Page 26 - Majalah Berita Indonesia Edisi 84
P. 26
26 BERITAINDONESIA, Mei 2011Hendak DibawaKemana IntelijenRancangan Undang Undang Intelijen yang memuatpemberian wewenang penyadapan dan penahanan kepadaintelijen, rawan penyalahgunaan. Ngototnya pemerintahmenyelesaikan RUU ini dicurigai beberapa pihak karenapemerintahan saat ini punya niatan tersembunyi.i tengah sorotan publik terhadapkinerja intelijen nasional terkaitkasus aktivis Munir, kasus anarkis berbau agama, kasus teror,dan kasus lainnya, juga di tengah semakintingginya penghargaan masyarakat duniaterhadap hak azasi manusia, pemerintahIndonesia dengan alasan keamanannasional mengusulkan pemberian wewenang yang makin luas kepada badanintelijen, seperti kewenangan untukmelakukan penyadapan tanpa izin pengadilan, melakukan penangkapan danpenahanan dengan dalih melakukan pemeriksaan intensif.Usulan itu termaktub dalam rancanganundang-undang (RUU) Intelijen yang kinisedang dibahas DPR bersama pemerintah. Dalam RUU Intelijen ini, juga diusulkan memberi kewenangan koordinasipada Badan Intelijen Negara (BIN). Selanjutnya, BIN berkoordinasi dengan kementerian-kementerian.Alasan pemerintah sendiri mengusulkan kewenangan istimewa ini adalahkarena aparat kerap tidak bisa mengantisipasi gangguan keamanan seperti aksiteroris secara dini karena terhambat olehbelum adanya payung hukum atau aturan yang memperbolehkan aparat, dalamhal ini intelijen, untuk melakukan penyelidikan awal terhadap sebuah kasus yangsebenarnya bisa diindikasikan sebagai sebuah awal dari aksi gangguan keamanan.Sebab, jika petugas melakukan pemeriksaan awal seperti penyadapan dan pemanggilan sebelum bukti awal mencukupisesuai KUHP, petugas akan dianggaptelah melakukan pelanggaran HAM.Sebaliknya, karena dianggap rawanpenyimpangan dan juga memperhatikankinerja intelijen selama ini yang dianggaplebih condong membela kepentinganpenguasa dibanding kepentingan negara,RUU Intelijen ini mendapat penolakandari masyarakat luas.Pengamat intelijen, Suripto, misalnyaberpendapat bahwa bukan undang-undangnya yang lebih penting tapi kulturdan mindset dari intelijen sendiri. “Yangjauh lebih penting bukan Undang-undangtapi mengubah kultur dan mindset lamanya. Dari yang semula main tangkap menjadi lebih profesional,” ujarnya dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk ‘Mengkritik RUU Intelijen’ di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, 26/3/2011 lalu.Menurut Suripto, sikap lama intelijennegara itu adalah bekerja atas dasar kepentingan penguasa, bukan berdasar kepentingan negara. Pasca reformasipunsikap lama itu masih dipakai lembagaintelijen.Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN,Teguh Juwarno juga mengatakan fraksinya menolak usulan pemerintah agar BINdiberi kewenangan untuk melakukanpenangkapan dan penahanan karenafraksinya khawatir kewenangan tersebutnantinya disalahgunakan sehingga berpotensi pada terjadinya pelanggaran HAM.Direktur Program Imparsial Al Arafdalam jumpa pers di Jakarta,10/4/2011juga mengatakan, bahwa RUU Intelijenbertentangan dengan sejumlah undangundang, yakni KUHAP, UU KebebasanInformasi Publik, UU Terorisme, UU HakAsasi Manusia, serta UU Pers dan Konstitusi. Selain itu, RUU Intelijen juga menurutnya belum sepenuhnya mengakomodasi peraturan lain yang penting untukdipertimbangkan, khususnya konstitusi.RUU Intelijen disebut bertentangandengan KUHAP terkait dengan kewenangan penangkapan. KUHAP mengaturkewenangan penangkapan ada di tanganpenegak hukum, khususnya polisi, dandidampingi pengacara. Penangkapandiketahui keluarga dan dilaporkan kepadaketua RT serta masa penangkapan 1 x 24jam. Sementara RUU Intelijen mengaturbahwa pemeriksaan intensif bisa dilakukan intelijen negara ataupun intelijenmiliter tanpa didampingi pengacara dandiketahui keluarga serta ketua RT setempat. Tindakan itu bisa dilakukan dalam 7x 24 jam. “Itu berarti RUU Intelijenmelegalisasikan penculikan,” ujar Al Araf.Pertentangan dengan RUU Terorismeterdapat dalam kewenangan menyadap,yakni Pasal 31 UU Nomor 15 Tahun 2003tentang Terorisme yang menyatakan,berdasarkan bukti permulaan yang cukup,penyadapan oleh penyidik hanya dapatdilakukan atas perintah ketua pengadilannegeri. Sementara di dalam RUU Intelijendinyatakan, penyadapan yang ditujukankepada pelaku teroris tidak memerlukanizin pengadilan. “Penyadapan tanpa batas,yakni tanpa mekanisme baku, bertentangan dengan konstitusi dan UU HakAsasi Manusia yang mengakui hak privasiwarga negara,” kata Al ArafSedangkan Komisioner Komnas HAMRidha Saleh menyatakan, setuju wewenang penyadapan dimiliki badan intelijen,namun perlu ada pengawasan. Ridha punmewanti-wanti perlunya ada mekanismeserta aturan yang jelas untuk mengawasikewenangan itu. Secara berkala juga menurutnya harus ada yang memonitor seluruh penyadapan yang dilakukan intelijen.Sementara itu, anggota Komisi I DPRdari F-KB, Effendy Choirie, juga menyebutbahwa Komisi I DPR telah mengusulkanpembentukan Komisi Pengawasan Intelijen diatur dalam RUU Intelijen Negara.Adapun tugas Komisi Pengawasan Intelijen itu adalah mengawasi kinerja lembaga-lembaga intelijen. “Anggota KomisiPengawasan Intelijen itu berasal atasanggota Komisi I lintas-fraksi dan disumpah oleh negara. Jadi, selain disumpahsebagai anggota dewan, mereka juga akandisumpah menjadi Komisi PengawasIntelijen,” tegas Effendy Choirie, 24/3lalu.Selain Komisi Pengawas, Komisi I DPRjuga disebut akan mengusulkan agarKepala BIN tidak semata-mata diangkatoleh presiden, tetapi juga harus mendapatkan persetujuan dari dewan.Sementara Koalisi Lembaga BantuanHukum (Koalisi LBH) menilai, kewenaDBERITA NASIONALilustrasi: sonny p