Page 17 - Majalah Berita Indonesia Edisi 08
P. 17
BERITAINDONESIA, 10 - 23 Februari 2006 17pengawasan dibarengi hak menerbitkan izin. Sejumlah anggota DPR menghendaki BPOM hanya wewenang pengawasan.Namun Kepala BPOM, Sampurno mengatakan sejak enam bulan lalu izinimpor bahan baku obat ditangani Depkes,bukan lagi wewenang BPOM.Adakah politisasi dalam kaitan meluasnya penyalahgunaan formalin? Formalin pun beraroma politik. Menurutlaporan Koran Tempo (5/1), Depkespunya rencana untuk mengembalikanPOM (Pengawasan Obat dan Makanan)di bawah naungannya.Seakan menyesalkan pemisahanBPOM, Menkes Siti Fadilah Supari mengatakan semestinya badan seperti ituada di bawah departemennya agar penanganan kasus seperti formalin terkoordinasi dengan baik.Kasus penyalahgunaan formalin sebenarnya terdeteksi sejak 2003. Dalamasumsi Siti Fadilah BPOM sengaja membiarkan pelanggaran sehingga masyarakat menyantap zat berbahaya itu berPADA IKAN ASIN: √ Tidak rusak sampai lebih darisebulan pada suhu kamar (25derajat Celcius) √ Warna bersih dan cerah √ Tidak berbau khas ikan asin √ Tidak mudah hancurPADA TAHU: √ Tekstur lebih kenyal √ Tidak mudah hancur √ Lebih awet √ Beraroma menyengatPADA MIE BASAH: √ Sangat berminyak √ Beraroma menyengatCIRI-CIRI BAHAN PANGANMENGANDUNG FORMALINtahun-tahun. Terus terang dia merasakecewa dengan kinerja badan tersebut.Kepala BPOM Sampurno enggan mengomentari pernyataan Menkes tersebut.“Saya hanya cukup mengurus formalin,”kata Sampurno.Sampurno lebih memilih menyelesaikan dulu penyalahgunaan formalin diTingginya harga solar dan mahalnya harga es batu untuk mengawetkan ikan sangatmempengaruhi biaya operasional nelayan sekali melaut. Bayangkan saja, harga solar naikdua kali lipat dari Rp 2.100 per liter menjadi Rp 4.300 per liter. Begitu juga es balok, harganyanaik dari Rp 4.500 menjadi Rp 7.500 per balok. Padahal, jumlah yang dibutuhkan untuksekali melaut tidak sedikit.Untuk sekali melaut selama 14 hari dengan 8-10 awak kapal, misalnya, kalau dulu cumabutuh Rp 9 juta, sekarang perlu Rp 16 juta-Rp 23 juta. Biaya paling besar antara lain untukpembelian solar. Setiap hari rata-rata kapal membutuhkan 140 liter solar dengan harga Rp4.300 per liter. Jadi, untuk 14 hari melaut butuh biaya solar sekitar Rp 9 juta.Untuk dua pekan itu juga butuh sekitar 700 es balok. Dengan harga es Rp 7.500 per balok,butuh biaya sedikitnya Rp 5,25 juta. Untuk kebutuhan makan dan rokok awak kapal selamadua pekan sedikitnya perlu biaya Rp 2 juta.Biaya ini tak mungkin dihemat lagi, kecuali mengurangi jumlah es balok. Itulah sebabnyabanyak nelayan yang nekat menggunakan formalin. Mereka mengurangi jumlah es balokyang mestinya untuk mengawetkan ikan dengan formalin yang biasanya digunakan untukmengawetkan mayat.Penggunaan formalin memang mengurangi biaya operasional melaut karena harganya cumaRp 7.000 per liter. Setelah dicampur air, satu liter formalin cukup untuk mengawetkan 10 tonikan hasil tangkapan di tengah laut. Padahal, jika menggunakan es balok, butuh sekitar 350es balok seharga Rp 2,62 juta. Sangat menghemat biaya. ■ RHIKAN, ES DAN PENGAWET MAYATmasyarakat. Katanya, yang penting menyelamatkan masyarakat luas.Sampurno menilai amatlah jahat orangyang menudingnya mempolitisasi isu formalin untuk memuluskan jalan bagi RUUpengawasan obat dan makanan. “Ahtidak. Saya katakan itu tuduhan yangsangat jahat,” kata Sampurno.Soalnya, dalam konteks penyalahgunaan formalin betul-betul untuk melindungi masyarakat, tidak ada agendatersembunyi untuk kepentingan apapun.Dia tak ingin masalah tersebut dikaitkan dengan isu penarikan kembali BPOMke Depkes.Sampurno memberi jaminan bahwasampai 21 Januari 2006, semua bahanmakanan bebas unsur formalin.Hal ini diperkuat oleh Wakil PresidenM. Jusuf Jalla. Wapres, berdasarkanlaporan hasil operasi formalin, menyimpulkan masyarakat sudah bebas makananyang mengandung formalin. Pemeriksaandilakukan 12 Januari di 15 kota. ■ SH