Page 42 - Majalah Berita Indonesia Edisi 19
P. 42
42 BERITAINDONESIA, 24 Agustus 2006Saksi Boleh BernyanyiSaksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secarahukum baik pidana maupun perdata atas laporan dankesaksiannya yang akan, sedang, atau telah diberikannya.ara saksi boleh bernapas lega.Setelah Undang-undang tentang Perlindungan Saksi danKorban disahkan, maka saksiakan mendapat perlindungan secarahukum lebih kuat. Dengan UU ini, makasaksi akan mendapat perlindungan lebihmemadai dan aparat hukum seperti polisi,jaksa, dan hakim harus bekerja lebihprofesional.“Saatnya Para Saksi Bernyanyi” menjadi judul rubrik hukum majalah Trust,24-30 Juli 2006. Menurut majalah ini,jika sejak dulu Indonesia telah memilikiUU Perlindungan Saksi, para saksi pelapor tidak akan dijadikan tersangka ataumengalami intimidasi.Dengan adanya UU tersebut, para saksidiberi hak mendapat perlindungan, jugaperlindungan atas keselamatan pribadi,keluarga dan harta bendanya. Saksi jugaberhak ikut menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah dan bebas dari pertanyaan menjerat.Dilaporkan Republika, 19 Juli 2006,Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, dalam rapat paripurna menyatakan, dengan UU ini maka masyarakatakan semakin termotivasi untuk menjadisaksi guna pengungkapan suatu perkaraatau kasus yang ada di masyarakat.Menurutnya, dalam UU ini diaturbahwa saksi, korban, dan pelapor tidakdapat dituntut secara hukum baik pidanamaupun perdata atas laporan dan kesaksiannya yang akan, sedang, atau telahdiberikannya.Namun, ketentuan ini tak berlakuterhadap saksi, korban, dan pelapor yangmemberikan keterangan tidak denganiktikad baik, memberikan keteranganpalsu, sumpah palsu, dan permufakatanjahat.UU ini juga menghindarkan aspekaspek pembunuhan karakter, dan politicking untuk kepentingan sesaat kalangan tertentu. Untuk mendukung pelaksanaan perlindungan saksi dan korban,dibentuk lembaga yang mandiri, independen, yakni Lembaga Perlindungan Saksidan Korban (LPSK).Sementara itu majalah Gatra menekankan harus ada persamaan penafsiran antara para penegak hukum.Mengutip pendapat Penasehat KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) SuryohadiJulianto, pengesahan UU PerlindunganSaksi itu harus segera diikuti dengan sosialisasi sehingga seluruh jajaran penegakhukum, eksekutif dan yudikatif memilikipehamaman yang sama terhadap UUtersebut.Kalau tidak, maka penerapan UU tersebut akan terhambat dan akhirnya justrumenghambat efektivitas kerja pemberantasan korupsi. Dengan berlakunya UUa. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan hartabendanya, serta bebas dari ancamanyang berkenaan dengan kesaksianyang akan, sedang, atau telah diberikannyab. Ikut serta dalam proses memilih danmenentukan bentuk perlindungan dandukungan keamananc. Memberikan keterangan tanpa tekanand. Mendapat penerjemahe. Bebas dari pertanyaan yang menjeratf. Mendapatkan informasi mengenaiperkembangan kasusg. Mendapatkan informasi mengenaiputusan pengadilanh. Mengetahui dalam hal terpidanadibebaskani. Mendapatkan identitas baruj. Mendapatkan tempat kediaman baruk. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhanl. Mendapat nasihat hukumm. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.Seorang saksi dan korban berhak:tersebut, Suryohadi mengatakan akan adarumusan pidana yang berubah bagipelapor kasus korupsi yang dilindungi UUtersebut.Jika penegak hukum seperti penyelidikdan penyidik memiliki pemahaman yangberbeda dengan jajaran yudikatif yangmenangani perkara yang sama di tingkatpenuntutan, maka Suryohadi mengkhawatirkan tujuan diadakannya UUtersebut justru tidak akan terwujud.Media Indonesia, 19 Juli 2006, mengutip pendapat Indonesia CorruptionWatch (ICW) yang menilai UU Perlindungan Saksi yang baru disahkanmasih tak memberikan perlindungan buatpelapor kasus korupsi.Menurut Koordinator Bidang Monitoring Peradilan ICW Emershon Juntho,parlemen tidak mencoba memperluasdefinisi saksi termasuk pelapor kasuspidana korupsi. Dengan tidak masuknyapelapor dalam definisi sebagai saksi makapelapor tidak memiliki hak-hak saksiseperti diatur dalam UU itu.Sedangkan Indo Pos, 24 Juli 2006,melaporkan kritik sejumlah LSM yangmenganggap UU itu tidak progresif.Banyak mengandung kelemahan karenapembahasannya dilakukan tertutup sehingga tidak bisa diawasi komponenkomponen masyarakat. RHPfoto: reproBERITA HUKUM