Page 17 - Majalah Berita Indonesia Edisi 29
P. 17


                                    BERITAINDONESIA, 18 Januari 2007 17BERITA UTAMAPMA tahun 2000. Nilai investasi asingmenjadi 8,914 miliar dollar AmerikaSerikat pada tahun 2005, tetapi di tahun2006 turun kembali menjadi 3,935 miliardollar AS.Sementara menurut laporan BKPM,sebagaimana dikutip Kompas, Rabu 6 Desember 2006, nilai PMA mencapai 4,69miliar dolar Amerika Serikat, dengan 801proyek. Aliran investasi asing ini menurundibandingkan dengan tahun 2005 sebesar45,91% dan jumlah proyeknya juga turunsebesar 3,61%.Penurunan nilai investasi asing di Indonesia pada tahun 2006, dominan dipengaruhi penurunan aliran investasi darilima negara investor terbesar di Indonesia, yakni Jepang, Singapura, AmerikaSerikat, Inggris dan Korea Selatan. Namun, dari lima negara tersebut, penurunan investasi Jepang memiliki andilpaling besar dalam memengaruhi penurunan investasi asing di Indonesiatahun 2006 ini.Investasi Jepang turun 61,13% padatahun 2006, dari tahun 2005 yang sebesar1,11 miliar dolar AS menjadi 430,2 jutadollar AS. Seperti dilaporkan KompasJumat 8 Desember 2006, nilai investasiJepang di Indonesia tinggal 70 miliar Yen(sekitar Rp 6,2 triliun). Sebelumnya,jepang memiliki investasi sebesar 300miliar yen dengan 1000 perusahaan. Nilaiinvestasi Jepang di Indonesia pada tahun2006 hanya US$ 430,2 juta.Investasi Amerika Serikat, sepertidilaporkan Media Indonesia Senin 13November 2006, walaupun naik dibandingkan tahun 2005, dari US$ 91,2juta menjadi US$ 108,7 juta, namunbelum kembali pada angka investasitahun 2002 yang mencapai US$ 468,5juta.Bahkan realisasi investasi saudara tua,Jepang, yang menjadi investor asingterbesar di Indonesia, justru menurun diantara lawatan presiden dan wakil presiden yang cukup intens melobi pemerintah dan pengusaha Jepang, agarmenanamkan modalnya di Indonesia.Sedangkan investasi China turun43,22%, dari 202,2 juta dolar AS menjadi114,8 juta dolar AS.Kepala BKPM M. Lutfi menyebutkan,beberapa hal yang menjadi keluhanpengusaha Jepang berinvestasi adalahkepastian hukum, masalah perpajakan,kepabeanan dan cukai, infrastruktur, danketenagakerjaan. „ CRS-MHtentang fenomena hot money atau bubbleeconomy dalam investasi portofolio di Indonesia.Menurut analis Mandiri Sekuritas HandyYunianto dalam artikelnya pada Harian KompasJumat 24 November 2006, menyebutkan penggerak harga obligasi yang cukup signifikandisebabkan penurunan suku bunga dan peningkatan preferensi terhadap obligasi pemerintahdan reksa dana, sehingga investasi asing dalamjumlah besar masuk ke Indonesia.Pada akhir November 2006, porsi asing padaportofolio investasi di Indonesia mencapai Rp 570triliun atau meningkat Rp 182,5 triliun dari posisiakhir tahun 2005. Alokasi dana asing didominasipasar saham yang menyerap Rp 499,89 triliun,diikuti dengan Surat Utang Negara (SUN) Rp 51,7triliun, obligasi korporasi Rp 3,3 triliun, danSertifikat Bank Indonesia (SBI) Rp 15,2 triliun.Dilihat dari besarnya dana asing dalaminvestasi portofolio Indonesia, pada satu sisimerupakan gambaran dari ekspektasi asing yangsedemikian percaya terhadap kinerja perekonomian Indonesia di masa-masa mendatang.Namun pada sisi yang lain, juga berpotensimembawa dampak buruk terhadap perekonomianIndonesia secara umum, ketika investasi portofoliodi Indonesia tak lagi menarik. Pada saat itu, danadana asing yang berbondong-bondong ke Indonesia, juga akan berbondong-bondong keluaruntuk mencari instrumen investasi yang lebihmenarik di negara lain.Jika hal ini benar-benar terjadi, maka turbulensiekonomi tidak dapat dihindarkan lagi. Dana-danaasing akan bergerak keluar dalam mata uangasing (khususnya dolar AS), hingga mengakibatkan kepanikan pasar mata uang atau bahkankelangkaan mata uang dolar AS. Perburuan dolarAS juga dapat terulang seperti yang terjadi padasetiap kali terjadi panic buying yang disebabkankelangkaan.Fenomena ini selanjutnya akan mendongkrakkurs dolar AS di satu sisi dan menekan nilai tukarrupiah pada sisi yang lain. Perlemahan kurs rupiah, selanjutnya akan berdampak pada peningkatan inflasi hingga mendorong terjadinya perlambatan kinerja perekonomian secara keseluruhan.Gejala peningkatan inflasi, sudah barangtentu akan direspon otoritas moneter (BI)dengan kebijakan uang ketat untuk menurunkan inflasi, seperti yang terjadi pada 2004dan 2005. Kebijakan ini akan dengan sendirinyamemperlambat kinerja sektor riil, hingga berdampak pada penurunan tingkat pertumbuhanekonomi.Untuk menghindari dampak buruk dari fenomena bubble economy yang terjadi pada investasiportofolio ini, pemerintah harus berupayamempertahankan kinerja makro ekonomi untukjangka panjang. Hal ini dapat dipertahankan jikadidukung dengan fundamental ekonomi yangkuat. Dalam hal ini, kinerja sektor rill harussemakin ditingkatkan, khususnya sektor rill yangberorientasi ekspor. „ CRS-MHfoto: berindo wilson
                                
   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21