Page 43 - Majalah Berita Indonesia Edisi 19
P. 43
BERITAINDONESIA, 24 Agustus 2006 43Buronandi Layar KacaSejumlah tersangka kasus korupsi harus bersiap untuk malu, karena KejaksaanAgung (Kejagung) akan menampilkan wajah mereka di televisi, sehingga masyarakat bisa melihat dan membantu aparatpenegak hukum menangkap mereka.Suara Pembaruan dan Kompas, 29 Juli2006, melaporkan bahwa Kejagung akanbekerjasama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika. Para tersangkayang akan ditampilkan adalah tersangkayang tiga kali tidak memenuhi panggilankejaksaan atau kabur. Jika tidak berhasildipanggil, mereka akan ditayangkan danbisa disidang secara in absentia.Dilaporkan Kompas, Kejagung sedangmenunggu daftar tersangka yang kabur darikejaksaan tinggi di Indonesia. Menurut JAMPidsus Hendarman Supandji, setelah daftarada, diteken Jaksa Agung, dikasih nomor,lalu ditayangkan. Sebenarnya sudah ada Surat Edaran Jaksa Agung tahun 2000 untukmencatat tersangka yang kabur atau masukdalam daftar pencarian orang (DPO).Saat ini, ada sejumlah tersangka yangkabur dan masuk DPO, seperti mantanDirektur Utama PT Great River SundjotoTanudjaja atas kasus korupsi kredit BankMandiri. Kemudian Nader Taher, pimpinanPT Siak Zamrud Pusako, dalam kasuskorupsi kredit macet Bank Mandiri yangsudah divonis 14 tahun penjara olehPengadilan Negeri Pekan Baru dan ditingkat banding divonis tujuh tahun. RHBonus KejutanMahkamah KonstitusiNorma kepatutan tidak bisa dipakai untuk menjeratkoruptor. Kritik berdatangan.ermohonan uji materiil diajukan Dawud Djatmiko, karyawan PT Jasa Marga, terdakwakasus korupsi pengadaan tanahuntuk proyek pembangunan jalan tolJakarta Outer Ring Road (JORR), kepadaMahkamah Konstitusi (MK) pada Maretlalu. Dawud mempermasalahkan sejumlah pasal yang menyamaratakan ancamanpidana untuk keadaan yang berbeda-bedadalam UU Pemberantasan Korupsi.Yang terjadi, permohonan atas Pasal 2,Pasal 3 dan Pasal 15 itu tidak dikabulkan,meskipun dinyatakan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Persoalannya, MK malah memberikan ‘bonus’keputusan yang tidak dimintakan olehpemohon.Menurut MK, seperti dilaporkan Gatra,9 Agustus 2006, Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Korupsi bertentangan denganasas kepastian hukum sebagaimanadiatur Pasal 28 d ayat (1) UUD 1945. Halitu tentu menimbulkan keterkejutan,terutama dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Penjelasan Pasal 2 (1), menurut MK,telah memperluas kategori unsur melawan hukum dalam hukum pidana.Sehingga tidak hanya mencakup unsurmelawan hukum formal, melainkan jugamateriil. Padahal, melawan hukum materiil merupakan ukuran yang tidak pasti,sebab merujuk hukum tidak tertulis, yaknikepatutan, kehati-hatian dan kecermatanyang hidup dalam masyarakat sebagainorma keadilan.Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh,seperti dikutip Kompas, 29 Juli 2006,menyebutkan bahwa putusan MK itumerupakan hari besar bagi koruptor.Sementara, menurut Wakil Ketua KPKBidang Penindakan Tumpak HatoranganPanggabean, putusan itu akan membuathakim menjadi corong undang-undang.Broker-broker dan pejabat atau penyelenggara negara yang menerima komisi besar sulit dijaring dengan ditiadakannya perbuatan melawan hukum materiil.Namun pada intinya, Kompas lebihmenekankan pada jawaban Ketua MKJimly Asshidiqie atas kritik-kritik tersebut. Ia meminta kepada pejabat negaramenjalankan saja putusan MK tersebut.Pejabat tidak usah berpretensi ilmiahkarena putusan MK bukan persoalanilmiah. Urusan ilmiah menjadi urusanperguruan tinggi. Sedangkan putusan MKbersifat final dan mengikat. RHPfoto: reproBERITA HUKUM