Page 60 - Majalah Berita Indonesia Edisi 62
P. 60


                                    60 BERITAINDONESIA, Desember 2008MenegukSains dan Humanioraalah satu batu uji dalam duniaperbukuan kita adalah anggapanminat baca masyarakat yangrendah. Namun melihat total serial kisah Ayat-ayat Cinta (dengan duajudul buku lainnya) dan Laskar Pelangi(dengan dua kisah lanjutannya) yang bisamencapai 7 juta eksemplar buku dalamkurun waktu tiga tahun terakhir, seharusnya kita sudah mulai menyingkirkananggapan miris tadi.Jauh sebelum bangsa ini merdeka, BungHatta telah membuktikan anggapan itudengan konsep “Sociale Pedagogie”. Pandangan humaniora itu sempat diprakarsaiuntuk membangun mentalitas membacasehingga bangsa ini bisa sampai kegerbang mardikha.Bung Hatta menegaskan eratnya hubungan keberaksaraan dengan pendidikan sains dan humaniora. Keduanyasaling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hasilyang diharapkan dari “Sociale Pedagogie”adalah menciptakan generasi yang pahamdengan seluk-beluk sains, fasih terhadaphitungan matematika, menghayati ilmuhayat, tangkas terhadap teknologi mutakhir, namun tetap berpijak pada kekayaan budi pekerti sekaligus peka terhadap segi-segi kehidupan lainnya. Harapannya, akan lahir manusia pintar yangberdedikasi dengan sukmanya.Bung Hatta tidak sendiri. C.P. Snow,seorang ahli fisika yang dikenal juga sebagai novelis dan juga pernah melontarkan pandangan yang sebangun denganpandangan “Sociale Pedagogie” tadi.Snow menuliskan gagasannya dalam bukutelaah komprehensif, The Two Culturesand the Second Look (1963), yang mengkritisi formalitas pendidikan modern yangsudah kehilangan jiwanya. Format yangformal dari pendidikan modern sehinggamelahirkan pemilahan yang teknis sehingga menimbulkan kesan laiknya sebagai “pelatihan” biasa.Bung Hatta dan Snow mengharapkankeseimbangan antara peran sains danhumaniora. Namun, pandangan emas itukini semakin pudar dalam dunia pendidikan kita. Hadirnya cara pandang yangsempit antara “sains” dan “humaniora”membuat garis pembatas yang begitukuat, dan dipisahkan secara parsial.Bidang yang satu merasa lebih tinggiderajatnya ketimbang bidang lain. Danseterusnya terciptanya adi-manusia,bukan lagi adi-budaya. Terciptanya manusia yang siap menyantap manusia lainlantaran daya dan karsa yang dimilikinya.Kenyataan ini membuat penulis berpandangan, bacaan berupa komik bisadijadikan salah satu jalan keluar untukmengatasi jurang pemisah antara sainsdan humaniora. Lalu pertanyaannyaadalah, mengapa komik?Sebagaimana kita pahami, bangsa inilahir dengan budaya kelisanan yangtinggi. Nenek moyang kita melantunkansyair, tembang, renggeng-renggeng,dongeng, petuah, mantra dan lain sebagainya. Sebelum datangnya pengaruhBudha, Hindu, Islam dan budaya dariBarat, mereka telah fasih merisalahsejarahnya sendiri lewat lisan.Ketika riwayat keberaksaraan kitabelum mengalami proses yang selesai,“godaan” ragam visual sudah terlalumenggoda. Impuls teknologi dari luarsempat membius negara agraris ini. Sejakera 80-an, histeria terhadap teknologimelanda selama dua dekade. Gegar budaya di zaman modern yang serba mengagungkan teknologi membuat lompatanyang terlalu jauh, sehingga hilangnyamata rantai yang seharusnya sesuai siklusdari lisan ke aksara baru ke jagat visual(teknologi).Di sinilah peran komik akan merekatkan kembali mata rantai yang sempathilang tadi. Perkawinan antara ceritakata-gambar akan memperkuat lagiproses berjalannya dari budaya lisan kebudaya tulisan sebelum akhirnya menujukebudayaan visual (teknologi).Namun sayang, dalam konteks Indonesia, perjalanan komik tak lepas daripandangan yang serba tidak mengenakan.Sejak awal, medium sastra bergambarbernama komik kerap dikategorikankarya’picisan’, tidak mendidik, porno,dipenuhi kata-kata kotor, dan mengumbar adegan penuh kekerasan (sadisme).Yang terjadi selanjutnya adalah kambinghitam terhadap komik secara generik. Capkomik adalah bacaan murahan begitumelekat, dan akhirnya, komik menjadimusuh bagi orang tua di rumah.Di sisi lain, komik sebagai sastra visualjuga mengalami pelecehan dari berbagaisudut. Adanya anggapan dari kaumcendikiawan bahwa buku yang “serius”adalah buku yang tebal, lebih banyak teksdari gambar, berisi teori-teori teknis, danlain sebagainya. Komik dianggap sebagaibacaan anak kecil dan hanya menampilkan cerita konyol, isapan jempol,komedi yang hanya mengundang tawa,dangkal, slapstick, khayalan, dan lainsebagainya.Begitupun adanya pandangan miring dikalangan sebagian seniman. Karya adiluhung adalah karya yang “serius”. Komikdianggap sebagai karya yang hanyamenampilkan gambar lucu, tanpa pergulatan bathin yang dalam, nge-pop,SekaligusSudah saatnya merevitalisasi komik Indonesia dengankomik non-fiksi, sekaligus menyongsong kembali gagasanemas Bung Hatta, “Sociale Pedagogie”.BERITA HUMANIORASfoto: dok. berindo
                                
   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64