Page 27 - Majalah Berita Indonesia Edisi 84
P. 27
BERITAINDONESIA, Mei 2011 27ngan penangkapan, penahanan, danpenyadapan dalam RUUIntelijen ini telah membajak sistemperadilan pidana. Menurut anggota Koalisi, Alex Argo, kewenangan itu timbulkarena belum selesainya draf revisiRancangan KUHAP. Alex menjelaskan,dalam Rancangan KUHAP, itu penyidiklah yang berwenang melakukan penangkapan.Seiring dengan itu, Koalisi LBH mendesak pemerintah segera merampungkandraf revisi Rancangan KUHAP, sertasegera memasukkan draf rancangan itu keparlemen. “Agar proses legislasi dapatsegera dimulai,” ujar Alex.Perwakilan dari LBH Jakarta, RestariaHutabarat menilai, kurangnya koordinasiantarlembaga negara menjadi penyebabterhambatnya Rancangan KUHAP, padahal usulan Rancangan KUHAP sudahbergulir sejak 1999.Hal senada juga disampaikan olehTotok Yuliyanto, aktivis Komite untukPembaharuan Hukum Acara Pidana(KuHAP). Menurutnya, berbagai kelemahan yang tersimpan dalam RUU Intelijenmerupakan buntut tidak selesainya RUUKUHAP.”RUU Intelijen memberi wewenangkepada intelijen untuk menangkap, menahan, menyadap. Jelas ini pembajakan sistem peradilan pidana yang diatur dalamKUHAP. Sebab, jalan pembaruan hukumacara pidana yang telah digulirkan lebihdari 30 tahun masih buntu. Ini ironis,”kata Totok kepada wartawan di kantorLBH Jakarta, Jl Diponegoro 74, JakartaPusat, Minggu (3/4/2011).Seharusnya, menurut KuHAP, pemerintah dan DPR terlebih dahulu mensahkan RUU KUHAP. Sebab, bila payungbesarnya telah selesai digarap, maka‘RUU kecil-kecil’ yang bersifat khusus dansektoral akan mudah diawasi supaya tidakmelanggar koridor hukum yang lebihbesar.Lebih jauh menurut Komite yang terdiridari LBH Jakarta, PBHI, Elsam, LBHApik, dan PBH Peradi itu, kewenanganintelijen menangkap dan memeriksa siapasaja yang dicurigai membahayakan keamanan negara, sangat rawan penyelewengan dan melanggar HAM. Aturan didalam RUU Intelijen itu bisa menjadidalih hukum untuk membenarkan tindakpenculikan warga negara. “Pemberiankewenangan itu melegalisasi penculikandalam RUU Intelijen mengingat kerjaintelijen tertutup dan rahasia. Kewenangan menangkap mengancam hak asasimanusia dan merusak criminal justice system,” kata Totok.Direktur Eksekutif Institute for DefenceSecurity dan Peace Studies (IDSPS) MuftiMakarim bahkan menuding pemerintahsengaja mendesak pengesahan RUUIntelijen ini demi Pemilu 2014. “Yangpertama terpikir adalah BIN disiapkanuntuk pemilu 2014, untuk menjaminkepentingan pemerintah,” ujar Muftidalam diskusi di kantor Imparsial, 29Maret 2011.Menurutnya, naskah versi pemerintahternyata lebih “keras” ketimbang rancangan parlemen. Naskah itu condong beratpada perluasan kewenangan BIN yangditempatkan sebagai alat negara dan bekerja di bawah kepentingan pemerintah.Menanggapi tudingan seperti itu, politisi PDIP, TB Hasanuddin memilih diplomatis. “Saya tidak mau suudzon (berburuk sangka), tapi konsep RUU ini harussesuai dengan era demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi setiap manusia diRepublik ini,” tuturnya.Sedangkan Koordinator Peneliti Imparsial Bhatara Ibnu Reza berpendapat,masyarakat justru harus berburuk sangkapada rancangan beleid itu. Sebab menurutnya, tak pernah tampak niatan baikdari pemerintah dalam proses penyusunan naskah tersebut.Di lain pihak, Kepala BIN, Sutantojustru mengatakan bahwa RUU Intelijenakan semakin membatasi gerak BIN,namun pembatasan itu semata-matadisesuaikan dengan iklim hukum dandemokrasi. Ia mengatakan, RUU inidimaksudkan agar ada rambu-rambuyang mengatur kewenangan BIN. “Tindakan harus terukur untuk kepentingantugas. Kalau ada penyimpangan tentu adasanksi. Karena itu dibuat UU ini supayalangkah-langkah intelijen menjunjungdemokrasi, HAM dan hukum,” ujarnya.Terkait kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh BIN, Sutanto mengatakan bahwa BIN tidak akanmenangkap orang dan menginterogasinya. Jika memang diperlukan pencegahan, maka BIN akan menyerahkannyake kepolisian. “Intelijen tidak inginmenangkap dan memeriksa sendiri.Batasan intelijen terukur, menjunjungtinggi HAM, jadi tidak sewenang-wenangmenangkap, menahan orang. Tapi tindakannya di aparat penegak hukum,” ucapnya.Namun demikian untuk kondisi tertentu, kata Sutanto, BIN tetap bisa bertindak melakukan penangkapan. “Misalnya intelijen mendeteksi di perbatasanada pelaku teror, separatis atau subversif,kan tidak mungkin menunggu polisi.Kalau mendadak, tangani dulu, kemudiankita serahkan pada kepolisian. Penahanandan pemeriksaan sesuai aturannya,”ucapnya. Sementara soal penyadapan,Sutanto mengapresiasi keinginan DPRuntuk mengaturnya dalam RUU Intelijen.Sejalan dengan argumen Sutanto,secara terpisah Ketua Komisi I DPR dariF-PKS Mahfudz Siddiq menyatakan,melalui UU intelijen, DPR ingin memastikan bahwa seluruh fungsi dan operasiintelijen memiliki payung hukum. “Dengan demikian, kerja intelijen menjadikerja yang bisa dipertanggungjawabkansecara politik dan secara hukum,” ujarnya.“Dan kita ingin juga memastikan institusidan fungsi intelijen tidak lagi bisa disalahgunakan oleh kekuasaan,” sambungnya. JKBERITA NASIONAL