Page 53 - Majalah Berita Indonesia Edisi 05
P. 53
BERITAINDONESIA, November 2005 53dokteran No. 29 Tahun 2004, yang baruditetapkan 6 Oktober lalu.Manajemen bisnisSoal tudingan komersialisme rumahsakit, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Perssi)Dr. Adib A. Yahya MARS tidak memungkiri adanya salah persepsi.Dia menjelaskan, semua rumah sakitsaat ini diharuskan untuk mandiri.Bahkan rumah sakit pemerintah sekalipun. Pemerintah hanya sanggup mengucurkan subsidi 40 persen kepadarumah sakit pemerintah, selebihnyarumah sakit harus mencari pendapatsendiri. Memang sesuai Pasal 34 UUD1945, kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Kenyataannya,pemerintah tidak mampu memberikansubsidi seratus persen. Akhirnya, rumahsakit dikelola dengan sistem manajemenbisnis. Tentunya jangan sampai lari darimisi sosialnya.Misi sosial itu luas, misalnya denganmengajak lingkungan sekitarnya untuk hidup sehat, bakti sosial, berkampanye atau penyuluhan tentangkesehatan kepada masyarakat, memberikan bantuan segera terhadappasien gawat darurat atau korbanbencana alam.Kepada Berita Indonesia, Dr. Adibmengatakan, meski sulit dihapuskannamun jangan sampai ada dikotomiyang mengatakan bahwa rumah sakit itukomersil. Bagaimana pun rumah sakitharus mendapat untung dan jangansampai merugi. Kalau merugi, makaakan makin buruk mutunya dan masyarakat juga yang dirugikan.Namun diakuinya, keluhan akanburuknya pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit sering terdengar.Menurutnya, hal itu tidak semata-matakarena komersialisasi. Adakalanya,dalam tingkat pelaksanaan, rumah sakityang bersangkutan kurang sesuai dengan prosedur.Selama ini Perssi mengimbau rumahsakit untuk mendekatkan pelayanannyakepada pasien. Harus ada saling pengertian. Sehingga pasien bisa mengertiprosedurnya dan rumah sakit menjalankan prosedurnya dengan cara yangsesuai. Tapi di sisi lain, rumah sakit jugaharus mengerti harapan pasien yangingin dilayani dengan baik.Suara Pembaruan mengutip pendapat Hasbullah, bahwa komersialisasidi bidang kesehatan terjadi karenalemahnya posisi masyarakat. Pasalnya,Harian Suara Karya tanggal 9 Oktober 2005 mengetengahkanartikel mengenai implikasi UU Kedokteran No 29 Tahun 2004yang baru disahkan.Secara tegas, UU ini membatasi tempat praktik dokter dan doktergigi hanya untuk tiga tempat saja. Pasal 37 ayat 2 menyebutkan,surat izin praktik (SIP) dokter hanya akan diberikan palingbanyak untuk tiga tempat.Di luar tiga tempat itu, dokter dianggap melanggar UU dan akandikenakan sanksi baik kurungan atau denda minimal Rp 150 juta.Pembatasan itu, menurut Menkes Siti Fadilah Supari yang dikutipharian tersebut, dimaksudkan agar para dokter bisa memberikanpelayanan yang baik bagi pasien-pasiennya, sekaligus mengurangikemungkinan dokter melakukan malpraktik.Banyak protes dilayangkan para dokter atas kebijakan tersebut.Tak sedikit pula kendala logis yang akan ditemui padapelaksanaannya nanti. Misalnya, bagi dokter pegawai negeri sipil(PNS). Sudah bertahun-tahun dipikirkan sebaiknya dokterpemerintah tidak perlu praktik dimana-mana selain di instansipemerintah. Tetapi pemerintah harus memberikan penghasilanyang memadai, padahal selama ini gaji dokter pemerintah samadengan PNS biasa. ■ RH(BERITA KESEHATAN)masyarakat tidak memiliki informasiyang cukup tentang layanan kesehatan,seperti obat dan layanan medis. Akibatnya, masyarakat menyerahkan keputusan kepada dokter.Masyarakat juga buta akan informasiobat. Masyarakat harus membeli obatyang harganya mahal masih juga dipermainkan oleh produsen obat, dokterdan rumah sakit. Meski kini ada kewajiban pemakaian obat-obatan generikbagi dokter dan rumah sakit, adakalanyamasih terjadi permainan.Masa paten obat hanya sampai 20tahun, kemudian menjadi obat generikdan bisa diproduksi ramai-ramai. Namun adakalanya produsen obat mengklaim obat yang sudah habis masapatennya sebagai obat paten yangmencantumkan nama produsennyapada merek obat. Belum lagi kecenderungan masyarakat untuk lebih mempercayai obat mahal daripada obatmurah, padahal khasiatnya sama.KomunikasiMenurut Dr. Adib, satu kelemahan diIndonesia umumnya antara rumah sakitdan pasiennya tidak terjalin komunikasiyang baik, sehingga terjadi missundertanding. Pasien pun menjadi kekurangan informasi mengenai layanankesehatan yang diperolehnya.Mestinya, pihak rumah sakit membicarakan masalah perawatan si pasiendengan pasien dan keluarganya, misalnya soal efek obat yang diberikan, atauprosedur pengobatan. Jika komunikasiberjalan baik, maka pasien bisa mengetahui berbagai konsekuensi dari perawatannya.Yang terjadi sekarang ini, dokterkurang berkomunikasi dengan pasiennya. Kurangnya informasi kepadapasien menyebabkan cap buruk tehadaprumah sakit yang bersangkutan. Satukali musibah medis terjadi, pada akhirnya akan menimbulkan cap buruk jikaterjadi lagi. Bahkan ketidakpuasanterhadap pelayanan pun akan memperkuat stigma buruk tersebut.Banyak faktor yang menyebabkanpengobatan tidak berjalan dengan baik,misalnya faktor alergi obat. Hal-halsemacam ini kadang-kadang tidakdiketahui oleh pasien, sehingga mudahmenimbulkan tuduhan malpraktek.Disinilah perlunya komunikasi daninformasi.Menurut Dr. Adib, bagaimana punrumah sakit jangan melupakan budayanya, yakni melayani. Rumah sakit harusmelaksanakan good corporate government supaya kokoh. Disamping ituharus meningkatkan mutu pelayanan,harus good clinical government. ■ RHMEMPERSEMPIT LAHAN DOKTER