Page 15 - Majalah Berita Indonesia Edisi 77
P. 15
BERITAINDONESIA, Juni 2010 15BERITA UTAMAdianggap apes saja atau karena dia tidaksatu aliran atau ‘geng’ yang berbedakepentingan (terutama politik).Dalam pidato resmi dan berbagaikesempatan lainnya, penguasa dan paraaparat penegak hukum memang sangatrajin mengatakan mendukung upayapemberantasan korusi, namun hal itubelum berlaku untuk diri sendiri dankelompok atau anak buahnya. Dugaanyang telah menjadi rahasia umum inisemakin mencuat tatkala Wakil PresidenBoediono (saat menjabat Gubernur BI)dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani diduga melakukan tindakan korupsidalam kasus bailout Bank Century. Ketikadugaan itu mulai berhembus dari KPK,digulirkan ke BPK dan ‘dpansuskan’ diDPR dengan kesimpulan akhir adanyaindikasi kuat terjadinya korupsi, PresidenSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya mati-matian membela kedua anakbuahnya itu dengan mengatakan bahwakebijakan mereka itu sudah benar. Bahkan belakangan, KPK sendiri telah mengikuti jejak Presiden dalam hal bailoutBank Century, belum menemukan buktikorupsi. Padahal, KPK-lah yang pertamakali menyebut adanya indikasi korupsidalam bailout Bank Century tersebut danmeminta BPK untuk mengaudit.Dalam hal komitmen pemerintah untukpemberantasan korupsi, sumber BeritaIndonesia seorang guru besar hukumpidana juga menilai, Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mendorong pemberantasan korupsi. Menurutnya, kelihatannya yang penting bagi pemerintahhanya agar dunia internasional melihatIndonesia sebagai negara yang antikorupsi dan punya integritas. Tapi di dalamnegeri sendiri, ruang gerak penegakhukum, termasuk Komite PemberantasanKorupsi (KPK) selalu diusahakan dibatasi. Terutama jika penyelenggara negarayang sedang berkuasa sendiri yang tersangkut.“Dilihat dari sisi intelektualitas, adapengaruh feodalisme yang belum lepas didalam kerangka sistem politik kita,” kataSang Profesor yang juga pernah menjadiaktivis anti korupsi yang meminta namanya tidak disebut itu. “Mana boleh kaumfeodal diganggu gugat. Feodalisme kitamasih kuat. Memang Indonesia sudahmodern, tapi pola pikirnya (mindset) masih lokal, tidak internasional. Penyelenggara negara atau presiden masih sepertiraja dan menteri-menteri patihnya.Zaman dulu, mana ada keluarga raja ditahan. Anak haram saja harus diakui. Kultur itulah yang menghambat KPK tidakbisa lebih agresif,” kata Sang Profesor.Secara khusus menyoroti KPK, diamengatakan secara internal KPK di bawahkepemimpinan Antasari Azhar sebenarnya sudah bagus. Tetapi pemerintahsendiri tampaknya berusaha (setidaknyamembiarkan) melemahkannya denganmenciptakan stigma “kriminalisasi” padapara pimpinan KPK. Walaupun belum adabukti formal keterlibatan otoritas pemerintah dalam kasus pelemahan KPK ini.Namun, publik telah mulai merasakan.Jika diamati lebih cermat, KPK jugacoba dilemahkan dengan membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Tipikordan RUU Pengadilan Tipikor, membuatorang makin curiga. Dan yang palingnyata adalah upaya membatasi wewenangKPK melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyadapan. Di situsemula direncanakan, bahwa untuk melakukan penyadapan, KPK harus lebihdulu meminta izin dari pengadilan.Sumber Berita Indonesia menilai, paraanggota DPR dan pimpinan partai politikjuga sama. Mereka membuat undangundangnya, tetapi begitu diberlakukan,mereka yang ternyata berbuat salah tidakmau dijerat oleh UU yang mereka buatsendiri. Mereka menuntut keistimewaan.Dengan demikian, KPK tidak hanyamendapat tekanan dari penguasa, tetapijuga dari para politisi bahkan pengusahadan makelar kasus yang dekat denganpenguasa. Bayangkan, kata Sang Profesor,pernah suatu ketika seorang pengusahayang sedang buron karena kasus korupsi,mengadakan hajatan di Singapura, justrudihadiri banyak pejabat negara dari Indonesia.Dikatakannya, Perserikatan BangsaBangsa (PBB) sebenarnya pada awalnyasudah meragukan komitmen Indonesiamemberantas korupsi. “Omong kosongpemberantasan korupsi bisa jalan jikatidak ada komitmen politik dari pemerintah,” katanya mengutip pernyataanseorang pejabat PBB beberapa waktu lalu.Pernyataan itu belakangan memangterbukti. Begitu komitmen politik pemerintah lemah seperti sekarang, KPK-pungoyah. Jadi, menurutnya, bahkan pemerintah secara langsung atau tidak langsung punya andil dalam upaya pemandulan KPK sekaligus melemahkan pemberantasan korupsi.Ironisnya, sebagian anggota DPR jugamendukung pemerintah yang merasakeberatan dengan cara KPK menanganikasus. Menurut guru besar itu, targetmereka diduga adalah melemahkan bahkan membubarkan KPK. Tetapi niat itudiduga belum mereka realisasikan lebihjauh karena masih memperhitungkanPENGHORMATAN: Sopan santun berlebihan bisa disalahartikan sebagai bibit feodalisme.