Page 36 - Majalah Berita Indonesia Edisi 85
P. 36
36 BERITAINDONESIA, Desember 2012 L ENTERALENTERAPengungsi Syiah Mampang, Madura [voa]di Sampang, Madura dan Ahmadiyah diMataram, NTB dan beberapa tempat, sertapenyegelan beberapa gereja.Penilaian atas kealpaan negara tersebutdikemukakan beberapa tokoh. Di antaranyaKetua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. MahfudMD, yang mengaku heran kasus kekerasandi negeri ini bisa berlarut-larut. Mahfudmencontohkan sejumlah warga Ahmadiyahdi Mataram, Nusa Tenggara Barat, yangmasih mengungsi. “Ini hak asasi orang. Bayangkan kalau Anda yangdiperlakukan seperti itu, diusir dari rumah sendiri. Keluar takut. Seakanakan negara tak ada di situ,” katanya.Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Kacung Marijan, MA, Guru BesarUniversitas Airlangga (Unair) dan Staf Ahli Mendikbud. Dia menyorotikekerasan atas nama agama yang kembali terjadi di Sampang. Kelompokpengikut Sunni dan Syiah bersitegang dan berakhir dengan pembakaransejumlah rumah pengikut Syiah bahkan menelan korban jiwa yangmemaksa kelompok Syiah mengungsi. Menurut Prof Kacung, apa yangterjadi di Sampang itu merupakan peristiwa buruk yang tidak perluterjadi. Dia menegaskan konflik kekerasan yang mengatasnamakanagama itu bukan hanya telah mencederai kesucian agama, melainkanjuga mencederai rasa kebangsaan kita.Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI memandang serangkaianperistiwa konflik dan kekerasan yang menimpa kelompok minoritas yangterjadi akhir-akhir ini menyadarkan kita bahwa persoalan ke-BhinnekaTunggal Ika-an atau kemajemukan (pluralitas) masih menjadi problem dinegeri ini. Apalagi, problem ini bukan hanya menyangkut kemajemukaneksternal (pluralitas agama), melainkan yang tidak kurang gawatnya adalah kemajemukan internal (pluralitas internal agama). Maka dia mengingatkan tidak mengherankan jika Prof Nurcholish Madjid dulu sangatgigih mengajarkan dikembangkannya paham pluralisme eksternal dansekaligus pluralisme internal di kalangan umat dan bangsa Indonesia.Mahfud MD menduga berlarutlarutnya penanganan kekerasan dimasyarakat dikarenakan tak adanyaketegasan aparat penegak hukum,padahal aturannya jelas. Penegakanhukum, yang diharapkan menjadipenyelesai konflik di masyarakat,justru memunculkan ketidakadilan.Ketua Presidiun Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof.Nanat Fatah Natsir juga mengatakan, negara harus tegas dan netraldalam mengusut kasus kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat,seperti terhadap kelompok Syiah yang terjadi di Sampang, Madura. Diamengatakan aparat penegak hukum harus bertindak tegas agar kejadianserupa tidak terulang dan meluas ke wilayah lain. Karena itu, intelijenaparat penegak hukum harus mampu mendeteksi bibit-bibit kekerasansedini mungkin.Apalagi, menurut catatan Prof. Nanat Fatah Natsir, konflik yang munculantara Sunni dan Syiah di Madura, sudah terjadi cukup lama, setidaknyasudah terjadi sembilan peristiwa konflik yang terjadi sejak 2006 yang melibatkankedua kelompok aliran Islam itu. Maka, dia sangat merasa prihatin dengankekerasan di Sampang yang mengatasnamakan agama sehingga sampai jatuhkorban jiwa, pembakaran rumah dan pengusiran.“Seharusnya kejadian kekerasan yang mengatasnamakan agama tidak terjadi di Indonesiayang merupakan negara demokrasi. Apalagi,kebebasan beragama diatur dalam konstitusi.Negara harus melindungi agama apa pun untuktumbuh dan berkembang sebagaimana diaturdalam Undang-Undang Dasar 1945,” kata NanatFatah Natsir, mantan Rektor Universitas IslamNegeri Sunan Gunung Djati, Bandung tersebut.Selaku Ketua Presidium ICMI, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS, menegaskannegara mestinya netral terhadap agama, tidak memihak agama manapun danmenjamin kebebasan penduduknya dalam menjalankan ibadahnya. “Haruskembali ke UUD 1945 pasal 29 ayat 2,” tegasnya.Prof. Nanat Fatah Nasir yang juga menjabat Staf Ahli Bidang KehidupanBeragama, Kementerian Agama tersebut menegaskan negara tidak bolehmemandang rendah agama manapun. Begitu juga tidak ada campur tanganbahkan terkait aliran yang dianut oleh rakyatnya. Dia menegaskan negara tidakboleh intervensi terhadap kebenaran agama, termasuk masalah alirannya.Terserah rakyat, mau memeluk mazhab mana.Nanat berharap pemerintah harus segera mengambil jalan keluar terutamauntuk menyelesaikan konflik dan melindungi korban. Korban kekerasan itu harussegera dikembalikan ke tempat tinggalnya semula dan mendapat perlindunganuntuk menjalankan kepercayaannya.Prof. Kacung Marijan juga memandang betapa penting kehadiran negara untukmengatasi hal itu. Dia memandang perlu intervensi negara berupa aksi aparatnegara, khususnya aparat keamanan dan penegak hukum, dalam melakukanpencegahan dan penanganan masalah kalau kerusuhan semacam itu terjadi.Menurutnya, bagaimana pun, negara merupakan institusi pokok yang memilikikekuatan, termasuk kekuatan kekerasan,agar peristiwa-peristiwa semacam itutidak terjadi.Sementara, Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, memandang pentingnyadialog eksternal dan internal agama diselenggarakan. Dialog itu, menurutnya,bukan hanya dialog-dialog yang berdimensi doktrinal atau mazhab, melainkanjuga dialog-dialog karya yang jauh lebihkonkret. Dialog-dialog itu secara langsung dan tidak langsung akan mengajarkan kepada umat masing-masing untukdapat hidup berdampingan secara rukundan harmonis meskipun berbeda paham,aliran, mazhab, dan praktik-praktik keagamaannya. Menurutnya, dialog-dialogantarmazhab ini setidaknya akan dapat meningkatkan pemahaman timbal balikantarmazhab yang berbeda. Lebih daripada itu akan mengurangi keteganganantargolongan keagamaan yang diakibatkan ketidaktahuan atau ketidakmengertian di antara satu golongan atau aliran dengan golongan atau aliran yang lain.Prof. Nanat Fatah Nasir pun berharap ke depan semakin tinggi sikap toleransiantarumat beragama di Tanah Air. Harapan ini berkaitan dengan semakintingginya pamahaman agama rakyat Indonesia. Sebab menurutnya, tinggitidaknya toleransi seseorang tergantung tingkat pemahaman akan agama.“Semakin tinggi pemahaman agamanya, maka dia akan semakin toleran. Begitujuga sebaliknya,” jelasnya. mbi/tslNegara Mestinya Netralegara seakan tidak hadir dalam beberapa kasus kekerasan yangmenodai kehidupan beragama di Indonesia. Seperti kasus Nkekerasan yang menimpa kelompok minoritas Syiah yang terjadiKekerasan atas nama agama pertanda pemahaman agama masih rendah sehingga ke-Bhinneka Tunggal Ika-an ataukemajemukan (pluralitas) masih hadapi problem.Highlight Mahfud MD, N. Fatah Natsir, Hajriyanto Thohari, Kacung Marijan