (pertemanan) untuk memudahkankolusi yang mengarah ke tindak korupsi berjamaah.Korupsi kolektif sangat sulit diungkap secara materiil olehaparat hukum dan pengawasan, baik internal maupuneksternal, lantaran diselimuti oleh kolusi. Ujung-ujungnyabanyak aparat hukum dan pengawas, tergiur oleh uang suapuntuk ikut berkolusi—kerja sama dalam konotasi negatif. Taksalah jika Kwik menggambarkan korupsi di Indonesia sudahsangat dalam, luas dan mencakup banyak orang.Para pegawai negeri sipil (PNS) yang cerdas dan idealis sekali pun, akhirnya terjerat fenomena moral hazard (gangguanmoral). Tak sedikit dari mereka yang lulusan perguruan tinggiterkemuka. Masalahnya, impian mereka semasa kuliah untukmemperoleh kehidupan enak setelah meraih sarjana,terbentur oleh kenyataan kecilnya gaji PNS. Tetapi untukmeraih impian tersebut, mereka mengejar posisi dan jabatan“basah” dengan segala cara, termasuk berdukun.Kondisi inilah yang dicemaskan oleh Kwik yang pernahmemimpin birokrasi di kementerian ekonomi dan Bappenas.Bahwa virus ganas korupsi telah dan sedang menggegorotitubuh birokrasi pemerintahan, hukum dan legislatif. Hampirtidak ada aparat birokrat yang tidak tertular virus ganastersebut. Tak berlebihan jika mengibaratkan aksi korupsidewasa ini dengan peribahasa: Gugur satu tumbuh seribu.Jadi bagaimanakah reformasi dilakukan di lingkunganbirokrasi dimaksud? Harus ada sebuah konsep yang berkalikali lulus dari uji coba, sehingga nantinya dijadikan sistemuntuk membangun birokrasi yang dikelola oleh parapersonil—paling tidak mulai dari eselon satu sampai empat—yang punya dedikasi dan idealisme. Konsep tersebut mestidibahas, dikaji dan dirumuskan oleh pihak-pihak yangkompeten, bukan hasil pemikiran satu golongan kepentinganatau seseorang yang sedang berkuasa.Langkah pencegahan lebih baik dari pada penindakan,sehingga KPK tidak terjebak pada stigma tebang pilih. S