Page 33 - Majalah Berita Indonesia Edisi 31
P. 33


                                    BERITAINDONESIA, 15 Februari 2007 33Bersekolah di Bawah Atap Rumahekolah rumah atau homeschooling mungkin masih asing bagitelinga rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah terbiasadengan konsep sekolah yang memilikigedung sekolah, banyak murid dan pengajar yang menggunakan seragam, bunyibel sekolah, dan program belajar yangpasti. Mendengar istilah sekolah rumahtentu akan membangkitkan gambaranyang bertolak belakang dari gambaransebelumnya.Arti kata rumah dalam istilah sekolahrumah bukanlah dalam pengertian fisikbelaka, tapi lebih merujuk suasana.Suasana rumah yang penuh kasih sayang,pendekatan individual, perhatian yangsangat intensif, dialog, musyawarah, dansebagainya. Ini menjadikannya sepertitamasya belajar, ujar Seto Mulyadi,seorang pendidik yang juga menerapkansekolah rumah kepada anak-anaknya.“Sekolah rumah itu lentur. Kalau ditanyakapan belajarnya, jawabnya ‘dari banguntidur sampai tidur lagi’. Tempatnya bisadi rumah, di pasar, di mana saja,” paparkak Seto panggilan akrab Seto Mulyadi.Pelaksanaan sekolah rumah tidak bertentangan dengan undang-undang pendidikan di Indonesia. Bahkan sekolah rumah memiliki payung hukum yaitu UUNo.20/2003 tentang Sistem PendidikanNasional. Dalam pasal 27 ayat 1 tertuliskegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri,dan pada ayat 2 tertulis hasil pendidikan,diakui sama dengan pendidikan formaldan non formal setelah peserta didik lulusujuan sesuai dengan standar nasionalpendidikan.Menurut Ella Yulaenawati, direkturPendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, perkembangan sekolahrumah di Indonesia sudah termasukpesat. Sekarang sekolah rumah mulaidiketahui lebih luas dan mencakup lebihbanyak kalangan. Jumlah sekolah rumahdi Indonesia sekitar 10-20 persen dariseluruh pendidikan alternatif di Indonesia. Jumlahnya di seluruh Indonesiasekitar seribu sampai 1.500.Semakin berkembangnya fenomenasekolah rumah di Indonesia menurutYanti Sriyulianti, Wakil Koordinator Education Forum, Ketua KerLip dan PendiriSD Hikmah Teladan, dalam tulisannya diKompas (15/1) dapat disebabkan karenasemakin mahalnya biaya pendidikan danmenurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. Kebijakan ujian nasional yangkontroversial sebagai penentu kelulusandan penyelengaraan kelas internasional,kelas akselerasi, kelas unggulan, di sekolah-sekolah negeri yang difavoritkanmasyarakat, menunjukkan rendahnyakomitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu.Mengejar ketertinggalan dengan kebijakan dan penyelengaraan pendidikanyang diskriminatif ini – apalagi denganbiaya selangit yang dibebankan kepadaorangtua siswa- adalah tindakan yangsalah.Penyebab lainnya menurut Yanti adalahkarena hampir seluruh anak Indonesiatumbuh dengan rutinitas tanpa daya kejutdengan menu wajib berupa tumpukantugas bernama pekerjaan rumah, dilengkapi ketentuan seragam, buku paketwajib, dan lulus ujian nasional. Akibatnya,kreatifitas berpikir anak-anak Indonesiapun jauh lebih rendah dibandingkan ratarata berpikir dari negara-negara tetanggasekalipun. Yanti menyatakan, bagi anak,belajar sesungguhnya didorong oleh motif rasa ingin tahu. Peran penting pendidikadalah bagaimana menumbuhkan keingintahuan anak dan mengarahkannyadengan cara yang paling mereka harapkan, dan paling mereka minati. Jika anakdiberi rasa aman, dihindarkan dari celaandan cemoohan, berani berekspresi secaraleluasa, ia akan tumbuh dengan rasapercaya diri dan berkembang menjadidirinya sendiri.Contoh anak yang berhasil berkembangmenjadi dirinya sendiri setelah mengikutisekolah rumah adalah Nur Hamdi. Sejaklulus dari TK hingga kini usianya 11 tahun,Nur Hamdi melakoni sekolah rumah.Yang menjadi gurunya adalah ayahnyasendiri, Wees Ibnu Sayy yang dikenalsebagai pendongeng. Nur Hamdi sangatmenikmati sekolah rumah karena lebihmerdeka, tak banyak beban seperti lazimnya anak sekolah, dan tak bertemu denganguru yang otoriter. Nur Hamdi mengakumengamati banyak orang sekolahan yangsetelah selesai tak menghasilkan apa-apa.Sementara dia, dalam usianya yang masihbelia, sudah membuat puisi, skenario film,foto, hingga film dokumenter.Alangkah baiknya jika pemerintah tidakmembiarkan orang tua sendirian dalammenyelenggarakan sekolah rumah agaranak dapat terus tumbuh dengan pendidikan anak merdeka. Keyakinan ini sangatbermakna dalam proses tumbuh bersamadengan kemerdekaan untuk mengembangkan bakat-bakat luhur kemanusiaantanpa paksaan dari pihak manapun. „ DAPSemakin mahalnya biaya pendidikan dan menurunnyakualitas pendidikan, membuat dibutuhkannya modelpendidikan yang baru. Sekolah rumah dapat menjadimodel pendidikan alternatif masyarakat.SBERITA HUMANIORASekolah di ruang kelas kini tidak lagi menjadi pilihan utama. foto: dok. ti
                                
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37