Page 13 - Majalah Berita Indonesia Edisi 37
P. 13
BERITAINDONESIA, 10 Mei 2007 13V ISIBERITABudaya Korupsienarkah perilaku korupsudah jadi budaya bangsa?Sejumlah fakta empiris danpenelitian memberi jawaban, benar. Jika perilaku korup benarbenar sudah jadi budaya, maka bangsa ini butuh waktu panjang, kerjakeras dan konsistensi untuk mendobraknya.Orang nomor satu negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2/8-2006) pernah berikrar: “Pemberantasan korupsi harus dilakukan sekarang juga dan jangan ditunda. Janganada pengecualian.” Agaknya, setelahmenjalani masa jabatan dua tahun,Presiden perlu menegaskan kembalikomitmen dan kesungguhannya didalam memerangi “budaya korupsi.”Sebab, fakta tentang tindak korupsiyang muncul ke permukaan hanyalahpuncak gunung es, mengerucut di atasdan membeku di dasar. Banyak perbuatan korupsi yang kitadapati dan hadapi sendiri di kantor-kantor pemerintah, mulaidari tingkat bawah sampai di jantung pemerintahan.Demikian pula di kantor-kantor aparatur penegak hukum;kepolisian, kejaksaan dan pengadilan—dari tingkat pertamasampai Mahkamah Agung.Tetapi dalam kondisi seperti itu, ada saja orang yangmemberi pembenaran bahwa pegawai negeri sipil (PNS), baikitu aparat birokrasi maupun penegak hukum, menggunakansekecil apa pun peluang untuk berbuat korup, karena gajimereka kecil. Sikap seperti ini, sungguh berbahaya, karenacenderung melestarikan budaya korupsi.Survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII), tahun 2006, mengukuhkan dugaan bahwahakim, polisi dan militer, menempati urutan teratas di dalammemanfaatkan peluang untuk berbuat korup. Kemudiandisusul oleh aparat Bea Cukai dan Badan PertanahanNasional. Sebenarnya masih ada yang luput dari perhatianTII, misalnya guru, pegawai kantor kelurahan, kecamatan danrumah sakit. Di hampir semua instansi pemerintah, bercokolstigma, “ada uang semua urusan beres.” Maka munculplesetan, “uang yang maha kuasa.”Kalau berpijak pada fakta dan budaya korupsi serta hasilsurvei PERC yang bermarkas di Hong Kong, maka masadepan bangsa ini benar-benar gelap. Seolah-olah ke mana punkita melangkah mahluk yang bernama “korupsi” selalu ada.Selain pencurian uang negara dan pungutan liar yangdilakukan oleh aparat birokrasi dan penegak hukum, di manapun kita menemukan wajah lain dari korupsi, sepertimanipulasi timbangan dan mutu barang serta penggunaanbahan-bahan pengawet oleh para pedagang.Perilaku korup yang membudaya menggerogoti sumber dayanegara dan rakyat, menimbulkan distorsi ekonomi di semualini, dan merusak tatanan sosial masyarakat. Karena sebagianbesar anggota masyarakat, terutama PNS, membangunkehidupan mereka bukan di atas gaji riil yang mereka peroleh.Mesti disadari, suatu saat sumber penghasilan ilegal akantertutup. Dalam kondisi seperti ini, tentu menimbulkan kegoncangan tatanan keluarga, dalam skope yang luas berdampakpada tatanan sosial masyarakat.Sebuah bangsa yang mendewakan kebendaan, masyarakatnya condong melakukan apa saja untuk mendapatkanuang. Karena dengan uang, mereka akanmendapatkan perlakuan dan pelayananyang terbaik. Sedangkan mereka yangmiskin akan semakin terpinggirkan.Fatalnya, mereka yang mendapatkanuang dari hasil korupsi, bahkan bisa“membeli hukum” dengan harga seberapa pun. Soalnya, uang yang merekaperoleh dengan mudah, lantaran kedudukan dan kesempatan yang dimiliki.Karena itu, anggota masyarakatyang tidak punya keterampilan, mencari uang dengan cara apa pun, termasuk menggunakan jasa dukun.Makanya, praktik perdukunan, paranormal dan “orang pintar” marak dimana-mana. Mereka pun mendapatkan uang dengan mudah dari “pasienpasien” mereka, mulai dari masyarakat kecil yang mencaripesugihan sampai mereka yang mengejar jabatan, pejabatyang ingin mempertahankan jabatan atau jabatan yang lebihtinggi, kalau bisa sampai gubernur dan presiden.Dalam dimensi ini, perilaku korup sudah memasuki kawasanyang tak mungkin dijangkau oleh tangan-tangan hukum. Korupsi berubah menjadi “virus kanker” yang menggerogoti logikadan ketahanan masyarakat. Karenanya, kita, terutama parapemimpin yang masih waras, mesti menyadari dan berbuatuntuk menyembuhkan bangsa ini dari “penyakit aneh” ini.Sementara penyakit kekurangan dan ketidakberdayaanekonomi dialami oleh 109 juta jiwa. Mereka sudah lamabergulat dalam kemiskinan. Kesulitan ekonomi akut jugadialami oleh tenaga-tenaga kerja produktif yang sedangmenganggur, menunggu kesempatan kerja yang tak pasti.Jumlah mereka tidak sedikit—40 juta penganggur terselubung ditambah 10 juta lebih penganggur terbuka.Bilamana tangan-tangan hukum tidak mampu menjangkausemua mereka yang buta mata hatinya, karena bergelimangharta hasil korupsi, maka kita hanya bisa mengimbau agarmereka, terutama yang duduk di lembaga-lembaga eksekutif,legislatif dan yudikatif, sadar dan terketuk hati nuraninyamelihat jutaan saudaranya yang hidup bergelimang kemiskinan dan kesulitan. Karena penyebab dari sebagian besarkemiskinan dan kesulitan tersebut adalah ulah mereka juga.Selain langkah hukum dan imbauan, memang ada pilihanyang paling radikal, untuk memberantas budaya korupsi, zerooption (titik nol). Tetapi dengan zero option sama artinyadengan revolusi yang akan memakan banyak korban. Zerooption berarti memangkas satu generasi supaya bangsa inisembuh dari rongrongan “virus korupsi” atau melakukanpengobatan konvensional dengan dosis yang lebih tinggi.Namun, kita wajib percaya bahwa di ujung kesempitan adakelonggaran, dan di ujung kesulitan ada kemudahan. Makatugas para pemimpin, formal atau non-formal, memberiharapan yang pasti dan membangkitkan optimisme rakyat.Untuk mendobrak budaya korupsi, tak apa kita hidupkankembali tema kampanye yang mengantar SBY-JK ke kursikekuasaan, “bersama kita bisa.” Bilustrasi: dendy