Page 36 - Majalah Berita Indonesia Edisi 60
P. 36
36 BERITAINDONESIA, 26 September 2008 L ENTERALentera36Gagasanpembaruanpemikiran Islamsecara terbukapertama kalidikemukakanNurcholish ketikaia, pada tanggal 2Januari 1970,menyampaikanmakalah berjudul“KeharusanPembaharuanPemikiran Islamdan MasalahIntegrasi Ummat”dalam sebuahpertemuan diJakarta. Di situ iamengajukanpengamatanbahwa kaum Muslim Indonesiamengalamikemandegandalam pemikirankeagamaan dankehilangan“kekuatan dayadobrak psikologis”(psychologicalstriking force)dalam perjuanganmereka.tik, tidak menyebabkan Nurcholish - dimasa muda dan dewasanya - untuk memillih salah satunya, melainkan malah“menggabungkan” dan mengembangkansintesis antar keduanya ke wilayah kepedulian sosial-politik yang jauh lebih luas.Hasil segala daya dan upaya itulah yangoleh beberapa sarjana dan pengamatbelakangan ini disebut “neo-modernismeIslam”. Prinsip yang mendasarinya termuat dalam ungkapan bahasa Arab yangdengan penuh percaya diri sering dikutipnya, Al-Muhâfazhah `alâ al-qadîm alshâlih wa al-akhz bî al-jadîd al-ashlah(“Mempertahankan yang lama yang baikdan mengambil yang baru yang lebihbaik”). Dan semuanya itu tercermindengan baik dalam semua sepak terjangdan pemikiran yang dilontarkannya, sejakmuda - sebagai aktivis mahasiswa - hingga sekarang, ketika ia dijuluki “GuruBangsa”.Nurcholish kecil memperoleh pendidikan dasarnya di Madrasah al-Wathaniyyah yang diasuh langsung oleh ayahnya. Ia lalu melanjutkan pendidikan menengahnya di Pesantren Daar al ‘Ulum.Pesantren ini, berlokasi di Jombang, adalah salah satu pusat penting kaderisasi tradisionalisme Islam NU. Merasa tidakpuas, ia kemudian minta kepada ayahnyauntuk dipindahkan ke Pondok ModernGontor di Ponorogo, Jawa Timur. Meskipun mengklaim diri sebagai pesantrenyang “non-sektarian” dan ingin “berdiri diatas semua golongan”, aspirasi keIslamanpesantren ini sangat jelas lebih dekatkepada modernisme Islam Masyumi.Pada tahun 1962, Nurcholish hijrah keJakarta, ibukota negara, untuk melanjutkan pendidikan tingginya di InstitutAgama Islam Negeri (IAIN), sebuah lembaga pendidikan tinggi yang dibangunpemerintah pasca-kemerdekaan untukmendorong mobilitas vertikal kaum Muslim santri yang pendidikannya sangatterhambat di bawah kolonialisme. Padamasa inilah ia mulai berkiprah di organisasi kemahasiswaan: ia terlibat sangataktif di Himpunan Mahasiswa Indonesia(HMI), sebuah organisasi mahasiswa Islam “kota” yang didirikan pada tahun1947. Di organisasi inilah kemampuannyamulai menonjol. Pada tahun 1965, misalnya, ia menulis Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), rumusan doktrin ideologis HMI yang hingga sekarang masihdijadikan materi wajib dalam pengkaderan puluhan ribu anggotanya. Karenakemampuannya demikian menonjol (saatitu, ia antara lain menguasai bahasa Arabdan Inggris secara aktif dan bahasaPerancis secara pasif), ia terpilih sebagaiKetua Umum HMI untuk dua periode:1966 – 1969 dan 1969 – 1971. Hingga saatini, dialah satu-satunya Ketua UmumHMI yang terpilih dua kali.Mungkin faktor inilah yang menjadikan namanya belakangan begitu melekatdengan HMI. Tapi sumbangan Nurcholishsebenarnya jauh dari berhenti di situ,melainkan malah baru bermula. Sumbangan terbesarnya justru terletak padaupayanya merumuskan apa yang mungkin dapat disebut sebagai “wajah IslamIndonesia”, upaya yang pada titik-titiktertentu sengaja ia lepaskan dari benderaHMI untuk menghindarkan organisasi itudari kontroversi yang tidak perlu. Dalamupaya besar ini, Nurcholish mencurahkanhampir seluruh pikirannya untuk menyerasikan tiga tema besar yang selalumenyibukkannya: keislaman, kemodernan dan keindonesian. Inilahagenda pembaharuan pemikiran Islamyang dikibarkannya sejak dekade 1970-anhingga kini - dan memang dalam rangkaini pulalah ia beberapa kali terlibat dalamkontroversi besar.Gagasan pembaruan pemikiran Islamsecara terbuka pertama kali dikemukakanNurcholis ketika ia, pada tanggal 2 Januari 1970, menyampaikan makalah berjudul “Kaharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah IntegrasiUmmat” dalam sebuah pertemuan diJakarta. Di situ ia mengajukan pengamatan bahwa kaum Muslim Indonesia mengalami kemandegan dalam pemikirankeagamaan dan kehilangan “kekuatandaya-dobrak psikologis” (psychologicalstriking force) dalam perjuangan mereka.Indikasi penting kemandegan itu adalahketidakmampuan mayoritas merekauntuk membedakan antara nilai-nilaiSyaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilangfoto-foto: dok. berindo