Page 25 - Majalah Berita Indonesia Edisi 61
P. 25
BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006 25BERITA KHASBERITAINDONESIA, November 2008 25eraksaraanbegitu membekas dan melahirkan sebuahmahakarya berjudul The Desert (1980).Novel yang mengambil setting sejumlahnegara Afrika Utara itu disebut-sebutsebagai karya paling banyak di baca orangdi dunia. Novel itu sendiri mengisahkansebuah renungan seorang imigran yangmemandang sebuah panorama peradaban di gurun pasir.Dalam novel itu Le Clezio berhasil memanfaatkan metafora padang pasir sebagai kehancuran sebuah peradaban adiluhung. Ia membuat tabrakan kata danironi dengan kenyataan yang terjadi diEropa. Dalam novel itu, tragisme tidakdigambarkan sebagai amarah.Horace Engdahl yang mewakili Akademi Swedia menyebutkan karya itu sebagai keistimewaan novel modern yangtidak membebani pembaca dengan opinipribadinya. Setiap kata muncul begituindah. Tapi keindahan itu bukan hal yangutama dan membuat pembaca larutdalam akrobat kata. Engdahl membubuhikomentar, “Gebrakan Le Clezio dalammenggambarkan keutuhan cerita yangbisa dirasakan setiap bangsa di dunia.”Nama Le Clezio setelah The Desert jadipopuler di Inggris Raya, jajaran utaraEropa seperti Finlandia, Swiss, Swediasampai Jerman. Novelnya sendiri menjadikajian yang bahkan berlangsung bertahun-tahun di Mesir, seluruh utaraAfrika, sampai beberapa negara duniaketiga seperti Kongo, Somalia, Chad,sampai Afrika Selatan. Di Indonesiasendiri novel ini membawa sedikit percikan dampak pada novel Negeri Senja(2003) karya Seno Gumira Ajidarma yangjuga meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Award tahun 2004.Mulanya, nama Le Clezio mulai mencuat di negerinya sejak novel The Interrogation yang pertama kali terbit diPrancis tahun 1964 dengan judul LaProces Verbal. Dalam novel ini ia meledekpara sosialita dan orang kaya (bourgeois).Kritik terhadap komunitas “orang kayabaru” itu dipaparkan dengan gaya yangsantun dan plot digiring dalam suasanafuturistik. Pembaca baru akan tersadarkan bahwa olok-olok itu sampai akhir kisahnya. Le Clezio memang pandai merubah amarah menjadi sebuah kisah cinta.Le Clezio mendapat kritik pedas lantaran teknis dan gaya penyajian novel inisangat terpengaruh oleh pengarang Prancis, Robert Louis Stevenson yang terkenaldengan gaya futuristik dan science fiction.Namun, berjalan waktu justru simpati danpujian datang ketika atas karyanya itu, LeClezio meraih penghargaan Renaudot1964 tepat di usianya yang baru genap 24tahun. Renaudot adalah salah satu ajangpenghargaan sastra bergengsi di Prancis.Politik AksaraTidak bisa dipungkiri, setiap perhelatanatau ajang penghargaan tidak bisa lepas dari unsur “politis”. Besar atau kecil, keberpihakan pada kriterianya mempengaruhi bentuk eksekusi penerimanya. Adapandangan umum bahwa sastrawan yangmenang biasanya satrawan “pembangkang” di negaranya, tapi dihargai di mancanegara. Sumir memang. Tapi, yang paling penting, sastrawan yang dianggapmempunyai integritas dan seluruh karyakaryanya mempunyai karakter yang kuat.Bukan hanya bagus dalam teknis, estetikakebahasaan dan penceritaan. Tapi, unsurmuatan karyanya juga sering menentukan.Lebih dari 60 persen penerima NobelSastra adalah negara besar yang tingkatekonominya relatif terbilang maju. SepertiPrancis, Inggris, Jerman, Italia, Swedia,Jepang, Denmark, Norwegia, AmerikaSerikat, Mesir, serta Kanada.Di jajaran Asia, Jepang pernah menggondol dua kali dan memang punyakekuatan kapital besar atas nama Yasunari Kawabata (1968) dan KenzaburoOe (1994). India sebagai bangsa yangbesar pernah mengukir sejarah dalamNobel Sastra. Sastrawan raksasa, Rabindranath Tagore pernah meraih NobelSastra tahun 1913, dan dua tahun silam,nama Turki melejit dari nama OrhanPamuk. Dalam menyambut datangnyamilenium baru pada tahun 1999 silam,Akademi Swis mengharapkan banyak lagikarya dari negara dunia ketiga yangmasuk sebagai nominasi dan pemenang.Nama Indonesia sebenarnya pernahmampir dalam jajaran nominasi sejaktahun 1981 sampai 2005. Penantian duadekade yang melelahkan. Kala itu Pramoedya Ananta Toer masih hidup. Dansetelah berpulangnya sastrawan besar kitaitu, nama Indonesia tak pernah lagidisebut. Dalam dua dekade itu pula namaIndonesia diperhitungkan. Tahun 2000,ketika Akademi Swis menempatkan namaPram di urutan pertama cukup membuatsuburnya pandangan positif dunia internasional terhadap Indonesia. Los Angeles Weekly membahas Nobel Sastramelalui pintu masuk pembahasan lewatsosok Pram. Washington Post membuatulasan terhadap novel Gadis Pantai.Bersama Iwan Fals, Pram dinobatkansebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di Asia. Puluhan kliping tentangPram bisa dirunut di koran internasional.Rata-rata dari mereka menggambarkanbetapa sulitnya seorang Pram dalammenjalani proses kepengarangannya.Apalagi yang ditulisnya itu menjadi karyamonumental. Betapa teguhnya Pramsebagai seorang sastrawan. Dipenjarakan,dibuang, disiksa, dihalang-halangi, tapitetap terus berkarya dan menulis denganhatinya.Pram di tahun 2000 sudah sepertisejengkal lagi dengan Nobel Sastra. Danseperti rutinnya, Akademi Swis kerapmenghadirkan kejutan. Nama yang keluarsering kali di luar dugaan. Gao Xingjang,sastrawan asal Prancis yang berdarahChina itu keluar sebagai penggondolNobel Sastra 2000.Namun, setelah wafatnya Pram pada 30April 2006, nama Indonesia seakan ikutterkubur bersamanya. Setiap bulan Oktober menjelang, berarti sudah tiga kalipenguman nominasi Nobel Sastra, kemeriahan Nobel Sastra lenyap dari perbincangan sastra Indonesia.Le Clezio lebih beruntung dari Pramdan sejumlah sastrawan lain. Ia dirayakandengan suka cita oleh bangsanya sendiri.Bukunya tidak pernah dibredel, tidakpernah dibakar oleh golongan tertentu.Itulah sebuah peristiwa keberaksaraanyang belum banyak dinikmati banyaksastrawan lain. CHUS