Page 51 - Majalah Berita Indonesia Edisi 19
P. 51


                                    BERITAINDONESIA, 24 Agustus 2006 51BERITA EKONOMIstruktur, peningkatan sarana-saranapublik, fasilitas umun, fasilitas sosial yangsecara langsung maupun tidak langsungmendorong peningkatan kinerja perekonomian nasional, khususnya penyediaanlapangan kerja.Dalam sewindu terakhir, perekonomiannasional ditandai dengan kinerja APBNyang justru membebani perekonomiannasional di masa-masa mendatang. Persoalan paling utama dari beban APBNtersebut adalah beban utang yang sebelummaupun sesudah krisis ekonomi, terusmenumpuk hingga melewati angka seratus persen pada PDB. Sementara bebanbunga dan cicilan pokok yang harus dibayar pemerintah terhadap kreditor, baikdalam negeri maupun kreditor luar negeri,mencapai 25% dari total belanja APBN.Keadaan inilah yang mengakibatkankinerja APBN yang sama sekali belummampu mendorong kinerja perekonomiannasional secara maksimal, khususnyadalam mendorong pertumbuhan ekonomiyang tinggi. Sebaliknya, utang masih terusmenerus membebani APBN di masa-masamendatang, karena harus terus membayarutang, baik cicilan pokok maupun bunga.Hal ini tergambar dengan jelas padastruktur APBN yang ditandai dengan defisitanggaran yang mencapai 1,4% pada PDBatau 25% dari total belanja APBN 2006.Kiranya dapat dibayangkan, jika jumlahutang ini digunakan menjadi investasimaka akan sangat signifikan mendorongberlangsungnya pertumbuhan ekonominasional. Jika pembayaran utang padaAPBN 2006 yang mencapai Rp 58,8triliun digunakan menjadi investasi padaberbagai sektor, berapa besar daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomidan berapa besar angkatan kerja yangdapat disediakan dari dana tersebut.Pengelolaan APBNNamun demikian, komponen utangbukanlah satu-satunya faktor yang menghambat APBN sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, pengelolaan APBN juga menjadi faktor yangsemakin melumpuhkan fungsi stimulusAPBN tersebut. Salah satu indikator daripengelolaan APBN yang buruk itu adalahpenyerapan anggaran yang sangat minim.Di pihak lain tentu ikut dipengaruhi olehperilaku aparatur negara, baik di tingkatpusat maupun di daerah yang korup.Khusus menyangkut penyerapan anggaran yang minim, hampir terjadi padasetiap tahun anggaran. Pada APBN 2005misalnya, penyerapan anggaran, baik olehpemerintah pusat maupun pemerintahdaerah, sangat minim. Sedemikian minimnya pemerintah terpaksa membuatProgram Luncuran (carry over). Artinya,anggaran yang tidak terserap pada APBN2005, kembali diluncurkan pada APBN2006 dengan tenggat waktu sampai April2006.Namun realisasi Program Luncuran initernyata tetap tidak maksimal. MenurutMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati,hingga tenggat waktu yang disepakatiantara pemerintah dan DPR, penyerapananggaran dalam Program Luncuran tersebut hanya Rp 3 triliun. Dari itu, tidakmengherankan bila tingkat pertumbuhanekonomi yang dapat dicapai pada tahun2005, jauh dari yang diharapkan.Menurut rilis Departemen Keuangan,sebagaimana yang dilaporkan HarianKompas, Selasa (13/6) juga terindikasidengan penyerapan anggaran yang rendah, sebagaimana APBN tahun-tahunsebelumnya. Dari Rp 427,6 triliun belanjapemerintah pusat, yang terealisasi hingga15 Mei 2006, baru mencapai Rp 93,6triliun atau 21,89 %. Demikian jugadengan penyerapan belanja daerah yangmencapai Rp 220,1 trilun, baru terserapRp 74,4 triliun atau 33,80%. Dengandemikian, total penyerapan anggaranmasih Rp 168 triliun. Di pihak lain,laporan Harian Suara Pembaruan, Senin(19/6), hingga pertengahan Juni, posisipendapatan negara dan hibah sudahmencapai Rp 209,05 triliun atau 33,44Úri target penerimaan negara sebesar Rp625,23 triliun.Ironisnya, dari penyerapan anggaranyang cukup dinamis itu, ternyata, sekitar30% dari total alokasi pembayaran utangdi antaranya sudah terserap. Artinya,penyerapan anggaran itu, sesungguhnyabelum diarahkan untuk sektor produktifyang merangsang berlangsungnya multiplier effect, yang salah satu di antaranyaadalah harapan untuk penyediaan lapangan kerja baru.Penyimpanan Dana di SBIPerilaku pengelolaan anggaran yangtidak produktif lainnya, yang sudahbarang pasti mengakibatkan tertundanyapenyediaan lapangan kerja baru, adalahpenyimpanan dana APBN, baik yangdikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, Rp 32 triliun. Bank Pembangunan Daerah (BPD) sendiri memilikitidak kurang dari Rp 57,55 triliun danayang ditempatkan di SBI.Dengan tersimpannya dana APBNsebesar itu di SBI, dengan sendirinyamenunda investasi. Dengan tertundanyainvestasi, maka dengan sendirinya akanmenunda kinerja pertumbuhan ekonomidan penyediaan lapangan kerja baru. Inimerupakan titik balik dari fungsi APBNsebagai stimulus.Persoalannya, menurut Dirjen BinaAdministrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri, Daeng M. Nazier,seperti dikutip Harian Suara Pembaruan, Jumat (30/6), penempatan dana diSBI, tidak melanggar hukum, karena tidakmendapat pengaturan dalam UU Pemdamaupun UU Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.Akan tetapi dari sisi ekonomi, penempatan dana APBN di SBI, merupakaninefisiensi yang luar biasa. Karena selaintidak produktif (inefisien), juga semakinmembebani APBN, karena bunga SBItersebut harus dibayar Bank Indonesia(BI) dari alokasi APBN.Sebelumnya, Dirjen Bina AdministrasiKeuangan Daerah Departemen DalamNegeri, Daeng M. Nazier, kepada HarianBisnis Indonesia, Senin (10/6) menyatakan bahwa penempatan dana pemerintahdaerah yang idle (menganggur) di SBI,merupakan konsekuensi logis dari penerapan kebijakan fiskal. Untuk itu, Daengmeminta agar kebijakan fiskal tersebutdikaji plus minusnya.Menurutnya, penyamaan kalender fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (sama-sama pada rentang waktu Januari hingga Desember)membuat penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kesulitan.Penyusunan pos-pos APBD, tambahnya, selain harus terlebih dahulu menunggu kepastian dari APBN, APBD tersebutharus menunggu assessment (persetujuan) pemerintah pusat. Sehingga tidakmengherankan bila APBD suatu daerahbaru disahkan pada pertengahan tahunanggaran, hingga menyebabkan adanyaanggaran yang menganggur dan ditempatkan di SBI. Sedangkan pemerintahpusat dapat langsung melaksanakananggarannya, sesaat setelah APBN disahkan DPR. „ MS
                                
   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55