Page 65 - Majalah Berita Indonesia Edisi 63
P. 65


                                    BERITAINDONESIA, Januari 2009 65BERITA HIBURANndonesiaini dipakai sebagai pegangan nilai industri, tidak melulu menggeser nilaiestetika di ranah Hollywood.Daftar judul yang dimaksud adalah:Gone With The Wind (1939), Rebel Without a Cause (1955), Cat on a Hot Tin Roof(1958), Psycho (1960), To Kill a Mockingbird (1962), The Graduate (1968),One Flew Over the Cuckoo’s Nest (1975),Dead Poets Society (1989), The Silenceof The Lambs (1991), Scindler’s List(1995), Forrest Gump (1994), The Shawshank Redemption (1994), Fight Club(1999) dan termasuk Wizard of Oz yangtadi disebutkan. Bahkan, dedengkotindustri perfilman dunia pun diselamatkan oleh sejumlah karya novel.Sejarah film Indonesia juga mencatatsejumlah novel yang diangkat ke layarlebar. Dengan kepekaan estetika dankesadaran industri, Teguh Karya mengangkat novel Badai Pasti Berlalu (1974)karya Marga T menjadi sebuah filmlegendaris (1977). Setelah 30 tahunberlalu, bukan hanya filmnya yangdikenang dan didaur ulang (2007) dalamkemasan masa kini, tapi album soundtrack-nya telah ludes lebih dari 10 jutakeping. Ia bahkan menjadi salah satulegenda musik Indonesia sepanjangmasa.Di sini pembuktian pertama sejarahindustri buku-film-musik dalam satupaket lengkap. Logika industri berjalandengan maksimal, tanpa meremehkanunsur estetika. Kendati novelnya sendiritidak digolongkan dalam kotak sastra,Teguh Karya dianggap mampu memunculkan nilai estetika yang mumpuni. Danyang tak kalah peran adalah bagaimanaEros Djarot membangun citraan barumusik garapannya untuk sejumlah lagusoundtrack, yang hingga kini semuatelinga tak akan pernah mendustaikomposisi masyur lagu Merpati Putih,Angin Malam, Serasa dan termasukBadai Pasti Berlalu. Karya Marga T lainjuga pernah menghias layar lebar semisalKarmila, Bukan Impian Semusim, atauRanjau-ranjau Cinta, sekadar menyebutbeberapa contoh.Pengarang novel populer lain, Mira Wmisalnya, menjadi salah satu penulisyang disatroni para sineas di era 80-an.Kita simak bagaimana novel larisnya jugamenjadi film laris di masanya seperti Disini Cinta Pertama Kali Bersemi, Merpati tak Pernah Ingkar Janji, Bilur-bilurPenyesalan, Dari Jendela SMP, GalauRemaja SMA, Masih ada Kereta yangakan Lewat, dll.Tak kurang lebih dari 56 judul novelmenjadi incaran para sineas dalam kurunmasa keemasan film nasional sejak tahun70-an hingga awal 90-an. Pencarian lineup para sineas kita saat itu berhentidalam tataran novel populer. Padahal,setelah para penonton kenyang denganpenggarapan film dari novel populer,sebenarnya para penonton Indonesiasebenarnya “menagih” tema yang lebihkompleks. Ketika sosialiasi film adaptasisudah diterima pasar, sebetulnya, langkah selanjutnya adalah ke tahap eksplorasi yang setahap lebih berat lagi.Yang belum banyak disadari para sineaskita saat itu booming dan trend jugamenciptakan clutter, semacam kejenuhan yang perlu dipecahkan dengan inovasibaru. Dan, novel sastra itu adalah jawabannya.Geliat film nasional era 2000-an yangditandai oleh fenomena sejumlah novelpopuler teenlit dan chicklit Indonesiajuga jadi incaran para sineas sepertiEiffel…I’m in Love, Dealova, Cintapucino, Detik Terakhir (judul novel asliJangan Beri Aku Narkoba), dan Jomblo.Setelah booming bukunya mulai meredabegitu juga dengan filmnya, novel sastrasemacam Ayat-ayat Cinta (2004), Laskar Pelangi (2005) yang punya ambisikesastraan menjadi jawaban setelahbooming novel populer teenlit danchicklit yang merebak di awal 2000-an.Barangkali sastrawan Jujur Pranantotak akan menyangka sebelumnya jikacerpen sastranya yang berjudul Doa yangMengancam nantinya akan difilmkanoleh Hanung Bramantyo. Sejumlah novelsastra kanon juga mulai digadanggadang dalam proses negosiasi olehsejumlah sineas muda seperti BumiManusia (Pramoedya Ananta Toer),Harimau-harimau (Mochtar Lubis),Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), danDi Bawah Lindungan Kabah (Hamka).Novel sastra Indonesia mutakhir jugamasih banyak yang belum dilirik parasineas. Padahal, begitu suburnya kisahkisah tersebut dan sudah dibaca olehbegitu banyak pembaca kita. Mereka bisamenjadi salah satu alternatif yang layakdi-create ke dalam pita seluloid. Sebutsaja novel Cantik itu Luka (Eka Kurniawan), Rahasia Medee (ES. Ito),Perempuan Kembang Jepun (Lan Fang),Geni Jora (Abidah el Khalieqy), Perempuan Keumala (Endang Moerdopo),Putri Cina (Sindhunata), Epigram (Jamal), 5 Cm (Donny Dirgantoro), Larungserta Bilangan Fu (Ayu Utami), GerhanaKembar (Clara Ng), atau novel yangmasih hangat dibincangkan banyak orang saat ini, Sembilan Matahari (Adenita).Meminjam istilah Andrea Hirata saatBerita Indonesia menjumpainya beberapa waktu lalu, bahwa di tangan paranovelis lah perfilman Indonesia di masamendatang. Maka inilah saatnya efekbola salju untuk perfilman nasional yangmulai menggeliat, dan image yang melekat dalam dunia sastra kita yangterkesan jauh dari cawan industri, akanterkikis. „ CHUSSejumlah novel laris telah diangkat ke layar lebar
                                
   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68