Page 33 - Majalah Berita Indonesia Edisi 84
P. 33


                                    BERITAINDONESIA, Mei 2011 33BERITA WAWANCARAbelum lihat.Hal yang lain saya lihat begini, kamitidak masuk dalam politik, hanya sekitarwawasan kebangsaan. Saya melihat, kalauteroris, nggak mungkin sampai ke dapurnya kita bisa lihat. Itu tanggapan sayapribadi. Kita bisa lihat, seperti NII, kitatidak tahu kantornya di mana? Alamatnyadi mana pun kita nggak tahu. Kalau AlZaytun kan resmi, sampai ke dapurnyajuga kita bisa lihat semua. Kan nggakmungkin terorisme.Mengenai yang Anda ucapkan kemarin soal salah satu menara diMesjid Rahmatan Lil Alamin itudibuat untuk para pemimpin agamanonmuslim bisa berdoa, inspirasinya dari siapa?Wacana itu sudah ada tahun lalu.Waktu dialog kemarin, saya mengulangkembali supaya teman-teman pengusahatahu dan betul-betul paradigmanya berubah 100%. Bahwa ada pemikiran dariSyaykh waktu itu, kenapa tidak, tokohtokoh yang lain juga kita buatkan di situtempatnya. Tidak saja pendeta maksudnya, tapi karena saya pendeta, ya waktukita dialog saya paparkan tentang pendeta. Mungkin yang lain juga, Hindu,Budha dan lain sebagainya, mungkindibuat di situ tempatnya, supaya bisadatang kesitu berdoa secara bersamasama. Jadi awalnya wacana itu dariSyaykh tahun lalu. Tahun ini saya ulangkembali.Anda optimis itu akan direalisasikan?Sangat memungkinkan. Saya optimis,karena gini, kalau kita ke Israel, di sanakan ada dua negara dalam satu geografis,Palestina dengan Israel, tapi dalam haliman mereka itu beda. Di Israel itu adatiga agama besar, Islam, Kristen, danJahudi atau Juis Ortodok. Harinya mereka ibadah itu beda. Saudara kita muslim, hari Jumat sembahyang, saudara kitaYahudi, hari Sabbat, Sabtu. Kristen, hariMinggu. Di kota Betlehem itu tidak adamasalah mengenai kepercayaan, karena disitu ada mesjid, ada gereja, ada sinagog.Yang menjadi masalah mereka adalahmasalah warisan dan ideologi. Kenapakalau di sana bisa seperti itu, di sini tidak?Dalam tata ibadahnya kan beda-beda.Tetapi bagi saya sebagai seorang pendeta,itu menarik.Tahun lalu saya sembahyang di mesjid.Ceritanya begini, tetangga depan rumahsaya meninggal. Dia pegawai di KedutaanArgentina. Yang mulia duta besar itudatang, dia seorang Katolik. Nah, kitangobrol-ngobrol, lalu dibawalah jenazahke mesjid. Saya bilang sama dutanya,apakah kita ikut sembahyang? Oh ikut,kita ikut sembahyang, katanya. Jadi kitaikut sembahyang di dalam. Heboh itu.Tapi saya pendeta bukan jadi Islam, tidak.Artinya, berbicara tentang apa yangSyaykh kumandangkan mengenai kemanusiaan dan budaya perdamaian itu,bagi saya luar biasa.Pendapat Anda mengenai tawaranSyaykh menampung siswa nonmuslim di Al-Zaytun?Itu juga sudah kita dialogkan tahun2010 lalu. Ketika itu ada seorang pesertabertanya pada Syaykh, memungkinkannggak anak kami yang bukan muslim bisabelajar di Al-Zaytun? Oh, kita terbuka,kata Syaykh waktu itu. Nah, dialog kemarin itu kita ulang kembali. Bagi saya,itu memungkinkan.Hari itu, dijelaskan lagi dalam diskusilebih tajam, bagaimana pelajarannya.Apakah pelajaran Al Qur’an di sini?Syaykh bilang, nanti kelenger muridnya.Ya pakai Injil dong, katanya. Ya nanti parapendeta-pendeta kita bawa ke sini ngajarmereka, katanya.Di situlah kita melihat betul-betulbukan teoritis saja motto yang ditulis digerbang utama itu, yakni budaya toleransidan perdamaian itu. Tetapi pasti banyaktantangan dari mereka sendiri. Tapi bagisaya itu memungkinkan.Saya percaya, untuk ke depan bisa.Misalnya kan, banyak sekolah-sekolahKristen di sini, UKI misalnya, UPH,banyak juga teman-teman kita muslim disitu. Nah, kenapa kita tidak bisa sepertiitu?Kesan Anda sendiri setelah keempat kalinya berkunjung ke AlZaytun. Ada kesan yang baru nggakdari tiga kali sebelumnya?Esensinya tidak ada, hampir sama.Cuma teman-teman yang saya bawa kesana berbeda-beda. Ada yang hambaTuhan, ada yang pofesional, ada yangpengusaha. Berikutnya nanti mungkin adakaum yang lain lagi kita bawa, sehinggabetul-betul ada satu dialog kebangsaanyang mewarnai dan inovasi baru yang bagisebagian teman, khususnya kaum saya inimasih baru. Ini juga sebenarnya banyaksekali yang mau, cuma karena pemberitaan televisi yang negatif itu saja yangjadi bikin ketakutan.Tapi gini, ke depannya, sangat pentingkita kembangkan budaya seperti yangSyaykh bikin. Andaikata negeri kita inidipimpin seperti Syaykh, makin cepatnegeri kita ini maju. Saya pernah bilang,coba sepuluh saja seperti Syaykh? Tapi diabilang, Syaykh cuma satu, teman-temannya yang banyak.Bagaimana reaksi pengusaha yangdibawa kemarin?Reaksi mereka itu sangat antusias. Itutadi, kalau nanti bisa kita undang beliau(Syaykh) datang, mungkin di tempat parapengusaha, Syaykh itu mungkin bisamemberikan ceramah mengenai bisnisdan pendidikan dan kebangsaan dankemanusiaan. Itu program jangka pendeknya.Yang kedua tadi, kita mau kembali lagiberdialog ke sana dan buat acara di sana.Dan para pengusaha itu bilang, harusnginap di sana. Saya pikir, ini programdekat kita buat dengan Syaykh. Tapi sayapribadi sebagai pendeta, saya pingin“mengiklankan”, gitu lho. Bahwa di sanaada budaya toleransi dan perdamaian,yang saudara kita muslim, gitu. Karenaselama ini kita belum dapatkan yangseperti itu. Paling kita dapat Gus Dur, tapitidak seterbuka begini dengan Gus Dur.Ya, Gus Dur berapa kali kita doakan dulu,tapi sebatas doa. Tapi ini suatu hal yangbaru yang bisa kita lihat dan petik hikmahnya lewat wawasan kebangsaan. Yanglangsung diimplementasikan dalam kehidupan kesehariannya.Yang menarik lagi adalah bagaimanamereka dalam pertanian dan peternakannya itu. Itu perlu kita budayakantiga sampai lima tahun ke depan, karenabagaimanapun kita melihat ke depan iniadalah krisis pangan.Saya pernah di Jepang, di Tokyo. Disana saya pernah antri di supermarket,beli beras hanya bisa dapat tujuh kilo.Berdirinya sudah dua jam lebih, hanyabisa dapat tujuh kilo. Jadi, itu kan krisispangan. Kenapa tidak ada lagi pertaniandi sana, karena semua pabrik-pabrik.Saya lihat ke depan juga bisa seperti itu.Sekarang mulai melanda Eropa dan Asiasebagian. Apalagi saudara-saudara kita diTimur Tengah yang cuma ada batu dangurun pasir itu. Jadi kalau kita kembangkan pertanian ini, sangat baik. „ BI CH Robin Simanullang.
                                
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37