Page 12 - Majalah Berita Indonesia Edisi 25
P. 12
12 BERITAINDONESIA, 23 November 2006BERITA TERDEPANBanyak CaraJinakkan DewanBanyak jalan menuju Roma, banyak caramenyalurkan “hadiah” pada anggota DPR.Salah satunya lewat voucher bantuanpendidikan.afari RamadhanAgung Laksono, Ketua DPR, membawahikmah. Pada suatukesempatan Agung membagibagikan voucher bernilai Rp470 juta pada empat sekolahKosgoro yang berada di bawahnaungan Kosgoro 1957 yangdipimpinnya. Agaknya voucher ini membuka tabir yangselama ini terselubung. Voucher-voucher, semacam suratberharga, diteken oleh MenteriPendidikan Nasional BambangSudibyo.Lazimnya voucher berupa kupon hadiah untuk belanja, tidakbisa dicairkan secara tunai. Tetapi praktik yang bergulir diDPR sejak 2002, voucher-voucher dibagikan kepada para anggota Dewan, khususnya anggotaKomisi X yang membawahibidang pendidikan. Berapa nilainya dan siapa saja yang menerima voucher, itu yang belumdijelaskan oleh Bambang.Anggota Komisi X dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah berterus terang bahwa dia menerima voucher bahkan dua kalisetahun. Dan Ketua Komisi XIrwan Prayitno dari FraksiPKS, mengaku ada pembagianvoucher tiga bulan lalu, sebelum periode kepemimpinannya. Namun Wakil Ketua Komisi X, Masduki Baidlowi dariFraksi PKB berkelit bahwakomisi tersebut belum pernahmendapat voucher secaralangsung dari Depdiknas. Komisi X hanya meminta sekolahyang berkepentingan mengajukan usulan ke Depdiknas,lantas ditindaklanjuti. Padahal, faktanya voucher tersebutberedar di tangan anggotaDewan.Lantas bagaimana menguangkannya? Bisa saja anggotayang memiliki voucher itu meminta sekolah-sekolah swastauntuk mencairkannya ke Depdiknas, dan dia menerimauang tunai dari mereka. Banyak kalangan, termasuk anggota Dewan sendiri, menilaipembagian voucher tersebutberbau KKN dan sarat dengankepentingan politik. Memangbanyak jalan untuk menjinakkan anggota Dewan. Tetapi,ibarat kata pepatah, sepandaipandai menyimpan bangkai,baunya menyeruak jua.Namun Sekjen Depdiknas,Dodi Nandika berkelit bahwapenyaluran voucher bantuanpendidikan lewat Agung jauhdari muatan politis, apalagi dikaitkan dengan praktik korupsi. Menurut Dodi praktik ini hanyalah sebuah bentuk sinergidengan semua komponenbangsa untuk secara bersamamenangani masalah pendidikan. Kata Dodi, tujuan penerbitan voucher memperpendekbirokrasi penyaluran bantuanpendidikan, langsung lewat rekening sekolah, bukan rekeningPemerintah Daerah. Tetapikenapa harus lewat anggotaDewan? Inilah pertanyaan yangmengganjal di dada publik.Sedangkan Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar danMenengah, Suyanto menilaikemasan bantuan pendidikanlewat voucher mengandungtujuan mulia. Sebab vouchermerupakan salah satu bentukbloc grant yang diberikankepada sekolah-sekolah yangtidak masuk dalam usulanpemerintah daerah. Kata Suyanto voucher disalurkan olehpetinggi Depdiknas atau mitrakerja yang dianggap kredibel.Inikah pasalnya sehingga paraanggota Dewan diberi kepercayaan untuk menyalurkanvoucher pendidikan ke sekolah-sekolah? Tetapi MenteriBambang Sudibyo berusahamenghindar dari polemik voucher, hanya berkomentar singkat, “persoalan ini sudah ditangani Wapres Jusuf Kalla.”Rupanya Kalla lebih sigapmeredam kontroversi voucherdengan memanggil rapat dengan Bambang. Di dalam rapatitu dijelaskan bahwa vouchertersebut hanyalah sertifikasibagi sekolah untuk mengurusdana bantuan ke Depdiknas,Agung mengaku empat voucher yang diterimanya sudahditandatangani oleh Mendiknas.Kalla juga bertindak sigapmenghentikan penerbitanvoucher bantuan pendidikanoleh Depdiknas. Dia inginmekanisme penyaluran bantuan pendidikan dilakukan melalui pemerintah daerah—bupati/walikota dan gubernur.Banyak permintaan agar peredaran voucher diselidiki lebihlanjut, tidak cukup hanya dihentikan. Sebab dana yangmengalir dalam bentukvoucher, menurut Suyanto,diperkirakan satu persen dariseluruh anggaran pendidikan,setiap tahun bisa mencapairatusan miliar rupiah. Tetapikata anggota Komisi X RuthNina, anggaran voucher sebesar dua persen atau Rp 660miliar dari total anggaranpendidikan (tahun 2006) sebesar Rp 33 triliun.Yang sudah mentradisi dikalangan petinggi Depdiknas,mereka membagi-bagikanvoucher kepada sekolah-sekolah yang ingin dibantu ketikaberkunjung ke daerah-daerah.Sangat mungkin voucher diurus oleh “calo proyek” sebelum turun ke sekolah yang sudah mengajukan usulan bantuan. Bisa jadi sang calo menerima uang tunai dari sekolahyang bersangkutan setelahvoucher tersebut dicairkan.Voucher dicairkan lewat Kantor Pembayaran Kas NegaraDaerah (KPKND), yang harusmenunjukkan surat serta hasilverifikasi bahwa betul sekolahitu membutuhkan bantuan.Nilai nominal voucher bervariasi, mulai dari Rp 60 juta untuk perbaikan kelas, dan Rp120 juta untuk pembangunanlaboratorium.Dalam hal pembagian voucher kepada anggota Dewanyang menurut sejumlah pengamat memiliki motivasi politik, jika dimanfaatkan untukkepentingan pribadi bisa tergolong pemberian gratifikasidan melanggar UU No 20/2001 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. UU itumenetapkan setiap penyelenggara negara yang menerimapemberian uang, barang, rabat, (diskon), komisi, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya,bisa dianggap sebagai suapapabila berhubungan denganjabatannya. Namun, penerimagratifikasi bisa terlepas darisanksi bilamana dia melaporkannya ke KPK, paling lambat30 hari setelah menerima hadiah tersebut. Namun tak satupun anggota Dewan, termasukAgung, yang melaporkan keKPK tentang voucher yangmereka terima. AM-SHSilustrasi: dendy