Page 41 - Majalah Berita Indonesia Edisi 14
P. 41
(BERITA OPINI)BERITAINDONESIA, 1 Juni 2006 41BERITA OPINIEra demokrasi telah berjalan sejak delapantahun silam. Namun perjalanan bangsamenuju terbentuknya sebuah negara yangmenjunjung tinggi nilai-nilai demokrasimasih jauh dari harapan.Tanpa bermaksud mengabaikan kemajuankemajuan pendidikan demokrasi yang telahdicapai, kerusuhan pasca-Pilkada di KabupatenTuban (29/4) yang berbuah anarki sungguhmemprihatinkan. Apalagi, masih banyak kejadianserupa yang terjadi di daerah-daerah lain.Pilkada cenderung diwarnai intrik-intrik politikmulai dari tindakan mosi tidak percaya sampai kegiatanpengerahan massa yang berbuntut tindakan brutal dan anarki.Fenomena ini adalah refleksi dari gagalnya pendidikandemokrasi di negeri ini. Apakah demokrasi yang seperti ituyang kita kehendaki?Dari pengamatan penulis saat bersekolah di Australia danberkunjung ke AS, sangat tampak kesadaran dan disiplinmasyarakat dua negara itu di berbagai bidang kehidupan,termasuk dalam berdemokrasi.Sebagai gambaran lain, misalnya, ketika PM Australia JohnHoward dan Presiden AS George W. Bush menduduki jabatanuntuk yang kedua kalinya, keduanya disambut ucapanselamat, sekaligus pengakuan kekalahan dan kesiapanmembantu dari rival-rivalnya. Mengapa bangsa ini tidak maubelajar demokrasi dari negara-negara maju seperti AmerikaSerikat (AS) dan Australia?Ada satu potret menyedihkan lain yang dipertontonkanmasyarakat kita dalam memaknai demokrasi. Apa itu?Menyampaikan tuntutan dengan cara memaksa. Itu tercermindari aksi demonstrasi buruh yang sangat anarkis belum lamaini.Sejarah Indonesia mencatat ada dua faham demokrasi yangbisa menjadi acuan dalam pendidikan demokrasi dewasa ini:Demokrasi Terpimpin di masa pemerintahan Orde Lama(Orla) dan Demokrasi Pancasila di era Orde Baru (Orba).Sayangnya, implementasi di lapangan dari dua fahamdemokrasi itu belum bisa memenuhi tuntutan zaman di eraglobalisasi dewasa ini. Apa yang terjadi setelah kran demokrasidibuka lebar pada 1998, yang ditandai beralihnya kekuasaanOrde Baru kepada Orde Reformasi? Ternyata, kehidupandemokrasi di negeri ini justru berlangsung tak terkendali.Kebebasan mengemukakan pendapat ditafsirkan secaraluas, tanpa batas, dan disikapi melalui brutalisme dananarkisme. Akibat dari pemahaman yang salah ini, perkembangan demokrasi di Indonesia menjadi amburadul danliar.Ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Harus segera dicari jalankeluarnya. Menurut hemat penulis, ada sebuah modeldemokrasi tradisional yang agaknya sangat pantas diterapkandi Indonesia, yakni Demokrasi Penggembala alias Cowboy.Mengapa negara ini perlu mencontoh demokrasi alapenggembala atau Cowboy? Alasannya, karena hampirseluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum birokratnya,memiliki sikap dan perilaku yang rasanya menyerupai hewan.Ini bukan berarti menyamakan perilaku masyarakat dan birokrat seperti hewan. Ini hanyaperumpamaan karena dikaitkan dengan demokrasi ala penggembala. Kita tahu, hewan itucenderung sulit dikendalikan, liar, tanpa aturan,dan bertindak semaunya.Sosok penggembala akan membiarkan hewangembalaannya berkeliaran bebas mencari apa sajadi daerah gembalaan yang sudah diberi ramburambu sebagai pagar pembatas.Praktis, tugas sang penggembala hanya mengawasi hewangembalaannya tidak melewati pagar pembatas. Kalaupun adayang sampai keluar, hewan itu harus digiring kembali kekandangnya.Karena hewan tidak memiliki naluri seperti manusia, untukmenggiring kembali ke daerah gembalaan si penggembalakadang kesulitan, dan karenanya dia terpaksa menggunakancara kekerasan untuk mengendalikannya.Dalam konteks kehidupan demokrasi, pemerintah harusmampu berperan seperti sosok penggembala tersebut.Pemerintah memberikan kebebasan kepada masyarakat untukmengemukakan pendapat sembari menentukan ramburambu yang mesti dipatuhi.Pemerintah harus mampu meyakinkan kepada masyarakatsoal ketentuan di balik keberadaan rambu-rambu itu. Jangansampai rambu-rambu tersebut justru ditafsirkan masyarakatsebagai bentuk pembatasan berdemokrasi.Bila sosialisasi sudah sangat maksimal dilakukan, namunrambu-rambu tersebut ternyata masih dilanggar, maka tidakada pilihan lain bagi pemerintah kecuali menindak tegas parapelanggar.Tindakan tegas itu dilakukan tanpa pandang bulu, siapapunpelanggar baik operator di lapangan maupun provokator danaktor intelektual di balik aksi pelanggaran batas terhadaprambu-rambu.Pelaksanaan tindakan tegas itu harus didukung aparat yangarif dan bijak dalam hal ini unsur TNI dan Polri. Satu hal lagi,aparat TNI dan Polri yang bertugas di lapangan dalammenegakkan ketentuan rambu-rambu tadi harus diberipayung hukum yang jelas dan tegas.Ini penting, karena selain sebagai pelindung bagi aparat dilapangan, payung hukum akan meningkatkan moril merekadalam menjalankan tugasnya. Aparat menjadi tidak ragu-ragudan tidak ada kekhawatiran terhadap tuntutan pelanggaranHAM karena dia telah bertindak menurut prosedur yangditetapkan dan tidak melanggar norma hukum yang berlaku.Tentu, seluruh aparat TNI dan Polri yang akan diterjunkandi lapangan harus dibekali lebih dulu dengan pengetahuandan keterampilan memadai sesuai bidang tugasnya. Persoalannya, siapkah Indonesia menerapkan DemokrasiPenggembala ini? ■*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan lingkungan,alumnus Queensland University, Brisbane, Australia.Demokrasi ‘Penggembala Sapi’Letkol (CKM) TNI Drs. Hari Sudewo, MEMBERITA OPINI