Page 25 - Majalah Berita Indonesia Edisi 90
P. 25
BERITAINDONESIA, September 2013 25YBERITA HUKUMmereka sebagai buruh perkebunan, penyapu jalan, dan semacamnya. Inilah yang dimaksud dengan sanksi sosial, yang mungkinsaja efektif jika diberlakukan. Ada juga ide “liar tapi brilian” dari(mantan) Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, untuk membuat “kebun koruptor”: kebun khusus yang di dalamnya para koruptor ditempatkan dan bisa dilihat-lihat oleh para pengunjung.Tujuannya untuk menimbulkan rasa gentar bagi siapa saja yangberpotensi menjadi koruptor.Tapi kini semua ide bagus itu seakan lenyap begitu saja. Parapemimpin itu rupa-rupanya hanya pandai bicara tapi tak pandaimenindaklanjutinya. Presiden Yudhoyono pun kini entah berdiridi garda mana dalam perang melawan korupsi. Sebab telahtercatat (tahun 2010) dalam sejarah hukum Indonesia, untukpertama kalinya presiden memberikan grasi kepada seorangterpidana korupsi. Sungguhkah hukum menjadi panglima dinegara hukum ini? Ataukah jangan-jangan negara ini sendirikorup, baik sistem dan institusinya, termasuk para pemimpin danaparatnya?Kalau begitu agaknya Indonesia layak dijuluki Negara Kleptokrat, yang sebagian besar penyelenggara dan aparat negaranyaadalah para pencuri. Atas dasar itu maka dalam upaya memerangikorupsi yang merupakan sebentuk kejahatan luar biasa, diperlukan strategi-strategi yang luar biasa pula. Itu pun harus terusmenerus dievaluasi efektivitasnya, untuk kemudian ditambahlagi strategi-strategi baru yang kiranya lebih jitu. Terkaitpemiskinan koruptor, sebenarnya sudah ada UU No. 20 Tahun2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 yang antaralain menyebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi harusdilakukan secara luar biasa. Kalau UU tersebut dirasa masihkurang spesifik juga, maka seharusnya prakarsa untuk membuatperaturan/perundangan yang lebih spesifik itu datang dari parapejabat negara, termasuk presiden. Tak sulit, asal ada kemauandan keseriusan.Pertanyaannya, apakah berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada itu selama ini sudah ada koruptor-kouptoryang dimiskinkan? Sejauh yang dapat diamati belum ada. Sebaliknya (mantan) koruptor yang kemudian dipromosikan jabatannya di birokrasi atau yang menjadi wakil rakyat tak sulit dicari.Begitu pula (mantan) koruptor yang dielu-elukan oleh masyarakatseakan sesosok panutan.Itulah enaknya menjadi koruptor di Indonesia. Bisa cepat kayadan masih dipandang terhormat pula. Inilah yang membuat kitamiris dan bertanya: kalau begitu mampukah kejahatan luar biasaini diperangi secara signifikan? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu,pernah berkata: “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat pada kepada orang yang justru tak layak dihormati.Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamupunya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuriitu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalahtentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptoritu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkappara koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect (Tempo,16/9/2007).Sementara Pascal Couchepin, Konsuler Federal sekaligus MenteriDalam Negeri Swiss, memberi resep: jangan memberi respekkepada koruptor. “Jangan pernah berkompromi menghadapikorupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh bersama,” ujarnya(Kompas, 29/10/2005). Swiss selama ini selalu dikategorikanTransparency International sebagai negara yang “bersih darikorupsi”.Berdasarkan itu maka jika negara ini tak sekadar “perangperangan terhadap korupsi”, miskinkanlah para koruptor itu selainmenjatuhkan bentuk-bentuk hukuman lainnya. Tujuannya taklain dan tak bukan: demi membuat para koruptor kapok dan calonkoruptor pikir-pikir seribu kali sebelum beraksi. BERINDO* Penulis Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan dan Ketua DPP FPWIPengadilanIndependen,PRomli AtmasasmitaNonsenseakar hukum pidana internasionalProf. Dr. Romli Atmasasmita mengatakanIndonesia yang dikatakan punya sistem peradilan yang independen,itu nonsense (omong kosong). Soalnya, polisidan jaksa berada di bawah pemerintah. Dibilang bebas dari intervensi kekuasaan, tapi Kapolri dan Jaksa Agungsetingkat menteri yang bertanggung jawabpada Presiden.Jadi yang penting, menurut Romli, bukanbagaimana mencegah intervensi. Tetapi bagaimana masyarakat terus mengontrol agar pengadilan betul-betul di tengah (independen).Maka lakukan kontrol sejak penyidikan awalsampai ke Mahkamah Agung.Dia menjelaskan Indonesia menganut sistempenegakan hukum yang mengakui lima unsurpenegak hukum yakni polisi, kejaksaan,pengadilan, pengacara dan lembaga pemasyarakatan. Tiga dari lima unsur penegak hukumberada dalam genggaman pemerintah, yaitupolisi, kejaksaan dan LP. Sedangkan negaranegara lain, terutama negara-negara maju,hanya mengakui tiga unsur penegak hukumyakni polisi, jaksa dan kehakiman. Ketigatiganya wajib independen untuk mencegahpengaruh atau cengkeraman kekuasaan.Pintu masuk suatu perkara adalah polisi(pidana umum) atau kejaksaan (pidana korupsi). Tidak mungkin ada perkara pidana kalau polisi tidak bergerak. Dan tidak mungkinada perkara kalau jaksa tidak bergerak. Sedangkan keduanya alat negara.Apalagi posisi Jaksa Agung setingkat Menteri. Memang inilah sistem pengadilan pidana,dibilang bebas dari intervensi kekuasaan, tapiJaksa Agung-nya setingkat Menteri yang bertanggung jawab pada Presiden. Di manamana, seperti di Amerika, Jaksa Agung tidakikut dalam kabinet. Sedangkan di Indonesia,malah masuk kabinet. “Maka semakin jelascengkeraman tangan kekuasaan,” kata Romli.Sebetulnya kita harus perkuat pengadilan.Indonesia negara hukum, maka yang menentukan pengadilan, bukan jaksa atau polisi.Romli menegaskan, sekali pun polisi dan jaksaberkolusi atau membuat semacam persekongkolan, kalau hakimnya teguh, semua itu bisabatal. Sekarang bagaimana mengontrol pengadilan. Yang penting Komisi Yudisial diperkuat.Tetapi dia menyayangkan KY yang menunggupesanan, baru mau bergerak. BERINDO