Page 9 - Majalah Berita Indonesia Edisi 88
P. 9
BERITAINDONESIA, Mei 2013 9YBERITA UTAMAkibatnya, Indonesia menanggung risiko ketergantungan yangsangat tinggi pada produk-produkpangan impor. Dari tahun ke tahun Indonesia semakin hanyut ke dalam jebakanpangan (food trap). Jebakan ini diumpanoleh ‘harga murah’ dari pangan impor,sehingga pemerintah menganggapnyalebih efisien daripada bersusah-payahmeningkatkan produksi dalam negeri.Volume impor pangan pun semakin besardari tahun ke tahun. Indonesia makin terperangkap jebakan pangan yang yangpada gilirannya tidak hanya makin menggerus ketahanan dan kemandirian pangan, bahkan juga menggadaikan kedaulatan pangan negara ini. Kedaulatan panganIndonesia akan hilang.Sungguh ironis karena pada 1985negara ini telah pernah berswasembadaberas. Namun, kini Indonesia terancammasalah pangan sangat serius jika terusmenerus menggantungkan pemenuhankebutuhan dari impor. KetergantunganIndonesia terhadap bahan pangan importidak hanya komoditas beras tapi jugakomoditas lain seperti kedelai, jagung,kentang, singkong, bawang putih, bawangmerah, cabe, ikan, bahkan garam dapurdan lain sebagainya. Sungguh menyedihkan dan memalukan!Kesimpulan ini ditarik dari pengamatan lapangan Wartawan Majalah BeritaIndonesia (BERINDO) serta pendapatbeberapa tokoh yang kompeten di bidangpertanian, politik pangan, ekonomi danperdagangan serta penggiat hak azasimanusia. Di antaranya Syaykh Al-ZaytunPanji Gumilang yang sangat peduli danaktif berpartisipasi untuk mewujudkanketahanan, kemandirian dan kedaulatanpangan. Wakil Ketua MPR RI, AhmadFarhan Hamid yang berbicara dalam Dialog Pilar Negara MPR bertajuk PolitikPangan Pemerintah Indonesia. Pakarpertanian Bustanul Arifin (Guru BesarUniversitas Lampung), HS Dillon, Prof DrIr Tineke Mandang Ms (Guru Besar IPB),Henry Saragih Ketua Umum SerikatPetani Indonesia (SPI) dan KoordinatorUmum La Via Campesina (GerakanPetani Internasional), Natsir Mansyur(Wakil Ketua Umum Kadin), Dr. BennyPasaribu, Sekretaris Jenderal HimpunanKerukunan Tani dan Nelayan Indonesia(HKTI), Aviliani, pengamat ekonomi dariInstitute for Development of Economicsand Finance (Indef), Indonesian HumanRights Committe for Social Justice (IHCS), Pusat Studi Pedesaan dan KawasanUGM, dan Badan Eksekutif MahasiswaUniversitas Diponegoro (BEM KM Undip).Ambiguitas UU PanganUU Pangan No.18/2012 Bagian Kelimamemang membuka peluang untuk mengimpor pangan. Namun, dalam pasal 36, (1)impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidakmencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; (2) Impor panganpokok hanya dapat dilakukan apabilaproduksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Selain itu, sesuai bunyi Pasal 39, semestinyapemerintah dalam menetapkan kebijakandan peraturan impor pangan tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutanusaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan,dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil.Tetapi sebaik apa pun bunyi pasal ini,aplikasinya sangat tergantung kehendakbaik para penyelenggara negara bidangpangan. Karena dalam ayat (3) kepadamereka diberi kewenangan untuk menentukan dan menetapkan Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah. Kewenanganinilah yang sering kali menjadi sumbermasalah justru membuka keran imporbesar-besaran. Seringkali impor pangandilakukan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan usahatani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan,dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil.Akibat lemahnya integritas, moral danminusnya kepedulian pada kepentinganrakyat dari para penyelenggara negara,ABERAS IMPOR: Petani berunjuk rasa menolak kebijakan impor beras.Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang Henry Saragih, Ketua Umum SPIYBERITA UTAMA