Page 28 - Majalah Berita Indonesia Edisi 86
P. 28
28 BERITAINDONESIA, Februari 2013BERITA TOKOH Z‘Pamimpin Apa Kau?’elama 35 tahun mengabdi diKejaksaan, Edwin Pamimpin Situmorang banyak berkiprah di dualahir di kota kecil Laguboti, Toba Samosir pada 6 Oktober 1952. Iaanak kesembilan dari sepuluh bersaudara, ayahnya seorangpengusaha percetakan dan penerbit buku. Itulah sebabnya, Edwinsejak kecil sudah akrab dengan dunia buku, bahkan sudah mahirmembaca saat masuk ke bangku SD. “Orang masuk SD masihbelajar huruf A, B, saya sudah bisa membaca,“ cerita Edwin kepadaBantu Hotsan dari TokohIndonesia.com.Edwin yang berperansebagai Ketua Panitia Nasional Jubileum 150 tahun HKBP (2009-2011) ini juga hobi bernyanyi.Ada kisah menarik mengenai nama Edwin yang kemudianmenjadi nama panggilannya. Orang tuanya sebenarnya memberiia nama, Pamimpin Perluhutan Situmorang. Sejak kecil ia sudahbiasa dipanggil, Pimpin. Nama panggilannya kemudian berubahlagi menjadi Eppin. Saat ia SMA di Bandung, Eppin kemudiandigantinya menjadi Edfin agar kedengaran lebih keren. Pada saatmau ujian SMA, ia menuliskan nama Edfin Pamimpin. Namun saatmenerima ijazah, huruf ‘f’ berubah menjadi ‘w’. Sejak saat itu,namanyapun berubah dan ia akrab dipanggil dengan nama, Edwin.Bicara soal nama pemberian orang tuanya, Edwin mengakusempat kesal. Namanya itu menjadi bahan ejekan oleh temantemannya. “Pamimpin apa kau,” kata Edwin mengenang olokanteman-temannya itu. Namun belakangan, ia menyadari bahwanama itu menjadi berkat dan patut ia syukuri. Dengan nama itu, iamengaku menjadi mudah diingat dan dikenal di lingkungan kerja,baik saat bertugas ke daerah-daerah pelosok maupun saat tugaspendidikan. “Mana Pamimpin itu,” kira-kira begitu orang bilamencarinya. Di balik nama pemberian sang ayah itu pula, adatitipan doa dan harapan. Orangtuanya berharap, Edwin kelak bisamenjadi pemimpin atau menjadi pejabat tinggi negara. “Saya sudahpedagang, saya pingin anak saya ini menjadi pejabat tinggi,“ ujarEdwin menirukan perkataan ayahnya.Prinsip-prinsip hidup itulah yang mengawal perjalanan karirnyaselama ini. Bahkan ia telah mengukir sejumlah prestasi yangmembanggakan. Dalam usia empat puluh tahun, ia diangkatmenjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) pertama di Makale,Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, 1993. Kemudian menjadi AsistenIntelijen Kejaksaan Tinggi Irian Jaya, 1995; Asisten Tindak PidanaKhusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, 1996; Wakil KepalaKejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, 1998; Asisten Umum Jaksa AgungRI, 2000; Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, 2001; DirekturEkonomi & Keuangan pada Jaksa Agung Muda Intelijen, 2003;Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, 2005; Sekretaris JaksaAgung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, 2007; Deputi MenkoPolhukam Bidang Koordinasi Hukum dan HAM, 2008; Jaksa AgungMuda Perdata dan Tata Usaha Negara, 2008; Jaksa Agung MudaIntelijen, 2010. d-tiSbidang, intelijen dan perundang-undangan. Setelah mengemban belasanjabatan dan ditugaskan di berbagaidaerah, karirnya berpuncak sebagaiJaksa Agung Muda Intelijen sejak 2010sampai pensiun 6 Oktober 2012. DiaEmma Pelestari Budaya Betawielama puluhan tahun, Emma Amalia AgusBisri konsisten dalam melestarikan danmengembangkan kebudayaan Betawi. Dari tangannya lahir Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB),Persatuan Wanita Betawi (PWB), Ondel-ondel Botho,dan Samcong. Budaya Betawi, seperti busana,kesenian hingga kuliner, yang sebelumnya hanya tampil di pelosok kampung, sekarang sudah akrab dijumpai dimal dan hotel berbintang. Itulah sebabnya, Universitas Indonesiamenilai Emma pantas menerima penghargaan Makara UtamaUniversitas Indonesia bidang Sosial Budaya, sebuah penghargaantertinggi dari UI. Hj. Emma Amalia dinilai konsisten dalammelestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi mulai dariupacara tradisi, busana, perhiasan, kesenian, hingga kekayaankulinernya. Emma juga menyosialisasikan dan memperkenalkankebudayaan Betawi baik secara lokal, nasional, dan internasionalmelalui pameran, pertunjukan, kerja sama, pengiriman kesenianBetawi ke luar negeri, serta mengisi acara-acara formal kenegaraan.Emma Amalia dididik dalam lingkungan keluarga Betawi yangharmonis dan berpikiran maju. Ayahnya yang bekerja sebagaipengusaha elektronik adalah seorang nasionalis. Pada masapenjajahan Jepang, ayah Emma bersama beberapa kawannyamenjahit Sang Merah Putih secara cuma-cuma untuk dikirim keseluruh Indonesia. Sementara ibunda Emma berasal dari keluargamualim yang cukup terpandang dan disegani.Sejak belia, perempuan kelahiran Jakarta, 24 November 1943 inisudah tertarik dengan seni dan budaya Betawi. Di usia 20-an, Emmamulai mengoleksi benda-benda seni Betawi mulai dari kebaya, kainbatik, dan perhiasan, yang usianya mencapai puluhan bahkan ratusantahun. Kegemarannya mengoleksi benda-benda bernilai seni tinggitersebut terus bertahan sampai Emma berkeluarga. d-tiSr. R. Siti Zuhro, MA, peneliti senior PusatPenelitian Politik - LIPI, sering menyoroti isuSiti Suka Sumber Pertamaisu seputar otonomi daerah, birokrasi, demokrasi lokaldan politik nasional. Menurut doktor bidang ilmupolitik yang juga aktif di The Habibie Center ini,kemajuan Indonesia sangat ditentukan oleh berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah.Banyak sudah perubahan yang terjadi setelah lebih dari satudasawarsa kebijakan otonomi daerah itu berjalan, khususnya dalamhubungan pemerintah pusat dan daerah. Dari sekian banyak peneliti,Siti Zuhro memang dikenal lebih banyak melakukan penelitian mengenaiotonomi daerah dan politik lokal. Dunia penelitian yang telah digelutiperempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, 7 November 1959 ini sudahmenjadi bagian dari jati dirinya. Karena itu, meski sangat menguasaiisu-isu demokrasi, politik lokal, otonomi daerah, dan birokrasi, ia taktertarik terjun ke dunia politik praktis.Ketika menjalankan aktivitasnya sebagai periset, perempuan yangakrab disapa Siti ini mengaku paling senang saat terjun ke daerahuntuk berdiskusi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat lokaldan pemerintah lokal. Karena dari sana ia bisa mendapatkan dataprimer dari sumber-sumber pertama. d-tiD

