Page 51 - Majalah Berita Indonesia Edisi 42
P. 51
BERITAINDONESIA, 19 Juli 2007 51BERITA HUKUMSeleksi Pimpinan KPKJemput Bola Mencari Pendekar BaruSebagian pelamar bermotivasi ingin mengisi masa pensiun.Panitia mulai berkeliling ke berbagai universitas.etika ditanya bagaimana strategiyang jitu memberantas korupsi,seorang pensiunan sebuahdepartemen yang melamarsebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) berkata, bahwa membersihkan kotoran harus dimulai dari yang besar-besar.“Tetapi yah, semampunyalah,”sambungnya kemudian.Kompas, 29 Juni 2007, sengaja menurunkan artikel mengenai pendaftaran calon pimpinan KPK, yang kenyataannya berdasarkan liputan mereka di lapangan, didominasipara pensiunan dari berbagailatar belakang instansi dandepartemen pemerintah.Menurut harian ini, sebagian besar motivasi mereka adalah mengisi masa pensiun.Strategi mereka memberantaskorupsi kebanyakan adalahdari kasus-kasus besar, sepertikasus mantan Presiden Soeharto dan BLBI.Hal ini menimbulkan pertanyaan, cukupkah komisistrategis untuk memberantaskorupsi itu diisi oleh orang-orang yang hanya ingin mengisihari tua dan masa pensiun?Padahal dalam perjalananwaktu empat tahun sejak KPKdidirikan, pemberantasan korupsi tidak semudah diucapkan. Kinerjanya diwarnai hujatan, kritik, protes dan demonstrasi.Maka tak heran jika empatpimpinan KPK enggan menjabat lagi. Mereka adalah Taufiequrrachman Ruki, Erry Rijana Hardjapamekas, Sjahruddin Rasul dan Tumpak Hatorangan Panggabean.Menginjak hari terakhir,jumlah pelamar yang mendaftar mencapai 662 orang. Mereka dapat dikelompokkandalam kelompok profesi, yaknikelompok pensiunan (tentara,penegak hukum, PNS, bank),kelompok perbankan, kelompok yang mengaku aktif diLSM, kelompok profesi hukumyang masih aktif dan kelompokakademis.Jumlah ini masih jauh dibawah target panitia seleksiyakni 1.000 orang, tetapi lebihbanyak dari jumlah pelamarpada seleksi calon pimpinanKPK periode pertama (2004-2007) yang ditutup denganjumlah pelamar 500 orang.Menurut Ketua YayasanLembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M. Zen, problemnya antara lain batas usia40 tahun yang disyaratkan,sehingga generasi reformasi1998 yang usianya di bawah 40tahun namun kualitasnya bagus, tidak dapat ikut mendaftar.Problem kedua, panitia terlalu pasif dalam metode danstrategi seleksi pendaftaran.Mereka baru bergerak setelahdigugat berbagai kalangan.Problem ketiga, orang-orangyang berkualitas enggan mendaftar karena ada kekhawatiran dalam proses uji kelayakandan kepatutan di DPR. Adadesas-desus bahwa anggotaDPR sudah mengantongi nama-nama yang akan diloloskan uji kelayakan dan kepatutan.Khawatir DPRSeperti dilaporkan Kompas,28 Juni 2007, dalam rangkamenjaring calon pimpinanKPK sebanyak-banyaknya,Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK mulai berkeliling keberbagai universitas. Perguruan tinggi yang dikunjungi adalah Universitas Indonesia,Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Hasanuddin dan Universitas Diponegoro. Di UI ada yangmenyampaikan kekhawatiranterhadap proses uji kelayakandan kepatutan di DPR.Lembaga swadaya masyarakat juga mulai melobi paracalon untuk didaftarkan. Sebanyak 20 orang berhasil dilobi dan harus diyakinkankarena kekhawatiran soal ujikelayakan dan kepatutan diDPR.Sementara itu, sungguh menarik menyimak kolom Editorial harian Media Indonesia,28 Juni 2007. Dengan judul“KPK Sepi Peminat”, editorialini juga mengetengahkan alasan sepinya peminat menjadicalon pimpinan KPK karenabanyak yang menganggap seleksi DPR tidak obyektif, karena para wakil rakyat itumemiliki referensi sendirimengenai orang-orang yangmereka kehendaki.Media Indonesia mengkhawatirkan semangat pemberantasan korupsi mati dini. Orang-orang yang mendaftar itumelihat dari kacamata kepentingan nafkah dan kantong individu. Bahwa dari sisi itu,menjadi anggota KPK tidaklahmenjanjikan keuntungan apaapa. Karena meski anggotanyadiberi gaji cukup tinggi, namun di sisi lain pengawasanmasyarakat sangat ketat danintervensi pemerintah tak surut.Menurut harian ini, sistemrekrutmen yang terlalu luasmembuka diri perlu ditinjaukembali untuk mencegah orang-orang masuk KPK dengan motivasi nafkah. Ujikelayakan dan kepatutan yangdilakukan DPR, bila berpotensi menimbulkan korupsibaru, harus diganti misalnyadengan uji kelayakan dari timindependen. RHKAda kekhawatiran terhadap keadilan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. foto: berindo wilson

