Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 40
P. 13


                                    BERITAINDONESIA, 21 Juni 2007 13V ISIBERITAReformasi Nirmoralalam itu, seperti pemandangan umum Jakartaselama puluhan tahun, masyarakat terusdijejali dengan hingar bingar nyanyian parapengamen. Tidak hanya musik dan nada falsnya yang membuat hati merasa tidak terhibur, tetapi jugagaya mereka yang sudah berubah menjadi setengah preman.Begitu juga dengan pengalaman kru Majalah Berita Indonesia. Selepas keluar dari food court mal Taman Anggrek yangsangat mewah di lantai 4, untuk sebuah wawancara dengansalah seorang tokoh agama, langsung disambut dengannyanyian para pengamen, sesaat setelah memasuki bus PPDkelas ekonomi 46.Mendengar lagu itu, mungkin saja seisi bus bergumamdalam hati, “Untung saja, Sukarno dan Suharto tak berkuasalagi. Kalau tidak para pengamen ini sudah digaruk”.Gumaman itu benar, Bung Karno sangat tidak suka denganmusik berbau kebaratbaratan. Ia menyebutnyamusik ngak ngik ngok.Dalam teori musik, jenismusik ala Bung Karno itupasti tidak ditemukan.Demikian juga Pak Harto,sangat tidak suka mendengar musik-musik bernada protes sosial. Baginya, kalau ada permasalahan, harus disampaikan melalui saluran-saluran resmi, dan jangannyanyi di bus kota.Hal yang jauh semakinburuk dari latar belakangumum masyarakat Jakarta tadi adalah gaya para pengamen yang semakin intimidatif. Merekatidak mau lagi menunggukerelaan para penumpang tetapi dengan matamelotot, mereka memaksa para penumpang perempuan menyerahkansumbangan mereka.Di pihak lain, merekatidak sungkan-sungkan bersimpuh di depan para penumpangpria yang terlihat kren, berpenampilan bersih, dan menentengtas besar. Mungkin dalam pikiran mereka, “Ini pasti kelasprofesional yang mungkin akan memberi lebih banyak”.Namun mereka tidak tahu, bahwa apa yang mereka rasakan, juga dirasakan seluruh penumpang bus, yakni pendapatan yang tetap sementara harga-harga terus membubung. Dan para pengamen itu tidak tahu, bahwa selama 2jam wawancara dengan seorang tokoh agama, kru MajalahBerita Indonesia harus menahan dahaga dan lapar, karenasudah waktunya makan malam tapi tidak ada makanan danminuman. Namun demikian, nyanyian fals mereka yang berisipesan-pesan sosial, tetap mengundang rasa empati danmudah-mudahan suara fals mereka terus membahana kegedung DPR, ke Istana negara, dan ke telinga para pemimpinpartai politik. Dan untuk itu, kru Berita Indonesia akhirnyamengeluarkan uang ribuannya.Tidak ada yang bisa membantah bahwa gaya setengah preman atau full preman itu sudah melewati batas-batas toleransimoral. Bahkan mereka sudah seperti “mahluk hidup lain”yang mengedepankan naluri dan mengesampingkan nurani.Namun sebaliknya, yang paling bertanggung jawab padapembangunan moralitas bangsa ini, seperti tokoh-tokohpolitik, agama, hingga para pemimpin formal, tidak memilikigood will untuk membangun moral bangsa. “Lalu, mengapakita menuntut para pengamen itu bermoral?”Bukankah seharusnya hari raya ke-9 reformasi diwarnaipencapaian agenda reformasi? Lalu mengapa pada saat yangbersamaan justru diwarnai terungkapnya aliran danaDepartemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlahpemimpin dan tokoh-tokoh partai politik. Kita diingatkankembali, bahwa salah satu agenda reformasi adalahpenyelenggaraan pemerintahan yang bebas dariKorupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Hampir semua narasumber Berita Indonesiamengakui, bahwa KKNatau kejahatan apalahnamanya yang melibatkan dana DKP hanyalahpuncak es yang tampak dipermukaan. Itu hanyalahsecuil dari sedemikianbesarnya KKN yang masih menggurita di negeriini. Lihat saja skandalkeuangan terbesar di negeri ini, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI), tidak pernah tuntas. Maklum, sejumlahanggota Kabinet Indonesia Bersatu juga terlibatmenggunakan dana itu.Tidak ada yang menduga bahwa para calonpresiden itu maupun pasangannya tidak mau berpikir dua kali ketika menerima sumbangan kampanye yang melebihi ambang batasyang diatur dalam UU. Realitas sedemikian menunjukkan,betapa besarnya hasrat berkuasa setiap orang, seakan-akantidak peduli bagaimana caranya mendapatkan kekuasaan itu,pokoknya menjadi penguasa saja.Kini kita mulai tersadar, betapa reformasi yang berjalansedemikian lama nyaris tanpa menyentuh ranah moral. Kitalebih suka membentuk UU dan membangun lembaga barudaripada membenahi moralitas kita. Walhasil, yang kita dapatadalah reformasi nirmoral.Tidak mengherankan jika kabinet demi kabinet yangmemerintah di negeri ini sepanjang reformasi, selalu digoyangdengan ketidakpercayaan (distrust). Namun bukan hanya itusaja, ketakutan paling besar kita tentang massifnya ketidakpercayaan hingga tercerai-berainya negeri ini, seakan-akansudah ada di depan mata. „Milustrasi: dendy
                                
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17